Tugas Individu Critical Review
Judul Buku: Masyarakat dan Pilihan
Hukum
Penulis : Dr Indah S. Utari, S.H.,
M.Hum
Dibuat untuk memenuhi tugas
Kelompok pada mata kuliah
Perpektif Hukum Dan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu
Dr. Indah Sri Utari, S.H., M.Hum
Disusun Oleh:
Sri Lestari ( 0301512006 )
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
_BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Hukum adalah serangkaian aturan atau
kaidah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai alat pengontrol
manusia dari perbuatan jahat. Setiap
pelanggar hukum akan dikenai sangsi hukum. Setiap negara memiliki tatanan hukum
yang berbeda meskipun konsep dasarnya sama. Manusia sebagai salah satu aspek hukum
diwajibkan untuk taat dan patuh terhadap hukum. Seseorang yang ingkar atau
melanggar hukum akan dikenai sangsi
sesuai tingkat kesalahannya. Namun apakah kenyataannya benar demikian ?
Sebagai
negara kesatuan yang mengayomi dan
menjamin hak hidup dan kehidupan masyarakatnya ternyata Indonesia belumlah mampu bersikap adil dalam
bidang hukum. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1
menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata
hukum.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah di “mata hukum “mana rakyat
Indonesia memiliki persamaan hak, bahkan sekedar membela diripun mengalamai
berbagai kesulitan. Di negara demokratis, gemah ripah, subur makmur, loh jinawi
ternyata masih ditemukan beberapa
ketidakwajaran dalam bidang hukum terutama masalah sangsi hukum. Di sini bahkan dalam instansi berlogo timbangan pun
lembaran rupiah masih dinomorsatukan.
Kasus dan sangsi hanyalah implikasi yang
tidak lagi dianggap penting. Semua akan menjadi clear dengan tanda
tangan , selembar cek, bahkan lembaran dolar.
Dalam
perspektif makna sosial hukum, hukum tidak dilihat sekedar aturan - aturan normatif yang abstrak tetapi sebagai
sesuatu yang kongrit. Hukum pada dasarnya menghadapi orang – orang yang kongret
pada suatu waktu tertentu dan juga mempunyai latar belakang tertentu pula.
Hukum sejatinya merupakan upaya manusia untuk menata, menertibkan, dan menjaga kehidupan bersama secara tertib.
Pada posisi ini hukum adalah salah satu dari sekian banyak upaya manusia
mengatur tertib hukum bersama. Pada titik ini hukum sesungguhnya berbicara tentang tatanan ketertiban dari sudut pandang
manusia. Hukum berbicara tentang tertib manusia.
Pilihan
– pilihan hukum merupakan fenomena umum dalam masyarakat yang hidup dalam
suasana pluralisme hukum. Ketika suatu masyarakat terkena suatu peristiwa
hukum, pada dasarnya terbuka peluang bagi warga masyarakat untuk memilih norma
/ forum hukum yang dianggap compatible dengan kebutuhan dan sistem situasi yang
dihadapi. Kondisi yang demikianlah memperlihatkan bahwa warga masyarakatlah
yang menentukan makna dari semua norma / forum hukum itu. Dengan kata lain
secara faktual tidak hanya hukum yang memiliki peluang mengontrol perilaku
seseorang, tapi juga warga masyarakat berpeluang setiap saat untuk mengontrol
hukum. Dipilih tidaknya suatu norma atau forum hukum sangat ditentukan oleh
kebutuhan dan sistem situasi yang dihadapi seseorang.
Dari
latar belakang yang dikemukakan di atas maka saya tertarik untuk melakukan
critical review dari buku yang membahas hukum sebagai makna sosial. Buku berjudul Masy
Rakat dan
Pilihan Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah S. Utari, S.H, M. Hum ini sangat
memberikan gambaran yang jelas bagaimana masyarakat atau sesorang mempunyai hak
memilih hukum ketika menghadapi suatu sengketa ataupun permasalahan dalam
hidupnya.
1.2
Permasalahan
Dari latar belakang di atas maka masalah dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
isi dan kandungan buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum
secara ringkas ?
2. Apa saja
kelebihan dan kekurangan isi buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum ?
3. Bagaimana
solusi ataupun masukan untuk
kesempurnaan buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana isi dan
kandungan buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum secara
ringkas ?
2. Untuk
mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan isi buku yang berjudul Masyarakat
dan Pilihan Hukum ?
3. Untuk
mengetahui bagaimana solusi ataupun masukan untuk kesempurnaan buku yang berjudul Masyarakat
dan Pilihan Hukum ?
BAB II
ISI
2.1 Resume
Buku
Buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum yang ditulis
oleh Dr. Indah Sri Utari secara keseluruhan terdiri dari 9 bab. Bab I yaitu
pendahuluan, Bab II yaitu Pilihan Hukum dalam teori, Bab III yaitu Pilihan Hukum
sebagai Tindakan Sosial, Bab IV yaitu Pilihan Hukum dan Tata Tertib, Bab V
yaitu Pengadilan, Penyelesaian Sengketa, dan Pilihan Forum, Bab VI yaitu Makna Sosial Pengadilan, Bab VII Peradilan
Konsiliasi, Bab VIII Fungsi Hukum dalam Masyarakat , dan Bab IX Catatan
Penutup. Untuk mempermudah pemahaman berikut ini akan disajikan resume tiap bab
mengenai isi buku tersebut.
2.1.1
Pendahuluan
Bab pendahuluan ini berisi ringkasan
isi buku secara keseluruhan. Berisi tentang pilihan hukum dalam masyarakat.
Pada posisi ini huykum hanyalah salah saru dari sekian banyak bentuk upaya
manusia untuk menata, menertibkan, dan
menjaga kehidupan bersama secara tertib. Oleh karena itu hukum dalam arti
sebenarnya dalam arti tertentu adalah
dokumen antropologi. Pengkajian hukum dengan perspektif ini tidak hanya
berkutat pada aturan – aturan tapi juga harus juga bergeser kepada manusia
sebagai aktor yang dalam pengambilan keputusan mengenai tindakannya dihadapkan
pada berbagai pilihan aneka norma hukum yang dihadapinya.
Dalam
teorisasi kebijakan hukum di Indonesia yang unoform dan sentralistis, hukum
yang dibuat negara dipersepsikan sebagai hukum yang berkedudukan istemewa,
eksklusif, dan berada di atas semua
sistem pengaturan normatif lainnya. Kenyataannya hukum hukum / regulasi negara
yang superlatif itu itu tidak pernah sepenuhnya dijadikan patokan tunggal. Menurut penemuan Falk Moore sistem – sistem
normatif lainnya lebih efektif dibandingkan dengan pengaturan oleh negara. Hal itu
lebih dikarenakan sebagaimana dikatakan Galenter bagi masyarakat pesan – pesan
normatif dan keadilan tidak dperoleh dari forum negara tapi juga dapat
diperoleh melalui ruang – ruang sosial lain di luar negara. Pendekatan
teoritisnya pun bergeser dari yang struktural fungsional ke analisis situasional.
Pilihan
hukum menurut Von benda Beckman erat kaitan dengan makna sosial hukum yaitu
menunjuk pada realitas ketika hukum mempengaruhi perilaku nyata seseorang dan
ketika masyarakat menggunakan hukum itu untuk mencapai tujuannya. Dalam politik
hukum modern secara umum dikerahkan pada penggunaannya sebagai alat perubahan
sosial. Di Indonesia keyakinan itu dianut , hukum diyakini sebagai sarana
pembaruan masyarakat. Di Indonesia
peradilan negara merupakan peradilan
yang legitimasinya bersandar pada kekuatan legitimasi negara yang bersifat
nasional bukan pada kekuatan legitimasi kultural yang bersifat lokal. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
plural akan berhadapan dengan legitimasi – legitimasi lokal yang beragam dari
masyarakat ke masyarakat lain. Faktor perbedaan legitimasi akan menentukan pola
penyelesaian sengketa dalam masyarakat yaitu penyelesaian lewat pengadilan atau
di luar pengadilan. Rakyat memperoleh keadilan bukan saja pada forum – forum
yang disponsori negara tapi juga pada lokasi – lokasi kegiatan primer yang
berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggann, tempat kerja,
kesepakatan bisnis, dsb.
Ada
beberapa faktor yang menentukan dipakai tidaknya pengadilan sebgai forum
penyelesaian sengketa. Antara lain tujuan – tujuan, sumberdaya, dan strategi
yang ditempuh oleh pihak – pihak. Suatu
yang lumrah secara sosiologis bahwa kebanyakan norma – norma otoriter mempunyai
makna ganda. Karenanya asumsi mengenai keseragaman makna yang mampu melintasi
ruang dan waktu merupakan suatu ideologi yang harus dibayar mahal dengan
mengorbankan hal – hal yang penting. Muatan hukum sebagai sebuah sistem yang
mencakup makna – makna budaya dan simbolik lebih banyak dari pada sebagai
seperangkat alat pengawasan yang operasional.
Sistem
hukum dan struktur kontrol sosial sangat berhubungan dengan pengaturan perilaku eksternal dan pelanggaran yang
terjadi . Secara positif dapat pula dikatakan bahwa semua pola normatif seperti
kebiasaan, sopan santun, yang diikuti orang dalam hubungan interaksi membantu
menyumbangi integrasi sosial. Dalam
kedudukannya sebagai suatu institusi yang melakukan pengintegrasikan terhadap proses - proses
yang berlangsung dalam masyarakat, maka hukum menerima masukan – masukan dari bidang
ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran – keluaran
yang dikembalikan dalam masyarakat. Jika institusi hukum hendak berfungsi sebagai sarana pengintegrasi maka ia harus diterima oleh masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu. Raharjo menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
melalui pengadilan menghendaki penyelesaian sengketa secara tuntas kecuali
terjadi perdamaian sehingga dapat dipastikan pihak mana yang menang dan yang
kalah, sedangkan konteks budaya terdapat
preferensi meredam suatu sengketa yang ada
dan membungkusnya dalam suatu bentuk keselarasan. Dalam situasi yang
demikian maka yang terjadi adalah adanya konflik budaya.
Sebelum
sampai pada proses memilih hukum ataupun forum penyelesaian sengketa kehadiran
hukum negara dalam masyarakat lokal menjadi problematis tidak saja karena ia
merupakan sesuatu yang baru tapi juga karena masyarakat yang bersangkutan
merupakan “bejana yang sudah berisi” yaitu sistem kehidupan. Memiliki semacam
“ordering belief framework” yang mengikat anggota – anggotanya dalam tertib
aturan main bersama. Masyarkat Indonesia
dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi baik secara vertikal maupun
horisontal tidak bisa diharapkan memiliki persepsi yang sama terhadap pesan –
pesan hukum yang disampaikan.
2.1.2
Pilihan Hukum dam Perspektif Teori
Pilihan
hukum dan makna sosial hukum merupakan masalah yang berkaitan dengan
realitas faktual mengenai digunakan atau
tidak digunakannya jasa hukum oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Karena itu pilihan hukum sebetulnya merupakan tindakan sosial. Dalam buku yang ditulis Dr. Indah ini yang
penting untuk dijelaskan adalaj jawaban atas pertanyaan mengapa tingkah laku
sosial ( memilih atau tidak memilih hukum ) lebih tepat dilihat sebagai kenyataan
subyektif ( aksi ) dari pada sebagai kenyataan obyektif. Rujukan yang diungkap
adalah pada aliran fenomenologis yaitu bahwa kehidupan sehari – hari merupakan pokok permasalahan studi sosiologi
umumnya dan tingkah laku manusia.
Menurut
Parsons realitas manusia tidaklah sedemikian rupa pasif terhadapa realitas yang
dihadapinya. Manusia tidak harus dilihat sebagai “barang mati” yang tinggal
dipermainkan oleh realitas obyektif. Sesungguhnyapun sampai derajat tertentu
manusia memilikia kemampuan memberi makna
secara subyektif terhadap
realitas obyektif yang ia hadapi. Itulah
sebabnya tingkah laku manusia lebih sebagai action daripada behaviour. Konsep
action menunjuk pada suatu aktivitas yang dilakukan secara kreatif lewat proses penghayatan diri individu yang penuh
makna.
2.1.3
Pilihan Hukum sebagai Tindakan Sosial
Dipilih
tidaknya suatu norma atau forum ( entah
resmi atau informal ) sangat ditentukan oleh kebutuhan dan sistem situasi
yang dihadapi seseorang. Maka dapat dimengerti kebanyakan sengketa yang menurut aturan – aturan resmi dapat
diajukan ke lembaga peradilan faktual tidak pernah diperkarakan di pengadilan..
Mereka hendak mengatakan bahwa makna
sosial hukum harus dipahami dalam
konteks rakyat awam ketimbang para profesional hukum. Fakta paling jelas
mengenai pilihan hukum dan signifikansi hukum dapat kita rekam dalam preferensi pilihan
norma dan lembaga hukum formal acapkali
sulit mendapat tempat dalam
memandu penyelesaian sengketa baik dalam masyarakat tradisi sederhana maupun
modern. Secara substansial dalam konteks
lintas budaya lembaga dan prosedur penyelesaian sengketa muncul dalam bentuk
yang beragam. Beberapa diantaranya bersifat publik tapi sebagian lagi bersifat
privat ada yang bersifat formal tapi juga ada yang informal bahkan menyatu
dalam suatu bentuk yang kompleks. Masyarakat sudah mengkalkulasikan untung rugi
dalam menentukan pilihan hukum. Kecenderungan menghindari pengadilan selain
karena faktor biaya dan waktu juga karena tidak semua sengketa cocok diselesaikan
melalui proses pengadilan antara lain sengketa keluarga, kontroversi antar
tetangga, hubungan perdagangan jangka panjang. Di Indonesia selain
pertimbangan nilai budaya, alasan
menghindari penggunaan pengadilan antara
lain karena sifat putusannya yang mengandung permusuhan karena yang ada adalah
kalah menang. Putusan pengadilan sering
menjadi pemicu konflik lanjutan bukan menghentikan konflik.
Kebijakan
hukum untuk negara yang plural seperti
Indonesia yang dibutuhkan adalah kebijakan yang memperhitungkan secara adil dan
seimbang segi ke Bhinekaan nya di tengah keikha an Indonesia. Sebab yang
menyeluruh tidak dapat dengan tuntas mempresentasikan pluralitas dan
heterogenitas bagian – bagiannya. Sementara pluralitas dan bagian – bagiannya
tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh. Baik yang
menyeluruh atau yang bagian- bagiannya menpunyai struktur, sistem, dan
dinamikanya sendiri – sendirin
2.1.4
Pilihan Hukum dan Tertib Sosial
Hukum berbicara tentang tatanan
ketertibsn dari sudut manusia, oleh
karena itu hukum sebenarnya dalam arti tertentu adalah antropologi. Artinya
adalah bahwa manusia menyatakan kehendak dirinya lewat hukum. Secara ringkas di
satu pihak hukum berbicara tentang apa yang benar, baik, dan tepat dari sudut
bahasa dan pemahaman manusia. Di pihak lain hukum merupakan pernyataan kehendak
manusia tentang yang baik, benar, dan
tepat tersebut.
Pusat
perhatian dalam banyak kajian tentang tertib sosial sejak masa dulu sampai
sekarang, berporos pada masalah hubungan
antara hukum dan penataan normatif lainnya. Dikatakan bahwa setiap
sistem hukum harus menghadapi masalah
masalah otonomi dan otoritas dari
aneka jenis penataan normatif lainnya yang berkoeksistensi dengannya dan
masyarakat. Kesempatan rakyat mengintegrasikan diri dalam struktur hukum modern
merupakan persoalan lain lagi. Di sini
bukan hanya persoalan budaya hukum saja tapi juga menyangkut dimensi yang jauh
lebih besar. Masyarakat Indonesia dengan tingkat heterogenitas yang cukup
tinggi baik secara vertikal dan horosontal ridak bisa diharapakan memiliki
pesepsi yang sama terhdap pesan – pesan hukum yang disampaikan. Ada banyak
faktor yang menghalangi. Komitmen pada nilai dan norma lokal yang begitu tinggi
sudah tentu menjadi faktor resisten terhadap pesan yang batu apalagi bila tidak
jumbuh dengan apa yang mereka miliki. Pada aras empirik hukum negara yang
dibentuk relatif semurna dalam lingkungan pembuatnya dan diproyeksi menjadi
penuntun perilaku yang bersifat harus bagi semua tidak selalu demikian oleh
komunitas lokal. Muatan sebuah aturan tidak pernah ditangkap sebagai keharusan
– keharusan obyektif yang bebas nilai tapi juga selalu dikaitkan dengan makna –
makna budaya dan sistem simbolik lokal. Pendek kata sebuah regulasi selalu
diberi muatan simbolik di tingkat lokal entah dalam makna sebagai janji –
janji, model baru, ancaman, stigma, ataupun sebagai simbol kekuasaan, pemicu
konflik, dsb. Karena itu dalam komunitas lokal hukum negara tidak pernah
diterima sekedar teks normatif tentang apa yang seharusnya dipatuhi, ditaati,
dan dilakukan. Ia juga kalau bukan yang terutama ditangkap sebagai dokumen baru
yang terhadapnya rakyat bergumul soal
bagaimana mematuhi, menaati, dan
melakukan sekalian keharusan itu. Bahkan setiap regulasi negara senantiasa
dihadapka pada pertanyaan apakah ia
memeiliki keabsahan kultural sebagai apa yang dikatakan oleh Van Peursen
sebagai paspor budaya dalam lingkungan merekan.
2.1.5
Pengadilan, Penyelesaian Sengketa dan Pilihan Forum
Ada 3
hal yang menjadi ciri pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa secara
hukum. Pertama adanya kekuasaan tunggal untuk mengadili, kedua pengadilan
memiliki kekuasaan yang merdeka dalam mengadili. Dan ketiga pengadilan bekerja
menurut prosedur hukum acara . Keempat putusan pengadilan dapat dijalankan
secara paksa.
Secara
garis besar penyelesaian sengketa dapat digolongkan menjadi 2 yaitu
penyelesaian lewat jalur pengadilan ( litigasi ) hasilnya berupa kalah dan menang, dan
penyelesaian lewat jalur non pengadilan ( non litigasi ), hasil yang diperolah
cenderung win win solution. Nader and Todd menyebut paling sedikit tujuh bentuk
penyelesaian sengketa yang digunakan di berbagai masyarakat luas lintas budaya
yaitu ajudikasi ( pihak pengadilan
mempunyai kewenangan formal untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya
dan berhak mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan pihak yang bersengketa
), arbitrasi( keputusan pengadilan membutuhkan persetujuan pihak – pihak yang
bersangkutan ), mediasi ( bentuk penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak
ketiga untuk membantu menyelesaiakn masalah ), negosiasi ( bentuk
penyelesaian yang bersifat diadik tanpa
menghadirkan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah ), paksaan, penghindaran,
dan membiarkan saja. Tujuh bentuk penyelesaian tersebut dapat diklasifikasikan
dalam 3 jenis yaitu penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga, penyelesaian
yang dilakukan pihak – pihak yang bersengketa dan penyelesaian yang dilakukan
secara sepihak oleh salah satu pihak.
Tiap
masyarakat atau individu selalu memiliki alasan rasional, tujuan, keyakinan,
tradisi, danperhitungannya sendiri dalam memilih forum penyelesaian sengketa
yang mereka kehendaki. Pilihan forum
penyelesaian sengketa bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, semua itu
merupakan bentuk tindakan berdasarkan suatu tujuan atau alasan tertentu. Untuk
memahami pilihan tindakan dapat dikaji dalam beberapa aspek antara lain faktor
– faktor yang menentukan tindakan, makna yang diberikan pada obyek, serta
tujuan dan konsekuensi tindakan yang hendak ditempuh. Pemikiran Giddens lewat
teori strukturisasi menyatakan bahwa
tingkah laku seseorang tidak selalu ditentukan oleh nilai – nilai dan
kebiasaan, tapi manusia mempunyai kebebasan menciptakan struktur baru bagi
tingkah lakunya. Menurutnya tindakan yang dilakukan seseorang berkaitan dengan
kegandaan struktur. Struktur sebagai sumber daya / seperangkat aturan tidak hanya bersifat melarang tapi juga
memperbolehkan para agen untuk menentukan sendiri tingkah lakunya, yang disebut
dengan duality of structure. Struktur sebgai fenomena sosial yang terjadi
berulang – ulang dan terus menerus sebagai hasil produksi tapi juga sebagai
penyebab terjadinya interaksi sosial.
Dalam konteks yang demikian seorang yang terpasang dalam struktur yang di satu
pihak bersifat membatasi/ menentukan tingkah lakunya sedangkan di pihak lain
struktur juga memberi peluang kepadanya untuk memilih sendiri tingkah
lakunya. Posisi seseorang dalam duality
of structure menyebabkan di satu pihak ia berada dan dibentuk oleh tatanan
struktur tapi juga sekaligus sebagai penyumbang terbentuknya struturr itu lewat
interaksi yang dilakukannya. Pada titik ini ia selalu terlibat dalam proses
reproduksi struktur. Pilihan tingkah
laku seseorang dalam strukturasi lebih terkait dengan masalah praktis dalam
konteks kehidupan sehari – hari. Pandangan ini sesuai dengan Mead yang
menyatakan bahwa manusia tidak harus dilihat sebagai produk yang ditentukan
oleh struktur atau situasi obyektif tapi sebagaian merupakan aktor – aktor yang
bebas.
Seidman lebih melihat bahwa tindakan yang dilakukan
seseorang sebagai pemegang peran
berkaitan dengan ganjaran dan hukuman. Setiap orang selalu memperhatikan
keuntungan dan kerugian yang akan diterimanya jika pilihan tindakan itu dilakukan atau dipilih. Homans sebagai pencetus teori pertukaran
menyatakan bahwa bahwa suatu tindakan
adalah rasional apabila berdasarkan
perhitungan untung rugi Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan maka
semakin kecil kemungkinan tingkah laku serupa akan diulang. Sedangkan Blumer penganut aliran
interaksionis simbolik berpendapat bahwa manusia tidak dilihat sebagai produk
yang ditentukan oleh struktur tapi merupakan aktor – aktor yang bebas. Budaya,
sistem sosial, stratifikasi sosial tidak menentukan tindakan individu. Berdasarkan otonomi yang dimilikinya individu
mempu memebuat pilihan – pilihan yang bersifat independen mengenai tindakan apa
yang ia lakukan. Pilihan tersebut
berkaitan dengan makna atas obyek . Makna pada dasarnya merupakan intepretasi
yang diberikan seseorang atas suatu obyek. Dalam suatu tindakan makna tersebut
dipakai sebagai instrumen yang mengarahkan suatu tindakan. Dengan makna
tersebut bisa saja orang menganggap bahwa berperkara ke pengadilan merupakan
suatu cara yang ideal oleh karena pengadilan dilihat sebagai tempat memperoleh
perlindungan atas hak – hak yang diperjuangkannya. Tapi mungkin bagi orang lain
berperkara ke pengadilan dianggap sebagai aksi gagah – gagahan yang kurang
terpuji
Penyelesaian
sengketa baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan menurut Giddens adalah
suatu pilihan tindakan strategis. Dalam setiap tindakan aktor memperhatikan
sumber sebagai media yang menjadi suatu kekuatan yang digunakan dalam suatu
tindakan. Adapun sumber yang dimaksud bisa berupa kedudukan, kemamuan keuangan,
mempunyai bukti – bukti yang kuat atas pemilikan tanah dsb.Sumber – sumber
semacam ini dalam pilihan stratgis dapat digunakan oleh aktor sebagai sarana
mencapai hasil atau tujuan yang
diharapkan. Beragam teori tersebut memberikan gambaran bahwa pilihan bentuk
penyelesaian sengketa bukan didasari oleh sebab tunggal.
2.1.6 Makna
Sosial Pengadilan
Dalam
sebagian besar masyarakat Indonesia tanah merupakan dasar bagi identitas diri
dan keberlangsungan kehidupan spiritual para pemiliknya. Tanah sebagi simbol identitas dan hak yang di
dalamnya berselimutkan kehormatan, martabat pemiliknya. Seperti yang terjadi
pada masyarkat nelayan yang ada di Tuban.
Sengketa tanah sekaligus juga merupakan persoalan hidup mati, kepentingan,
harga diri, eksistensi, ideologi, dan nilai budaya. Itulah sebabnya
penyelesaian sengketa tanah selalu melibatkan pertarungan kepentingan , harga
diri, identitas ,dan akses pada sumber daya.
Temuan
di lapangan pada masyarakat petani dan nelayan di Tuban menyatakan bahwa
warga menganggap bahwa pengadilan kurang
bermakna sosial sebagai forum pnyelesaian sengketa tanah. Komunitas ini
cenderung menghindari penggunaan pengadilan dalam menyelesaikan
sengketanya. Mereka lebih suka
menyelesaikan melalui forum – forum setempat seperti desa, kecamatan, pemuka
agama, kerabat . Forum itu masih dianggap mampu menangani persoalan sengketa
tanah yang dihadapi. Warga senantiasa
mempertimbangkan faktor siapa yang paling mengetahui ihwal pokok sengketa tersebut. Mereka menggangap bahwa pengadilan hanya
memiliki pengetahuan tentang hukum negara, dan sedikit sekali bahkan tidak
mengetahui sama sekali kidah tanah yang disengketakan. Sehingga muncul
kekawatiran di kalangan masyarakat tentang kemungkinan terjadinya kesesatan sejarah tanah jika dibawa ke pengadilan. .
Penyelesaian di luar pengadilan tidak memerlukan prosedur yang rumit, yang
melek huruf dan buta huruf dapat berbicara dalam posisi yang sama, tidak ada
batas waktu dan tidak memakan biaya yang banyak. Mereka menganggap dengan
berperkara di pengadilan tidak menjamin ditemukannya keadilan. Pengadilan
hanyalah tempat berdagang hukum dimana yang kuat, kaya, dan dekat dengan hakim
dan mampu bermain licik merekalah yang akan menang. Lembaga pengadilan
menjalankan mesin hukum berdasarkan tindakan – tindakan instrumental formal
yang mengutamakan aturan – aturan dan prosedur dari pada keutuhan realitas.
Akibatnya lembaga dan pranata hukum
menjadi entiitas yang esoteris yang terpsah secara asimetris dengan tipe
– tipe regulasi sosial lain yang menguasai
lalu lintas pergaulan manusia yang begitu kompleks.
Kebenaran
dan kebaikan budaya setempat selalu memiliki keunggulan tersendiri dalam
konteks dunia atau sistem situasi mereka yaitu ketepatan dengan pergumulan
setempat. Untuk dapat diterima dalam kerangka budaya setempat setiap budaya
luar senantiasa dihadapkan pada suatu tantangan apakah budaya tersebut memiliki
visa budaya untuk masuk dalam lingkungan kebudayaan yang bersangkutan.
Pengadilan bermakna sosial hanya untuk kasus – kasus yang tidak terkait
langsung dengan ikata – ikatan sosial yang berdimensi kekerabatan, religius,
dan kultural. Sejauh menyangkut
sengketa yang melibatkan pihak – pihak pihak – pihak yang memiliki hubungan
yang berdimensi prestise, previlese maupun kekuasaan maka bagi warga komunitas
seperti petani dan nelayan di Tuban pengadilan tidak diguankan sebagai forum
penyelesaian sengketa. Para pihak yang
terlibat sengketa yang diselesaikan lewat pengadilan berasal dari afiliasi
religius yang berbeda yakni santri dan non santri, di sini yang menjadi fokus
adalah identitas para pihak yang bersengketa di pengadilan. Hal ini terjadi
karena mereka menyadari ada jarak sosial yang cukup signifikan satu sama lain,
masing – masing berpedoman pada orientasi religius yang berbeda, dan terdapat
perasaan saling curiga diantara mereka.
Beberapa
orang yang memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa karena beberapa
alasan antara lain mempertahankan harga diri sebagai pemilik, jalur negosiasi mengalami kebuntuan , dan
pengadilan dianggap memiliki otoritas yang kuat dan adanya keputusan yang dapat
dipaksakan. Dilihat dari sisi penggugat
terdapat beberapa fakta yang
memungkinkan mereka memilih pengadilan yaitu memiliki bukti formal, memiliki relasi dan kemampuan untuk membayar
pengacara, dan memiliki bukti berupa sertifikat. Dilihat dari sudut hukum negara penyelesaian
sengketa melalui pengadian memilki kelebihan khususnya dalam hal jaminan
kepastian hukum. Tiap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap apabila tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut
dapat ditegakkan secara paksa. Hal ini berbeda dengan penyelesaian di luar
pengadilan tidak tertutup kemungkinan salah satu pihak yang berperkara membuka
kembali persoalan tersebut di kemudian hari. Sedangkan alasan tidak memilih
pengadilan untuk menyelesaikan sengketa
adalah faktor ekonomi dan juga
menghindari permusuhan, karena
jika diselesaikan lewat pengadilan mereka khawatir akan mengancam hubungan baik
dan persaudaraan karena pola menang kalah.
2.1.7
Peradilan Konsiliasi
Harus
diakui bahwa persoalan utama yang dihadapi masyarakat pedesaan di bidang
peradilan dewasa ini adalah bagaimana memperoleh kepastian hukum tanpa
mengorbankan keadilan dan jaminan kerukunan serta bagaimana memperoleh keadilan
dan jaminan kerukunan yang didukung oleh kepastian hukum.Tantangan paling keras
di bidang peradilan dewasa ini adalah menemukan forum yang mampu memenuhi
kebutuhan rasa keadilan dan kerukunan masyarakat sekaligus jaminan kepastian
hukum . Dibutuhkan sistem beracara yang dapat dimasuki rakyat biasa yang paling
sederhana sekalipun untuk mendialokkan
kepentingan mereka secara lebih komunikatif tanpa banyak dibebani halangan –
halangan teknik, prosedur, dan biaya mahal. Sistem beracara yang demikian yang
disebut dengan peradilan konsiliasi. Konsep di sini menunjuk pada mekanisme dan
prosedur mengadili yang berbeda dengan pengadilan sebagai lembaga. Peradilan yang dikehendaki adalah peradilan
yang mengakomodasi secara seimbang sistem formal dan sistem informal.
Peradilan
konsiliasi merupakan bentuk peradilan
yang mampu mengakomodasi secara proposional dan adil aspek formal dan informal
( aspirasi dan kebutuhan sosial ) dalam mekanisme, pertimbangan, dan
keputusannya. Unsur dan mekanisme forum yang diharapkan antara lain : Pertama
adanya semacam dokumen yang berisi keluhan kedua belah pihak yang bersengketa.
Dokumen ini menjadi dasar penyelesaian sengketa dalam forum tersebut. Kedua
adanya komisi penyelesaian sengketa yang terdiri dari hakim dan wakil para pihak sebagai konsiliator. Para wakil
tersebut adalah mereka yang sungguh – sungguh mengetahui perihal obyek sengketa
dan memahami nilai – nilai sosial budaya dara masyarakat tempat para pihak berasal. Ketiga diharapkan
jangka waktu persidangan ditetapkan batas maksimum tidak lebih dari tiga bulan.
Batasan waktu tersebut terkait dengan kebutuhan warga masyarakat dalam
memanfaatkan tanah bagi pemenuhan kebutuhan mereka ( terutama yang
mengantungkan hidupnya dari tanah). Keempat dalam memutuskan kasus lebih diutamakan
pendekatan konsensus dalam mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa.
Kelima, keputusan harus merupakan hasil dari korespondensi antara realitas
sosial dari kasus dengan premis – premisa aturan hukum. Keenam, keputusan
komisi tersebut ( entah berupa kesepakatan ataupun hukuman ) harus berkekuatan
hukum sebagaimana putusan pengadilah, dan bersifat final. Ketujuh, kekpeutusan
tersebut dituangkan dalm bentuk tertulis sebagai dasar hukum yang pasti.
Beberapa
argumentasi yang dipakai untuk menyebut peradilan tersebut sebagai peradilan
rekonsiliasi yaitu: Pertama selamaini
menyangkut hukum dan peradilan pihak negara selalu berada dalam posisi yang
berseberangan. Hukum dan pengadilan negara terlalu teknis, formalitis,
prosedural sehingga sulit dimasuki oleh rakyat. Di pihak lain rakyat yang
begitu plural memilihi aspirasi yang juga begitu heterogen sehingga amat sulit
diartikulasi dalam bingkai hukum yang menuntut perumusan yang jelas, tegas, dan
spesifik. Kedua, pengadilan yang selama ini dipakai sebagai pengadilan standar
dikelola sepenuhnya oleh aparatur peradilan
dengan sedikit sekali partisipasi para pihak dalam menentukan putusannya. Putusan pengadilan tersebut
lebih banyak bersifat win los
solution yang secara diametral
berseberangan dengan sifat tepa seliro dan menang tanpa ngalahake dalam
budaya Jawa untuk mengatasi konflik.
Ketiga, putusan – putusan pengadilan lebih banyak bersifat win loss
sulution atau winner takes all . Keempat, jika dilihat dari berbagai
regulasi menyangkutpengadilan, maka pengadilan negara merupakan pengadilan yang
legitimasinya bersandar pada kekuatan
legalitas dan legitimasi negara bukan pada kekuatan legitimasi kultural
yang bersifat lokal.
Model peradilan konsiliasi memiliki signifikansi karena
beberapa alasan yaitu : Pertama, berkaitan dengan asas bahwa pengadilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya yang ringan. Kedua, bahwa realitas masyarakat kontemporer
Indonesia lebih bersifat prismatik ketimbang tradisional ataupun modern. Yakni
masyarakata yang ditandai oleh adanya struktur sosial berbagai komunitas yang
terdapat dalam masyarakat yang bersifat polycomunal. Ketiga , dewasa ini sering
terjadi krisis kepercayaan terhadap hukum dan pengadilan akibat manipulasi yang
dilakukan aparat penegak hukum. Keempat, pengadilan konsiliasi merupakan forum yang searah dengan sejumlah
peraturan perundang – undangan yang menawarkan penyelesaian alternatif. Kelima,
pengadilan konsiliasi yang memungkinkan keterlibatan aktiv dari masyarakat
selain dapat mengurangi permainan kotor dalam lembaga peradilan juga dapat
menjadi tempat sosialisasi hukum demi
meningkatkan kepercayaan dan kesadaran hukum masyarakat. Keenam, pengadilan
konsiliasi dapat memperlancar akses masyarakat pada keadilan karena masyarakat ikut menentukan substansi
penyelesaiannya. Lewat mekanisme tersebut terbuka kesempatan bagi tercapainya
penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.
2.1.8 Fungsi Hukum dalam Masyarakat
Fungsi hukum antara lain : Pertama, hukum berfungsi
sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Kedua, sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial. Ketiga,
sebagai penggerak pembangunan,
hukum sebagai alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
Keempat, fungsi kritis, daya kerja hukum
tidak semata – mata melakukan pengawasan kepada aparatur pengawasan atau
aparatur pemerintahan saja, melainkan juga mengikat aparatur penegak hukum.
Sebagai norma sosial hukum merupakan sarana yang memungkinkan
kehidupan sosial berlangsung secara teratur. Secara umum para ahli memberi
prioritas pasda pembahasan fungsi hukum sebagai kontrol sosial ( social control
) dan fungsi hukum yang berkenaan dengan perubahan sosial ( social exchange ).
Tentu saja hal ini merujuk pada sejarah pemikiran hukum mengenai fungsi hukum
dalamperubahan sosial. Paham yang pertama, hukum hanya mengikuti dan
mengesahkan perubahan – perubahan yang terjadi.
Pada umumnya dalam bidang – bidang kehidupan yang netral, maka hukum
dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengubah masyarakat karena tekanannya
lebih ke arah kepastian, sedangkan apabila menyangkut bidang – bidang kehidupan
pribadi, maka hukum lebih berfungsi sebagai sarana kontrol sosial karena dalam
hal ini keadilan memegang peranan yang lebih utama. Dapat pula dikatakan bahwa
dalam bidang – bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketentraman, hukum merupakan
sarana untuk mencapai / mempertahankan stabilitas. Berkenaan dengan fungsi
hukum sebagai kontrol sosial , maka hukum bertugas untuk menjaga agar
masyarakat tetap berada dalam pola – pola tingkah laku yang telah diterima
olehnya. Dalam peranannya sebagai kontrol sosial, maka hukum hanya
mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima oleh
masyarakat. Dengan kata lain , hukum sebagai penjaga status quo.
Berkaitan dengan upaya pengendalian sosial, maka dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu pengendalian sosial yang bersifat preventiv dan
pengendalian sosial yang bersifat represif. Preventif berupa pencegahan
gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat,
sedangkan yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan
yang mengalami gangguan. Hukum diarahkan
untuk mengkoordinasi keseluruhan sistem sosial, sehingga dengan demikian
mempunyai fungsi integratif. Posisi hukum sebagai mekanisme integratif
tersebut, sesungguhnya berakar dari konsep tentang fungsi hukum dalam sistem
sosial yang dikembangkan oleh Talcot Parson. Parson menyoroti tertib hukum
dalam kerangka teori sistem sosial yang fungsional. Hukum dipandang sebagai
suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi pada hampir seluruh subsistem
sosial. Fungsi utamanya adalah integrasi, yaitu untuk mengurangi unsur sengketa
yang potensional ada dalam masyarakat untuk melancarkan proses pergaulan
sosial. Itulah sebabnya, yang ditekankan di sini adalah bila aterjadi konflik
haruslah dilaksanakan dalam suatu kerangka pengaturan, dan tidak dibenarkan
untuk diperbururuk menjadi konflik total.
Membiarkan terjadi sengketa – sengketa tanpa penyelesaian akan
menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada
saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan –
kekuatan yang salaing bersaing itu sehingga dapat menciptkaan kerjasama yang
produktif. Dalam kedudukannya sebagai sesuatu institusi yang melakukan
pengintegrasian terhadapa proses – proses yang berlangsung dalam masyarkat,
maka hukum menerima masukan – masukan dari bidang ekonomi, politik, dan budaya
untuk kemudian diolah menjadi keluaran – keluaran yang dikembalikan dalam
masyarakat. Jika institusi hukum hendak
berfungsi sebgagi sarana pengintegrasi, maka ia harus diterima oleh masyarakat
untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti bahwa para anggota harus dapat
dimotivasikan untuk menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian
konflik – konfliknya.
Jelas disini, perlu ada motivasi dari warga masyarakat
untuk menggunakan sarana hukum , pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang
mereka hadapai. Artinya, pengadilan baru melaksanakan fungsinya jika ada
perkara yang diajukan padanya. Selama tidak ada perkara yang masuk , pengadilan
tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Khususnya dalam bidang perdata,
termasuk sengketa tanah, badan peradilan dapat melakukan fungsinya untuk
menyelesaikan sengketa, sangat tergantung pada pihak – pihak yang berperkara.
Tentu saja, terdapat beragam faktor yang menentukan dipakai tidaknya pengadilan
sebagai dforum penyelesaian sengketa. Menurut Seidman, hukum mempengarui
pilihan tindakan manusia dlam dua cara yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Hukum mempengaruhi secara langsung karena beberapa hal antara lain :
Pertama, individu yang bersangkutan merasa hukum itu merupakan perintah yang
bersifat memaksa. Kedua, hukum itu memberikan perangsang yang harus
diperhitungkan. Ketiga, bahwa hukum itu benar sehingga perlu dipatuhi.
Sedangkan hukum mempengaruhi secara tidak langsung, karena individu
memperhatikan dan mengikuti pola – pola perilaku yang dilakukan orang lain
secara berulang – ulang atau sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat.
Menggunakan atau tidak menggunakan pengadilan, bisa disebabkan oleh adanya
faktor korelasi antara tujuan yang hendak dicapai dan stratifikasi masyarakat
yang bersangkutan.
2.2 Kelebihan dan Kekurangan Isi
Buku
Buku berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari
sangat lugas dan memang sesuai dengan konteks masyarakat sekarang. Buku ini
memeberikan gambaran yang sangat lugas dan sangat jelas bagaimana proses
masyarakat “biasa” mencari keadilan dalam sebuah sengketa yang dialaminya. Tidak hanya mengkritik tentang hukum
positiv yang selama ini banyak digunakan
oleh masyarakat Indonesia tapi buku ini juga memberikan solusi sebuah peradilan
baru yang tidak hanya memberikan kepastian
hukum tapi juga memberikan sebuah keadilan dengan memperhatikan kondisi
sosio kultural masyarakat yang dalam buku ini disebut sebagai “peradilan
konsoliasi”. Buku ini benar – benar menggambarkan realitas yang ada di
masyarakat. Bahwa betapa banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam mencari
sebuah keadilan karena keterbatasn sumber daya yang mereka miliki. Peradilan
konsiliasi ini memberi alternatif solusi. Konsep seperti ini sudah seharusnya
bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah. Bahwa produk hukum yang ada harus sesuai
dengan jiwa rakyat Indonesia.
Buku ini juga sangat ilmiah karena beragam teori diungkap
secara detail sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena yang ada di
masyarakat khususnya untuk masalah sengketa yang dihadapi. Teori – teori sosial
mulai dari Parson, Van peursen, Homans, Mead, samapi dengan Antony Giddens
diulas secara detail dan digunakan oleh penulis secara tajam memberikan gambaran
yang jelas tentang fenomena sosial yang ada. Diungkap bagaimana ketika
seseorang menentukan pilihan dalam tindakan sosialnya dalam hal ini pilihan
dalam memilih forum hukum dalam menyelesaikan masalah menjadi semakin ilmiah
karena dibingkai dengan beberapa asumsi yang ada . Buku ini mengungkap betapa tidak
mudah untuk memahami posisi hukum dalam masyarakat. Ketidak-mudahan itu dimungkinkan banyak
misalnya saja berkenaan dengan pemahaman terhadap hukum itu sendiri. Pemamahan
publik terhadap hukum tidaklah sama. Akan tetapi hal itu tidaklah sekaligus
berarti apa yang dinamakan dengan hukum
itu menjadi sesuatu yang abstrak. Artinya publik maupun kalangan hukum sendiri
bisa dengan mudah memahami esensi dari apa yang disebut dengan hukum. Tapi hal
itu tidak sekaligus menjelaskan bagaimana posisi hukum dalam masyarakat.
Kelebihan
dalam buku yang sangat menarik adalah betapa solusi yang ditawarkan begitu
sangat berharga. Konsep peradilan konsiliasi yang ditawarkan sudah seharusnya
mendapat perhatian dari pemerintah. Saya sepakat bahwa itulah yang dibutuhkan
oleh masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat dan nilai – nilai
lokal yang ada. Solusi ini membuka cakrawala baru bagi dunia peradilan di
Indonesia yang kini makin jauh dari rasa kepercayaan rakyatnya. Rakyat berusaha
mencari keadilan lain di luar forum negara. Buku ini mengungkap bahwa pemahaman yuridis para yuris bukan satu
– satunya makna sosial hukum yang mutlak
diterima semua pihak sebagaimana kecenderungan deewasa ini. Lebih tepat
dikatakan bahwa masing – masing individu maupunkelompok memiliki kesempatan
untuk memaknai hukum dalam konteks pergumulan dan sistem situasi yang mereka
hadapi. Buku ini sangat bagus karena mengungkap bagaimana pranata – pranata
formal memang menikmati keadaan yang hampir seluruhnya monopoli dalam memaksa
rakyat untuk memenuhi suatu aturan, namun pranata – pranata tersebut tidak
mempunyai monopoli jenis apapun terhadap
aneka bentuk pemaksaan efektif dan bujukan efektif lainnya pada seseorang.
Kelebihan
lain dari buku ini adalah bahwa buku tentang pilihan hukum dan penggunaan makna
sosial ntuk sebagai perspektif sangat bermanfaat untuk mengkaji fenomena yang muncul dalam konteks pluralisme hukum. Sebab secara teoritis
maupun faktual, pluralisme hukum
merupakan realitas yang memungkinkan warga masyarakat melakukan pilihan
norma dan dan forum hukum untukmenyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Dengan demikian , dapat dikatakan bahwa secara sosiologis,
aneka norma dan lembaga hukum yang ada, tidak lebih dari suatu kenyataan sosial
yang dihadapi seseorang, dan sekalian itu dapat dimaknai secara sosial oleh
warga masyarakat. Jelas di sini, bahwa warga masyarakatlah yang menentukan
makna dari semua norma / forum hukum
itu. Dengan kata lain secara faktual, bukan hukum yang mengontrol warga
masyarakat, tetapi sebaliknya warga masyarkatlah yang mengontrol hukum. Dipilih
tidaknya suatu norma atau forum hukum, sangat ditentukan oleh “kebutuhan” dan
“sistem situasi” yang dihadapi sesorang.
Kritikal
Review
Tidak
banyak kekurangan dari buku ini. Beberapa hal yang bisa saya kritiki sebagai
berikut:
1.
Masalah sistematika
Dalam
beberapa bab yang disampaikan menurut saya akan lebih sistematis jika maslah fungsi hukum dalam masyarakat yang
ditulis di bab VIII akan lebih baik jika disajikan dalam bab awal . Dimana para
pembaca akan lebih memahami fungsi hukum itu sendiri sebelum mengetahui lebih
jauh dan memaknai lebih jauh tentang pilihan hukum yang akan ditempuh
masyarakat. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat
penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat
pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah
dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan
dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan
suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
Pelaksanaan
hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat.
Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai
hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi
setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik,
seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Dengan mengerti fungsi hukum akan lebih mudah
juga memaknai makna sosial hukum . Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Roberto M Unger (2011;54), tampaknya hukum adalah subjek kajian yang
bermanfaat karena upaya untuk memahami signifikansinya akan mengarahkan kita
lansung menuju inti tiap-tiap masalah besar yang belum terpecahkan dalam teori
sosial. Lebih jauh dikemukakan Roberto
M Unger, bahwa hukum terlihat dalam
masalah metode. Setelah paham Aristoteles ditolak dalam pemikiran politik,
fenomena atau gejala sosial perlu dijelaskan dan digambarkan dalam
istilah-istilah yang berbeda dengan istilah-istilah tradisional untuk tujuan
dan manusia. Namun, pada saat yang sama menjadi jelas bahwa kita memang
mengandalkan peraturan-peraturan preskriktif. Peraturan-peraturan ini bukan
sekedar fakta tanpa signifikansi moral bagi orang-orang yang membuat,
menerapkan, dan menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kecaman dengan
berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut.
2.
Perlu analisis sosiologis dan
antropologis yang lebih mendalam.
Artinya
sebaiknya harus mulai mempelajari proses-proses non formal yang terjadi di masyarakat
. Peran analisis sosiologis dan antropologis digunakan, karena kajian ini ingin
melihat berbagai aspek sosial-budaya dari kebijakan, yakni keterkaitan antara
kebijakan dengan manusia-manusia pembuat dan pelaksana kebijakan tersebut.
Pemelahan
hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan
masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut:
1.
Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.
2.
Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas
universal.
3.
Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan
ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Dalam
masyarakat moderen, hubungan antar warga tidak lagi sebatas kekerabatan, klen,
suku dan sebagainya, tetapi lebih luas lagi menyangkut hubungan antara warga
dan pemerintah. Perluasan konteks hubungan sosial ini sebagai akibat dari
semakin terintegrasinya komunitas-komunitas lokal ke dalam organisasi negara-bangsa.
Hubungan antar warga negara-bangsa diatur oleh suatu penyelenggara negara yang
biasa dikenal sebagai pemerintah dan lembaga-lembaga legislatif. Institusi
penyelenggara negara selalu berkeinginan untuk mempengaruhi masyarakat dengan
usaha menata dan mengatur warga masyarakat. Dalam negara modern warga
masyarakat diatur oleh berbagai peraturan yang tidak terhitung jumlahnya yang
dibuat oleh kaum birokrat di pemerintahan. (Haviland dalam Britan dan Cohen,
1980b). Berbagai peraturan yang dikeluarkan itu adalah refleksi dari kebijakan
institusi atau birokrasi negara. Untuk mengkaji suatu kebijakan, paling tidak
ada dua cara yang harus diketahui, yaitu kajian yang melihat isi kebijakan
(policy content) dan kajian yang melihat bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat
dan dilaksanakan (policy process). Kajian isi kebijakan (policy content)
kebanyakan berupa analisis legal-normatif. Kajian antara lain ingin melihat
konsistensi kebijakan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, perubahan
kebijakan dari waktu ke waktu serta ketercakupan prinsip-prinsip keadilan dalam
isi kebijakan. Kajian proses kebijakan (policy process) lebih mengarah pada
analisis sosiologis dan antropologis, disamping analisis yang berkembang dalam
kajian organisasi (administrasi) . Peraturan Nagari tidak
bisa dilihat dari perspektif Hukum Negara saja, namun secara luas juga
merupakan perwujudan dari kearifan lokal yang ada disuatu masyarakat hukum
adat. Jika dahulunya, masyarakat adat identik dengan hukum adat yang tidak
tertulis dan merupakan kesepakatan bersama dalam suatu kesatuan masyarakat
hukum adat, maka saat ini hukum adat yang tidak tertulis itu diharapkan
berevolusi menjadi sebuah aturan yang tertulis namun tetap bernafaskan kearifan
lokal. Namun dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi
pergeseran–pergeseran dimana akibat faktor–faktor tertentu menyebabkan kurang
percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada, diantaranya faktor penegak hukum
yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakan–tindakan
yang dianggap oleh masyarakat mengganggu. Bahkan banyak masyarakat yang merasa
telah dirugikan oleh oknum–oknum penegak hukum disebabkan keawaman mereka
tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek
penderita. Dalam abad Ke-21 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana
sebagian hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara
tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya
yang berarti hukum dalam bidang-bidang tersebut masih dalam proses
perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu
hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus
dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan
terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum,
dengan begitu terdapat interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat. Namun faktor lain yang perlu diperhatikan
juga adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini
sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah
tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya
semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga
proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat.
3.
Dari penjelasan buku yang ada masalah
hukum negara yang superlatif selayaknya dikaji secara tersendiri .
Hal ini dilakukan agar
pembaca secara mudah menangkap maksud mengapa orang sekarang cenderung
menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah
hukum negara begitu superlatif di atas norma-norma lain? Dan dapat efektif
mengatur perilaku masyarakat Indonesia yang begitu plural? Pertemuan norma
antara hukum negara dengan norma kebiasaan tidak selalu berwujud keterbauran
yang padu/ tidak padu, tetapi juga melahirkan benturan kesenjangan. Ada
persaingan antar “kebenaran” dari hukum dan budaya; formal dan informal.
Benturan yang timbul disekitar pertemuan hukum nasional dan hukum lokal
melahirkan kemacetan pemberlakuan hukum ditingkat lokal. Terhadap gejala yang
demikian itu, tidak sedikit orang memahaminya sebagai fenomena “ketidaksadaran
hukum”, bukan dimengerti sebagai “ketidakpatuhan hukum”. Melalui
proses intelektual dan proses hati nurani, pembaca akan lebih mengerti sampai pada kesepakatan bersama, yaitu
berkehendak atas kebenaran dan kebaikan serta keindahan sebagai nilai yang
berguna, bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan (utility value) adalah hal
yang benar, yang baik, yang indah karena bermanfaat bagi semua pihak. Nilai
kegunaan adalah menyenangkan, saling menguntungkan, dan mensejahterakan semua
pihak. Akhirnya manusia menjadi penentu, untuk berkehendak memilih yang benar
menurut akal dan sekaligus baik menurut hati nurani karena pilihan itulah yang
indah dan bermanfaat. Manusia kodrati ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu
mengambil keputusan yang benar menurut akal (intelektual) dan baik serta indah
menurut hati nurani. Ukuran benar menurut intelektual dan baik serta indah
menurut hati nurani adalah bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
4.
Perlu dikaji apakah pengakuan terhadap
masyarakat adat yang dilakukan oleh berbagai pihak saling menguatkan apa malah
sebaliknya melemahkan.
Konsep
kerja masyarakat adat jelas berhubungan langsung dengan tanah. Diperlukan
penegasan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai warga Negara
dalam mengakses keadilan dan HAM. Bagaimana warga negara mempunyai HAM yang
harus dijunjung tinggi oleh pemerintah sebagai pelindung rakyatnya dalam
menegakkan HAM dan mencari sebuah keadilan. Mengabaikan aspek kehidupan yang
dipedomani peraturan ini berarti mengabaikan makna subjektif prilaku. Karena
itu harus ditentukan hubungan antara kajian ilmiah untuk mencari keteraturan faktual dalam
masyarakat dengan penggunaan peraturan dalam kehidupan sehari-hari. Inti teori
masyarakat adalah menerangkan hubungan antara
hukum yang menerangkan (law that describes) dan hukum yang bersifat mengatur
(law that ordains). Kajian terhadap hukum
berhubungan erat dengan masalah tatanan sosial. Doktrin kepentingan pribadi dan
doktrin konsensus mencakup dan bergantung pada pandangan-pandangan yang
bertentangan mengenai peraturan. Jika kita mengetahui dalam keadaan seperti apa
berbagai jenis hukum akan muncul, mungkin kita pun mampu melihat
batasan-batasan dan kegunaan kedua padangan dasar tentang tatanan itu dan
menyusun cara untuk menyatakannnya. Resolusi untuk masalah komodernan
mengharuskan kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan
hukum impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian taktala
hukum tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial. Jadi kajian tentang
posisi hukum dalam masyarakat modern mempersatukan hal-hal penting dalam teori
sosial, namun juga mengarahkan hal-hal itu pada topik yang dapat didefenisikan
secara sangat kongkrit. Dengan semua itu
kita bisa mencermati apakah hukum lokal lebih bisa menguatkan dalam mencari
keadilan dibandingkan hukum negara yang superlatif.
BAB
III
PENUTUP
Buku berjudul
Masyarakat dan Pilihan Hukum yang
ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari sangat lugas dan memang sesuai dengan konteks
masyarakat sekarang. Buku ini memeberikan gambaran yang sangat lugas dan sangat
jelas bagaimana proses masyarakat “biasa” mencari keadilan dalam sebuah
sengketa yang dialaminya. Tidak hanya
mengkritik tentang hukum positiv yang
selama ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia tapi buku ini juga
memberikan solusi sebuah peradilan baru yang tidak hanya memberikan
kepastian hukum tapi juga memberikan
sebuah keadilan dengan memperhatikan kondisi sosio kultural masyarakat yang
dalam buku ini disebut sebagai “peradilan konsoliasi”. Buku ini benar – benar
menggambarkan realitas yang ada di masyarakat. Kelebihan
dalam buku yang sangat menarik adalah betapa solusi yang ditawarkan begitu
sangat berharga. Konsep peradilan konsiliasi yang ditawarkan sudah seharusnya
mendapat perhatian dari pemerintah. Saya sepakat bahwa itulah yang dibutuhkan
oleh masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat dan nilai – nilai
lokal yang ada. Solusi ini membuka cakrawala baru bagi dunia peradilan di
Indonesia yang kini makin jauh dari rasa kepercayaan rakyatnya. Rakyat berusaha
mencari keadilan lain di luar forum negara. Kelebihan lain dari buku ini adalah
bahwa buku tentang pilihan hukum dan penggunaan makna sosial ntuk sebagai
perspektif sangat bermanfaat untuk
mengkaji fenomena yang muncul dalam
konteks pluralisme hukum. Sebab secara
teoritis maupun faktual, pluralisme hukum
merupakan realitas yang memungkinkan warga masyarakat melakukan pilihan
norma dan dan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.
Kritikan
yang bisa saya berikan pada buku ini meliputi antara lain : masalah sistematika,
perlu analisis sosiologis dan
antropologis yang lebih mendalam, dari penjelasan buku yang ada masalah hukum negara
yang superlatif selayaknya dikaji secara
tersendiri , dan perlu dikaji apakah pengakuan terhadap masyarakat adat yang
dilakukan oleh berbagai pihak saling menguatkan apa malah sebaliknya
melemahkan. Tapi bagaimanapun buku ini sangat layak sebagai salah satu
perspektif dalam memaknai sosiall hukum. Analisis yang begitu tajam diberikan
sangat membantu dalam kajian – kajian sejenis selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Achmad. 1999.
Pengadilan dan masyarakat.
Ujung Pandang : Hasanudin University Press
Daniel S. Lev. 1990. Hukum dan politik di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
Jakarta: LP3S
Doyle, Paul Johnson. 1986. Teori sosiologi
klasik dan modern, terj. Robert M.Z. Lawang,. Jakarta : Gramedia
Indrianto Senoadji. 2009. Humanisme dan pembaruan penegakan hukum.
Jakarta : Kompas
Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.
Sahri, Efektivitas hukum dalam masyarakat. MHS S2 Hukum Untag.
Soemardi, Dedi. 1997. Pengantar
hukum indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co
http://www.skripsi-tesis.com
http://www.goal.com/id-ID/news/1571/fokus/2013/06/10/1107492/fokus-irfan-sergio-
harus-pilih-kewarganegaraan
http://wninomor1.wordpress.com/2013/05/30/landasan-hukum-pendidikan-kewarganegaraan/
Utari, Indah. 2012. Masyarakat dan pilihan hukum. Semarang: CV Sanggar Krida Aditama