Jumat, 14 Juni 2013

REVIEW BUKU MASYARAKAT DAN PILIHAN HUKUM





Tugas Individu Critical Review
Judul Buku: Masyarakat dan Pilihan Hukum
Penulis : Dr Indah S. Utari, S.H., M.Hum

Dibuat untuk memenuhi tugas Kelompok pada mata kuliah
Perpektif Hukum Dan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu
Dr. Indah Sri Utari, S.H., M.Hum


Disusun Oleh:
Sri Lestari ( 0301512006 )



PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

































_BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
           
            Hukum adalah serangkaian aturan atau kaidah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai alat pengontrol manusia  dari perbuatan jahat. Setiap pelanggar hukum akan dikenai sangsi hukum. Setiap negara memiliki tatanan hukum yang berbeda meskipun konsep dasarnya sama. Manusia sebagai salah satu aspek hukum diwajibkan untuk taat dan patuh terhadap hukum. Seseorang yang ingkar atau melanggar hukum  akan dikenai sangsi sesuai tingkat kesalahannya. Namun apakah kenyataannya benar demikian ?
            Sebagai negara kesatuan yang mengayomi  dan menjamin hak hidup dan kehidupan masyarakatnya ternyata  Indonesia belumlah mampu bersikap adil dalam bidang hukum. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1  menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah di “mata hukum “mana rakyat Indonesia memiliki persamaan hak, bahkan sekedar membela diripun mengalamai berbagai kesulitan. Di negara demokratis, gemah ripah, subur makmur, loh jinawi ternyata  masih ditemukan beberapa ketidakwajaran dalam bidang hukum terutama masalah sangsi hukum. Di sini  bahkan dalam instansi berlogo timbangan pun lembaran rupiah masih  dinomorsatukan. Kasus dan sangsi hanyalah implikasi yang  tidak lagi dianggap penting. Semua akan menjadi clear dengan tanda tangan , selembar cek, bahkan lembaran dolar.
            Dalam perspektif makna sosial hukum, hukum tidak dilihat sekedar aturan  - aturan normatif yang abstrak tetapi sebagai sesuatu yang kongrit. Hukum pada dasarnya menghadapi orang – orang yang kongret pada suatu waktu tertentu dan juga mempunyai latar belakang tertentu pula. Hukum sejatinya merupakan upaya manusia untuk menata, menertibkan,  dan menjaga kehidupan bersama secara  tertib.  Pada posisi ini hukum adalah salah satu dari sekian banyak upaya manusia mengatur tertib hukum bersama. Pada titik ini hukum  sesungguhnya berbicara tentang  tatanan ketertiban dari sudut pandang manusia. Hukum berbicara tentang tertib manusia.
            Pilihan – pilihan hukum merupakan fenomena umum dalam masyarakat yang hidup dalam suasana pluralisme hukum. Ketika suatu masyarakat terkena suatu peristiwa hukum, pada dasarnya terbuka peluang bagi warga masyarakat untuk memilih norma / forum hukum yang dianggap compatible dengan kebutuhan dan sistem situasi yang dihadapi. Kondisi yang demikianlah memperlihatkan bahwa warga masyarakatlah yang menentukan makna dari semua norma / forum hukum itu. Dengan kata lain secara faktual tidak hanya hukum yang memiliki peluang mengontrol perilaku seseorang, tapi juga warga masyarakat berpeluang setiap saat untuk mengontrol hukum. Dipilih tidaknya suatu norma atau forum hukum sangat ditentukan oleh kebutuhan dan sistem situasi yang dihadapi seseorang.
            Dari latar belakang yang dikemukakan di atas maka saya tertarik untuk melakukan critical review dari buku yang membahas hukum sebagai makna sosial.  Buku berjudul Masy
 Rakat dan Pilihan Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah S. Utari, S.H, M. Hum ini sangat memberikan gambaran yang jelas bagaimana masyarakat atau sesorang mempunyai hak memilih hukum ketika menghadapi suatu sengketa ataupun permasalahan dalam hidupnya.

1.2 Permasalahan
Dari latar belakang di atas maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana isi dan kandungan  buku  yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum secara ringkas ?
2.      Apa saja kelebihan dan kekurangan isi buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum ?
3.      Bagaimana solusi ataupun masukan untuk  kesempurnaan buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum ?

1.3. Tujuan
1.  Untuk mengetahui bagaimana isi dan kandungan  buku  yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum secara ringkas ?
  2.  Untuk mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan isi buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum ?
3.    Untuk mengetahui bagaimana solusi ataupun masukan untuk  kesempurnaan buku yang berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum ?







BAB II
ISI

2.1 Resume Buku
            Buku yang berjudul  Masyarakat dan Pilihan Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari secara keseluruhan terdiri dari 9 bab. Bab I yaitu pendahuluan, Bab II yaitu Pilihan Hukum dalam teori, Bab III yaitu Pilihan Hukum sebagai Tindakan Sosial, Bab IV yaitu Pilihan Hukum dan Tata Tertib, Bab V yaitu Pengadilan, Penyelesaian Sengketa, dan Pilihan Forum, Bab VI yaitu  Makna Sosial Pengadilan, Bab VII Peradilan Konsiliasi, Bab VIII Fungsi Hukum dalam Masyarakat , dan Bab IX Catatan Penutup. Untuk mempermudah pemahaman berikut ini akan disajikan resume tiap bab mengenai isi buku tersebut.
2.1.1 Pendahuluan
            Bab pendahuluan ini berisi ringkasan isi buku secara keseluruhan. Berisi tentang pilihan hukum dalam masyarakat. Pada posisi ini huykum hanyalah salah saru dari sekian banyak bentuk upaya manusia untuk menata, menertibkan,  dan menjaga kehidupan bersama secara tertib. Oleh karena itu hukum dalam arti sebenarnya  dalam arti tertentu adalah dokumen antropologi. Pengkajian hukum dengan perspektif ini tidak hanya berkutat pada aturan – aturan tapi juga harus juga bergeser kepada manusia sebagai aktor yang dalam pengambilan keputusan mengenai tindakannya dihadapkan pada berbagai pilihan aneka norma hukum yang dihadapinya.
            Dalam teorisasi kebijakan hukum di Indonesia yang unoform dan sentralistis, hukum yang dibuat negara dipersepsikan sebagai hukum yang berkedudukan istemewa, eksklusif, dan berada di atas  semua sistem pengaturan normatif lainnya. Kenyataannya hukum hukum / regulasi negara yang superlatif itu itu tidak pernah sepenuhnya dijadikan patokan tunggal.  Menurut penemuan Falk Moore sistem – sistem normatif lainnya lebih efektif dibandingkan dengan pengaturan oleh negara. Hal itu lebih dikarenakan sebagaimana dikatakan Galenter bagi masyarakat pesan – pesan normatif dan keadilan tidak dperoleh dari forum negara tapi juga dapat diperoleh melalui ruang – ruang sosial lain di luar negara. Pendekatan teoritisnya pun bergeser dari yang struktural fungsional ke analisis situasional.
            Pilihan hukum menurut Von benda Beckman erat kaitan dengan makna sosial hukum yaitu menunjuk pada realitas ketika hukum mempengaruhi perilaku nyata seseorang dan ketika masyarakat menggunakan hukum itu untuk mencapai tujuannya. Dalam politik hukum modern secara umum dikerahkan pada penggunaannya sebagai alat perubahan sosial. Di Indonesia keyakinan itu dianut , hukum diyakini sebagai sarana pembaruan masyarakat.   Di Indonesia peradilan negara  merupakan peradilan yang legitimasinya  bersandar  pada kekuatan legitimasi negara yang bersifat nasional bukan pada kekuatan legitimasi kultural yang bersifat lokal.  Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural akan berhadapan dengan legitimasi – legitimasi lokal yang beragam dari masyarakat ke masyarakat lain. Faktor perbedaan legitimasi akan menentukan pola penyelesaian sengketa dalam masyarakat yaitu penyelesaian lewat pengadilan atau di luar pengadilan. Rakyat memperoleh keadilan bukan saja pada forum – forum yang disponsori negara tapi juga pada lokasi – lokasi kegiatan primer yang berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggann, tempat kerja, kesepakatan bisnis, dsb.
            Ada beberapa faktor yang menentukan dipakai tidaknya pengadilan sebgai forum penyelesaian sengketa. Antara lain tujuan – tujuan, sumberdaya, dan strategi yang ditempuh oleh pihak – pihak.  Suatu yang lumrah secara sosiologis bahwa kebanyakan norma – norma otoriter mempunyai makna ganda. Karenanya asumsi mengenai keseragaman makna yang mampu melintasi ruang dan waktu merupakan suatu ideologi yang harus dibayar mahal dengan mengorbankan hal – hal yang penting. Muatan hukum sebagai sebuah sistem yang mencakup makna – makna budaya dan simbolik lebih banyak dari pada sebagai seperangkat alat pengawasan yang operasional.
            Sistem hukum dan struktur kontrol sosial sangat berhubungan dengan pengaturan  perilaku eksternal dan pelanggaran yang terjadi . Secara positif dapat pula dikatakan bahwa semua pola normatif seperti kebiasaan, sopan santun, yang diikuti orang dalam hubungan interaksi membantu menyumbangi integrasi sosial.  Dalam kedudukannya sebagai suatu institusi yang melakukan  pengintegrasikan  terhadap proses  - proses  yang berlangsung dalam masyarakat, maka hukum  menerima masukan – masukan dari bidang ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran – keluaran yang dikembalikan dalam masyarakat. Jika institusi hukum hendak  berfungsi sebagai sarana  pengintegrasi maka ia harus  diterima oleh masyarakat  untuk menjalankan fungsinya itu.  Raharjo menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghendaki penyelesaian sengketa secara tuntas kecuali terjadi perdamaian sehingga dapat dipastikan pihak mana yang menang dan yang kalah, sedangkan  konteks budaya terdapat preferensi meredam suatu sengketa yang ada  dan membungkusnya dalam suatu bentuk keselarasan. Dalam situasi yang demikian maka yang terjadi adalah adanya konflik budaya.
            Sebelum sampai pada proses memilih hukum ataupun forum penyelesaian sengketa kehadiran hukum negara dalam masyarakat lokal menjadi problematis tidak saja karena ia merupakan sesuatu yang baru tapi juga karena masyarakat yang bersangkutan merupakan “bejana yang sudah berisi” yaitu sistem kehidupan. Memiliki semacam “ordering belief framework” yang mengikat anggota – anggotanya dalam tertib aturan main  bersama. Masyarkat Indonesia dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi baik secara vertikal maupun horisontal tidak bisa diharapkan memiliki persepsi yang sama terhadap pesan – pesan hukum yang disampaikan.

2.1.2 Pilihan Hukum dam Perspektif Teori
            Pilihan hukum dan makna sosial hukum merupakan masalah yang berkaitan dengan realitas  faktual mengenai digunakan atau tidak digunakannya jasa hukum oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu pilihan hukum sebetulnya merupakan tindakan sosial.  Dalam buku yang ditulis Dr. Indah ini yang penting untuk dijelaskan adalaj jawaban atas pertanyaan mengapa tingkah laku sosial ( memilih atau tidak memilih hukum ) lebih tepat dilihat sebagai kenyataan subyektif ( aksi ) dari pada sebagai kenyataan obyektif. Rujukan yang diungkap adalah pada aliran fenomenologis yaitu bahwa kehidupan sehari – hari  merupakan pokok permasalahan studi sosiologi umumnya dan tingkah laku manusia.
            Menurut Parsons realitas manusia tidaklah sedemikian rupa pasif terhadapa realitas yang dihadapinya. Manusia tidak harus dilihat sebagai “barang mati” yang tinggal dipermainkan oleh realitas obyektif. Sesungguhnyapun sampai derajat tertentu manusia memilikia kemampuan memberi makna  secara  subyektif terhadap realitas obyektif yang ia  hadapi. Itulah sebabnya tingkah laku manusia lebih sebagai action daripada behaviour. Konsep action menunjuk pada suatu aktivitas yang dilakukan secara kreatif lewat  proses penghayatan diri individu yang penuh makna.

2.1.3 Pilihan Hukum sebagai Tindakan Sosial
            Dipilih tidaknya  suatu norma atau forum ( entah resmi atau informal ) sangat ditentukan oleh kebutuhan dan sistem situasi yang  dihadapi  seseorang. Maka dapat dimengerti  kebanyakan sengketa  yang menurut aturan – aturan resmi dapat diajukan ke lembaga peradilan faktual tidak pernah diperkarakan di pengadilan.. Mereka hendak  mengatakan bahwa makna sosial hukum harus dipahami  dalam konteks rakyat awam ketimbang para profesional hukum. Fakta paling jelas mengenai pilihan hukum dan signifikansi hukum dapat  kita rekam dalam preferensi pilihan norma  dan lembaga hukum formal  acapkali  sulit mendapat  tempat dalam memandu penyelesaian sengketa baik dalam masyarakat tradisi sederhana maupun modern.  Secara substansial dalam konteks lintas budaya lembaga dan prosedur penyelesaian sengketa muncul dalam bentuk yang beragam. Beberapa diantaranya bersifat publik tapi sebagian lagi bersifat privat ada yang bersifat formal tapi juga ada yang informal bahkan menyatu dalam suatu bentuk yang kompleks. Masyarakat sudah mengkalkulasikan untung rugi dalam menentukan pilihan hukum. Kecenderungan menghindari pengadilan selain karena faktor biaya dan waktu juga karena tidak semua sengketa cocok diselesaikan melalui proses pengadilan antara lain sengketa keluarga, kontroversi antar tetangga, hubungan perdagangan jangka panjang. Di Indonesia selain pertimbangan  nilai budaya, alasan menghindari  penggunaan pengadilan antara lain karena sifat putusannya yang mengandung permusuhan karena yang ada adalah kalah menang.  Putusan pengadilan sering menjadi pemicu konflik lanjutan bukan menghentikan konflik.
            Kebijakan hukum untuk negara yang plural  seperti Indonesia yang dibutuhkan adalah kebijakan yang memperhitungkan secara adil dan seimbang segi ke Bhinekaan nya di tengah keikha an Indonesia. Sebab yang menyeluruh tidak dapat dengan tuntas mempresentasikan pluralitas dan heterogenitas bagian – bagiannya. Sementara pluralitas dan bagian – bagiannya tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh. Baik yang menyeluruh atau yang bagian- bagiannya menpunyai struktur, sistem, dan dinamikanya sendiri – sendirin

2.1.4 Pilihan Hukum dan Tertib Sosial
            Hukum berbicara tentang tatanan ketertibsn  dari sudut manusia, oleh karena itu hukum sebenarnya dalam arti tertentu adalah antropologi. Artinya adalah bahwa manusia menyatakan kehendak dirinya lewat hukum. Secara ringkas di satu pihak hukum berbicara tentang apa yang benar, baik, dan tepat dari sudut bahasa dan pemahaman manusia. Di pihak lain hukum merupakan pernyataan kehendak manusia  tentang yang baik, benar, dan tepat tersebut.
            Pusat perhatian dalam banyak kajian tentang tertib sosial sejak masa dulu sampai sekarang, berporos pada masalah hubungan  antara hukum dan penataan normatif lainnya. Dikatakan bahwa setiap sistem hukum harus menghadapi masalah  masalah otonomi  dan otoritas dari aneka jenis penataan normatif lainnya yang berkoeksistensi dengannya dan masyarakat. Kesempatan rakyat mengintegrasikan diri dalam struktur hukum modern merupakan persoalan lain lagi.  Di sini bukan hanya persoalan budaya hukum saja tapi juga menyangkut dimensi yang jauh lebih besar. Masyarakat Indonesia dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi baik secara vertikal dan horosontal ridak bisa diharapakan memiliki pesepsi yang sama terhdap pesan – pesan hukum yang disampaikan. Ada banyak faktor yang menghalangi. Komitmen pada nilai dan norma lokal yang begitu tinggi sudah tentu menjadi faktor resisten terhadap pesan yang batu apalagi bila tidak jumbuh dengan apa yang mereka miliki. Pada aras empirik hukum negara yang dibentuk relatif semurna dalam lingkungan pembuatnya dan diproyeksi menjadi penuntun perilaku yang bersifat harus bagi semua tidak selalu demikian oleh komunitas lokal. Muatan sebuah aturan tidak pernah ditangkap sebagai keharusan – keharusan obyektif yang bebas nilai tapi juga selalu dikaitkan dengan makna – makna budaya dan sistem simbolik lokal. Pendek kata sebuah regulasi selalu diberi muatan simbolik di tingkat lokal entah dalam makna sebagai janji – janji, model baru, ancaman, stigma, ataupun sebagai simbol kekuasaan, pemicu konflik, dsb. Karena itu dalam komunitas lokal hukum negara tidak pernah diterima sekedar teks normatif tentang apa yang seharusnya dipatuhi, ditaati, dan dilakukan. Ia juga kalau bukan yang terutama ditangkap sebagai dokumen baru yang terhadapnya rakyat bergumul soal  bagaimana mematuhi,  menaati, dan melakukan sekalian keharusan itu. Bahkan setiap regulasi negara senantiasa dihadapka pada pertanyaan apakah ia   memeiliki keabsahan kultural sebagai apa yang dikatakan oleh Van Peursen sebagai paspor budaya dalam lingkungan merekan.

2.1.5 Pengadilan, Penyelesaian Sengketa dan Pilihan Forum
            Ada 3 hal yang menjadi ciri pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa secara hukum. Pertama adanya kekuasaan tunggal untuk mengadili, kedua pengadilan memiliki kekuasaan yang merdeka dalam mengadili. Dan ketiga pengadilan bekerja menurut prosedur hukum acara . Keempat putusan pengadilan dapat dijalankan secara paksa.
            Secara garis besar penyelesaian sengketa dapat digolongkan menjadi 2 yaitu penyelesaian lewat jalur pengadilan ( litigasi )  hasilnya berupa kalah dan menang, dan penyelesaian lewat jalur non pengadilan ( non litigasi ), hasil yang diperolah cenderung win win solution. Nader and Todd menyebut paling sedikit tujuh bentuk penyelesaian sengketa yang digunakan di berbagai masyarakat luas lintas budaya yaitu ajudikasi  ( pihak pengadilan mempunyai kewenangan formal untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya dan berhak mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan pihak yang bersengketa ), arbitrasi( keputusan pengadilan membutuhkan persetujuan pihak – pihak yang bersangkutan ), mediasi ( bentuk penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga untuk membantu menyelesaiakn masalah ), negosiasi ( bentuk penyelesaian  yang bersifat diadik tanpa menghadirkan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah ), paksaan, penghindaran, dan membiarkan saja. Tujuh bentuk penyelesaian tersebut dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga, penyelesaian yang dilakukan pihak – pihak yang bersengketa dan penyelesaian yang dilakukan secara sepihak oleh salah satu pihak.
            Tiap masyarakat atau individu selalu memiliki alasan rasional, tujuan, keyakinan, tradisi, danperhitungannya sendiri dalam memilih forum penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki.  Pilihan forum penyelesaian sengketa bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, semua itu merupakan bentuk tindakan berdasarkan suatu tujuan atau alasan tertentu. Untuk memahami pilihan tindakan dapat dikaji dalam beberapa aspek antara lain faktor – faktor yang menentukan tindakan, makna yang diberikan pada obyek, serta tujuan dan konsekuensi tindakan yang hendak ditempuh. Pemikiran Giddens lewat teori strukturisasi  menyatakan bahwa tingkah laku seseorang tidak selalu ditentukan oleh nilai – nilai dan kebiasaan, tapi manusia mempunyai kebebasan menciptakan struktur baru bagi tingkah lakunya. Menurutnya tindakan yang dilakukan seseorang berkaitan dengan kegandaan struktur. Struktur sebagai sumber daya / seperangkat aturan  tidak hanya bersifat melarang tapi juga memperbolehkan para agen untuk menentukan sendiri tingkah lakunya, yang disebut dengan duality of structure. Struktur sebgai fenomena sosial yang terjadi berulang – ulang dan terus menerus sebagai hasil produksi tapi juga sebagai penyebab terjadinya  interaksi sosial. Dalam konteks yang demikian seorang yang terpasang dalam struktur yang di satu pihak bersifat membatasi/ menentukan tingkah lakunya sedangkan di pihak lain struktur juga memberi peluang kepadanya untuk memilih sendiri tingkah lakunya.  Posisi seseorang dalam duality of structure menyebabkan di satu pihak ia berada dan dibentuk oleh tatanan struktur tapi juga sekaligus sebagai penyumbang terbentuknya struturr itu lewat interaksi yang dilakukannya. Pada titik ini ia selalu terlibat dalam proses reproduksi struktur.  Pilihan tingkah laku seseorang dalam strukturasi lebih terkait dengan masalah praktis dalam konteks kehidupan sehari – hari. Pandangan ini sesuai dengan Mead yang menyatakan bahwa manusia tidak harus dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif tapi sebagaian merupakan aktor – aktor yang bebas.
            Seidman  lebih melihat bahwa tindakan yang dilakukan seseorang  sebagai pemegang peran berkaitan dengan ganjaran dan hukuman. Setiap orang selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian yang akan diterimanya jika  pilihan tindakan itu dilakukan atau dipilih.  Homans sebagai pencetus teori pertukaran menyatakan bahwa  bahwa suatu tindakan adalah rasional apabila berdasarkan  perhitungan untung rugi Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan maka semakin kecil kemungkinan tingkah laku serupa akan diulang.  Sedangkan Blumer penganut aliran interaksionis simbolik berpendapat bahwa manusia tidak dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur tapi merupakan aktor – aktor yang bebas. Budaya, sistem sosial, stratifikasi sosial tidak menentukan tindakan individu.  Berdasarkan otonomi yang dimilikinya individu mempu memebuat pilihan – pilihan yang bersifat independen mengenai tindakan apa yang ia lakukan.  Pilihan tersebut berkaitan dengan makna atas obyek . Makna pada dasarnya merupakan intepretasi yang diberikan seseorang atas suatu obyek. Dalam suatu tindakan makna tersebut dipakai sebagai instrumen yang mengarahkan suatu tindakan. Dengan makna tersebut bisa saja orang menganggap bahwa berperkara ke pengadilan merupakan suatu cara yang ideal oleh karena pengadilan dilihat sebagai tempat memperoleh perlindungan atas hak – hak yang diperjuangkannya. Tapi mungkin bagi orang lain berperkara ke pengadilan dianggap sebagai aksi gagah – gagahan yang kurang terpuji
            Penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan menurut Giddens adalah suatu pilihan tindakan strategis. Dalam setiap tindakan aktor memperhatikan sumber sebagai media yang menjadi suatu kekuatan yang digunakan dalam suatu tindakan. Adapun sumber yang dimaksud bisa berupa kedudukan, kemamuan keuangan, mempunyai bukti – bukti yang kuat atas pemilikan tanah dsb.Sumber – sumber semacam ini dalam pilihan stratgis dapat digunakan oleh aktor sebagai sarana mencapai hasil  atau tujuan yang diharapkan. Beragam teori tersebut memberikan gambaran bahwa pilihan bentuk penyelesaian sengketa bukan didasari oleh sebab tunggal.

2.1.6 Makna Sosial Pengadilan
            Dalam sebagian besar masyarakat Indonesia tanah merupakan dasar bagi identitas diri dan keberlangsungan kehidupan spiritual para pemiliknya.  Tanah sebagi simbol identitas dan hak yang di dalamnya berselimutkan kehormatan, martabat pemiliknya. Seperti yang terjadi pada masyarkat nelayan yang ada di Tuban.  Sengketa tanah sekaligus juga merupakan persoalan hidup mati, kepentingan, harga diri, eksistensi, ideologi, dan nilai budaya. Itulah sebabnya penyelesaian sengketa tanah selalu melibatkan pertarungan kepentingan , harga diri, identitas ,dan akses pada sumber daya.
            Temuan di lapangan pada masyarakat petani dan nelayan di Tuban menyatakan bahwa warga  menganggap bahwa pengadilan kurang bermakna sosial sebagai forum pnyelesaian sengketa tanah. Komunitas ini cenderung menghindari penggunaan pengadilan dalam menyelesaikan sengketanya.  Mereka lebih suka menyelesaikan melalui forum – forum setempat seperti desa, kecamatan, pemuka agama, kerabat . Forum itu masih dianggap mampu menangani persoalan sengketa tanah yang dihadapi.  Warga senantiasa mempertimbangkan faktor siapa yang paling mengetahui ihwal pokok sengketa tersebut.  Mereka menggangap bahwa pengadilan hanya memiliki pengetahuan tentang hukum negara, dan sedikit sekali bahkan tidak mengetahui sama sekali kidah tanah yang disengketakan. Sehingga muncul kekawatiran di kalangan masyarakat tentang kemungkinan terjadinya kesesatan  sejarah tanah jika dibawa ke pengadilan. . Penyelesaian di luar pengadilan tidak memerlukan prosedur yang rumit, yang melek huruf dan buta huruf dapat berbicara dalam posisi yang sama, tidak ada batas waktu dan tidak memakan biaya yang banyak. Mereka menganggap dengan berperkara di pengadilan tidak menjamin ditemukannya keadilan. Pengadilan hanyalah tempat berdagang hukum dimana yang kuat, kaya, dan dekat dengan hakim dan mampu bermain licik merekalah yang akan menang. Lembaga pengadilan menjalankan mesin hukum berdasarkan tindakan – tindakan instrumental formal yang mengutamakan aturan – aturan dan prosedur dari pada keutuhan realitas. Akibatnya lembaga dan pranata hukum  menjadi entiitas yang esoteris yang terpsah secara asimetris dengan tipe – tipe  regulasi sosial lain yang menguasai lalu lintas pergaulan manusia yang begitu kompleks.
            Kebenaran dan kebaikan budaya setempat selalu memiliki keunggulan tersendiri dalam konteks dunia atau sistem situasi mereka yaitu ketepatan dengan pergumulan setempat. Untuk dapat diterima dalam kerangka budaya setempat setiap budaya luar senantiasa dihadapkan pada suatu tantangan apakah budaya tersebut memiliki visa budaya untuk masuk dalam lingkungan kebudayaan yang bersangkutan. Pengadilan bermakna sosial hanya untuk kasus – kasus yang tidak terkait langsung dengan ikata – ikatan sosial yang berdimensi kekerabatan, religius, dan kultural.   Sejauh menyangkut sengketa yang melibatkan pihak – pihak pihak – pihak yang memiliki hubungan yang berdimensi prestise, previlese maupun kekuasaan maka bagi warga komunitas seperti petani dan nelayan di Tuban pengadilan tidak diguankan sebagai forum penyelesaian sengketa.  Para pihak yang terlibat sengketa yang diselesaikan lewat pengadilan berasal dari afiliasi religius yang berbeda yakni santri dan non santri, di sini yang menjadi fokus adalah identitas para pihak yang bersengketa di pengadilan. Hal ini terjadi karena mereka menyadari ada jarak sosial yang cukup signifikan satu sama lain, masing – masing berpedoman pada orientasi religius yang berbeda, dan terdapat perasaan saling curiga diantara mereka.
            Beberapa orang yang memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa karena beberapa alasan antara lain mempertahankan harga diri sebagai pemilik,  jalur negosiasi mengalami kebuntuan , dan pengadilan dianggap memiliki otoritas yang kuat dan adanya keputusan yang dapat dipaksakan.   Dilihat dari sisi penggugat terdapat beberapa fakta  yang memungkinkan mereka memilih pengadilan yaitu memiliki bukti formal,  memiliki relasi dan kemampuan untuk membayar pengacara, dan memiliki bukti berupa sertifikat.  Dilihat dari sudut hukum negara penyelesaian sengketa melalui pengadian memilki kelebihan khususnya dalam hal jaminan kepastian hukum. Tiap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut dapat ditegakkan secara paksa. Hal ini berbeda dengan penyelesaian di luar pengadilan tidak tertutup kemungkinan salah satu pihak yang berperkara membuka kembali persoalan tersebut di kemudian hari. Sedangkan alasan tidak memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa  adalah faktor ekonomi dan juga  menghindari permusuhan,  karena jika diselesaikan lewat pengadilan mereka khawatir akan mengancam hubungan baik dan persaudaraan karena pola menang kalah.

2.1.7 Peradilan Konsiliasi
            Harus diakui bahwa persoalan utama yang dihadapi masyarakat pedesaan di bidang peradilan dewasa ini adalah bagaimana memperoleh kepastian hukum tanpa mengorbankan keadilan dan jaminan kerukunan serta bagaimana memperoleh keadilan dan jaminan kerukunan yang didukung oleh kepastian hukum.Tantangan paling keras di bidang peradilan dewasa ini adalah menemukan forum yang mampu memenuhi kebutuhan rasa keadilan dan kerukunan masyarakat sekaligus jaminan kepastian hukum . Dibutuhkan sistem beracara yang dapat dimasuki rakyat biasa yang paling sederhana sekalipun untuk  mendialokkan kepentingan mereka secara lebih komunikatif tanpa banyak dibebani halangan – halangan teknik, prosedur, dan biaya mahal. Sistem beracara yang demikian yang disebut dengan peradilan konsiliasi. Konsep di sini menunjuk pada mekanisme dan prosedur mengadili yang berbeda dengan pengadilan sebagai lembaga.  Peradilan yang dikehendaki adalah peradilan yang mengakomodasi secara seimbang sistem formal dan sistem informal.
            Peradilan konsiliasi  merupakan bentuk peradilan yang mampu mengakomodasi secara proposional dan adil aspek formal dan informal ( aspirasi dan kebutuhan sosial ) dalam mekanisme, pertimbangan, dan keputusannya. Unsur dan mekanisme forum yang diharapkan antara lain : Pertama adanya semacam dokumen yang berisi keluhan kedua belah pihak yang bersengketa. Dokumen ini menjadi dasar penyelesaian sengketa dalam forum tersebut. Kedua adanya komisi penyelesaian sengketa yang terdiri dari hakim dan wakil  para pihak sebagai konsiliator. Para wakil tersebut adalah mereka yang sungguh – sungguh mengetahui perihal obyek sengketa dan memahami nilai – nilai sosial budaya dara masyarakat  tempat para pihak berasal. Ketiga diharapkan jangka waktu persidangan ditetapkan batas maksimum tidak lebih dari tiga bulan. Batasan waktu tersebut terkait dengan kebutuhan warga masyarakat dalam memanfaatkan tanah bagi pemenuhan kebutuhan mereka ( terutama yang mengantungkan hidupnya dari tanah). Keempat dalam memutuskan kasus lebih diutamakan pendekatan konsensus dalam mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa. Kelima, keputusan harus merupakan hasil dari korespondensi antara realitas sosial dari kasus dengan premis – premisa aturan hukum. Keenam, keputusan komisi tersebut ( entah berupa kesepakatan ataupun hukuman ) harus berkekuatan hukum sebagaimana putusan pengadilah, dan bersifat final. Ketujuh, kekpeutusan tersebut dituangkan dalm bentuk tertulis sebagai dasar hukum yang pasti.
            Beberapa argumentasi yang dipakai untuk menyebut peradilan tersebut sebagai peradilan rekonsiliasi yaitu: Pertama  selamaini menyangkut hukum dan peradilan pihak negara selalu berada dalam posisi yang berseberangan. Hukum dan pengadilan negara terlalu teknis, formalitis, prosedural sehingga sulit dimasuki oleh rakyat. Di pihak lain rakyat yang begitu plural memilihi aspirasi yang juga begitu heterogen sehingga amat sulit diartikulasi dalam bingkai hukum yang menuntut perumusan yang jelas, tegas, dan spesifik. Kedua, pengadilan yang selama ini dipakai sebagai pengadilan standar dikelola sepenuhnya oleh aparatur peradilan  dengan sedikit sekali partisipasi para pihak dalam  menentukan putusannya. Putusan pengadilan  tersebut  lebih banyak  bersifat win los solution yang secara diametral  berseberangan dengan sifat tepa seliro dan menang tanpa ngalahake dalam budaya Jawa untuk mengatasi konflik.  Ketiga, putusan – putusan pengadilan lebih banyak bersifat win loss sulution  atau winner takes all  . Keempat, jika dilihat dari berbagai regulasi menyangkutpengadilan, maka pengadilan negara merupakan pengadilan yang legitimasinya bersandar pada kekuatan  legalitas dan legitimasi negara bukan pada kekuatan legitimasi kultural yang bersifat lokal.
            Model peradilan konsiliasi memiliki signifikansi karena beberapa alasan yaitu : Pertama, berkaitan dengan asas bahwa pengadilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya yang ringan. Kedua,  bahwa realitas masyarakat kontemporer Indonesia lebih bersifat prismatik ketimbang tradisional ataupun modern. Yakni masyarakata yang ditandai oleh adanya struktur sosial berbagai komunitas yang terdapat dalam masyarakat yang bersifat polycomunal. Ketiga , dewasa ini sering terjadi krisis kepercayaan terhadap hukum dan pengadilan akibat manipulasi yang dilakukan aparat penegak hukum. Keempat, pengadilan  konsiliasi  merupakan forum yang searah dengan sejumlah peraturan perundang – undangan yang menawarkan penyelesaian alternatif. Kelima, pengadilan konsiliasi yang memungkinkan keterlibatan aktiv dari masyarakat selain dapat mengurangi permainan kotor dalam lembaga peradilan juga dapat menjadi tempat sosialisasi  hukum demi meningkatkan kepercayaan dan kesadaran hukum masyarakat. Keenam, pengadilan konsiliasi dapat memperlancar akses masyarakat pada keadilan  karena masyarakat ikut menentukan substansi penyelesaiannya. Lewat mekanisme tersebut terbuka kesempatan bagi tercapainya penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.

2.1.8 Fungsi Hukum dalam Masyarakat
            Fungsi hukum antara lain : Pertama, hukum berfungsi sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Kedua, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Ketiga,  sebagai penggerak pembangunan,  hukum sebagai alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Keempat, fungsi kritis,  daya kerja hukum tidak semata – mata melakukan pengawasan kepada aparatur pengawasan atau aparatur pemerintahan saja, melainkan juga mengikat aparatur penegak hukum.
            Sebagai norma sosial hukum merupakan sarana yang memungkinkan kehidupan sosial berlangsung secara teratur. Secara umum para ahli memberi prioritas pasda pembahasan fungsi hukum sebagai kontrol sosial ( social control ) dan fungsi hukum yang berkenaan dengan perubahan sosial ( social exchange ). Tentu saja hal ini merujuk pada sejarah pemikiran hukum mengenai fungsi hukum dalamperubahan sosial. Paham yang pertama, hukum hanya mengikuti dan mengesahkan perubahan – perubahan yang terjadi.  Pada umumnya dalam bidang – bidang kehidupan yang netral, maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengubah masyarakat karena tekanannya lebih ke arah kepastian, sedangkan apabila menyangkut bidang – bidang kehidupan pribadi, maka hukum lebih berfungsi sebagai sarana kontrol sosial karena dalam hal ini keadilan memegang peranan yang lebih utama. Dapat pula dikatakan bahwa dalam bidang – bidang kehidupan yang lebih memerlukan ketentraman, hukum merupakan sarana untuk mencapai / mempertahankan stabilitas. Berkenaan dengan fungsi hukum sebagai kontrol sosial , maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap berada dalam pola – pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Dalam peranannya sebagai kontrol sosial, maka hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain , hukum sebagai penjaga status quo.
            Berkaitan dengan upaya pengendalian sosial, maka dapat dibedakan menjadi 2 yaitu pengendalian sosial yang bersifat preventiv dan pengendalian sosial yang bersifat represif. Preventif berupa pencegahan gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat, sedangkan yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang mengalami gangguan.  Hukum diarahkan untuk mengkoordinasi keseluruhan sistem sosial, sehingga dengan demikian mempunyai fungsi integratif. Posisi hukum sebagai mekanisme integratif tersebut, sesungguhnya berakar dari konsep tentang fungsi hukum dalam sistem sosial yang dikembangkan oleh Talcot Parson. Parson menyoroti tertib hukum dalam kerangka teori sistem sosial yang fungsional. Hukum dipandang sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan  beroperasi pada hampir seluruh subsistem sosial. Fungsi utamanya adalah integrasi, yaitu untuk mengurangi unsur sengketa yang potensional ada dalam masyarakat untuk melancarkan proses pergaulan sosial. Itulah sebabnya, yang ditekankan di sini adalah bila aterjadi konflik haruslah dilaksanakan dalam suatu kerangka pengaturan, dan tidak dibenarkan untuk diperbururuk menjadi konflik total.  Membiarkan terjadi sengketa – sengketa tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan – kekuatan yang salaing bersaing itu sehingga dapat menciptkaan kerjasama yang produktif. Dalam kedudukannya sebagai sesuatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadapa proses – proses yang berlangsung dalam masyarkat, maka hukum menerima masukan – masukan dari bidang ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran – keluaran yang dikembalikan dalam masyarakat.  Jika institusi hukum hendak berfungsi sebgagi sarana pengintegrasi, maka ia harus diterima oleh masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti bahwa para anggota harus dapat dimotivasikan untuk menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik – konfliknya.
            Jelas disini, perlu ada motivasi dari warga masyarakat untuk menggunakan sarana hukum , pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapai. Artinya, pengadilan baru melaksanakan fungsinya jika ada perkara yang diajukan padanya. Selama tidak ada perkara yang masuk , pengadilan tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Khususnya dalam bidang perdata, termasuk sengketa tanah, badan peradilan dapat melakukan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa, sangat tergantung pada pihak – pihak yang berperkara. Tentu saja, terdapat beragam faktor yang menentukan dipakai tidaknya pengadilan sebagai dforum penyelesaian sengketa. Menurut Seidman, hukum mempengarui pilihan tindakan manusia dlam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Hukum mempengaruhi secara langsung karena beberapa hal antara lain : Pertama, individu yang bersangkutan merasa hukum itu merupakan perintah yang bersifat memaksa. Kedua, hukum itu memberikan perangsang yang harus diperhitungkan. Ketiga, bahwa hukum itu benar sehingga perlu dipatuhi. Sedangkan hukum mempengaruhi secara tidak langsung, karena individu memperhatikan dan mengikuti pola – pola perilaku yang dilakukan orang lain secara berulang – ulang atau sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Menggunakan atau tidak menggunakan pengadilan, bisa disebabkan oleh adanya faktor korelasi antara tujuan yang hendak dicapai dan stratifikasi masyarakat yang bersangkutan.

2.2  Kelebihan dan Kekurangan Isi Buku
            Buku berjudul Masyarakat dan Pilihan  Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari sangat lugas dan memang sesuai dengan konteks masyarakat sekarang. Buku ini memeberikan gambaran yang sangat lugas dan sangat jelas bagaimana proses masyarakat “biasa” mencari keadilan dalam sebuah sengketa yang dialaminya.  Tidak hanya mengkritik tentang hukum positiv  yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia tapi buku ini juga memberikan solusi sebuah peradilan baru yang tidak hanya memberikan kepastian  hukum tapi juga memberikan sebuah keadilan dengan memperhatikan kondisi sosio kultural masyarakat yang dalam buku ini disebut sebagai “peradilan konsoliasi”. Buku ini benar – benar menggambarkan realitas yang ada di masyarakat. Bahwa betapa banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam mencari sebuah keadilan karena keterbatasn sumber daya yang mereka miliki. Peradilan konsiliasi ini memberi alternatif solusi. Konsep seperti ini sudah seharusnya bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah. Bahwa produk hukum yang ada harus sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia.
            Buku ini juga sangat ilmiah karena beragam teori diungkap secara detail sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena yang ada di masyarakat khususnya untuk masalah sengketa yang dihadapi. Teori – teori sosial mulai dari Parson, Van peursen, Homans, Mead, samapi dengan Antony Giddens diulas secara detail dan  digunakan  oleh penulis secara tajam memberikan gambaran yang jelas tentang fenomena sosial yang ada. Diungkap bagaimana ketika seseorang menentukan pilihan dalam tindakan sosialnya dalam hal ini pilihan dalam memilih forum hukum dalam menyelesaikan masalah menjadi semakin ilmiah karena dibingkai dengan beberapa asumsi yang ada . Buku ini mengungkap betapa tidak mudah untuk memahami posisi hukum dalam masyarakat.  Ketidak-mudahan itu dimungkinkan banyak misalnya saja berkenaan dengan pemahaman terhadap hukum itu sendiri. Pemamahan publik terhadap hukum tidaklah sama. Akan tetapi hal itu tidaklah sekaligus berarti  apa yang dinamakan dengan hukum itu menjadi sesuatu yang abstrak. Artinya publik maupun kalangan hukum sendiri bisa dengan mudah memahami esensi dari apa yang disebut dengan hukum. Tapi hal itu tidak sekaligus menjelaskan bagaimana posisi hukum dalam masyarakat.
            Kelebihan dalam buku yang sangat menarik adalah betapa solusi yang ditawarkan begitu sangat berharga. Konsep peradilan konsiliasi yang ditawarkan sudah seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Saya sepakat bahwa itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat dan nilai – nilai lokal yang ada. Solusi ini membuka cakrawala baru bagi dunia peradilan di Indonesia yang kini makin jauh dari rasa kepercayaan rakyatnya. Rakyat berusaha mencari keadilan lain di luar forum negara. Buku ini mengungkap  bahwa pemahaman yuridis para yuris bukan satu – satunya makna sosial hukum yang mutlak  diterima semua pihak sebagaimana kecenderungan deewasa ini. Lebih tepat dikatakan bahwa masing – masing individu maupunkelompok memiliki kesempatan untuk memaknai hukum dalam konteks pergumulan dan sistem situasi yang mereka hadapi. Buku ini sangat bagus karena mengungkap bagaimana pranata – pranata formal memang menikmati keadaan yang hampir seluruhnya monopoli dalam memaksa rakyat untuk memenuhi suatu aturan, namun pranata – pranata tersebut tidak mempunyai monopoli jenis apapun  terhadap aneka bentuk pemaksaan efektif dan bujukan efektif lainnya pada seseorang.
            Kelebihan lain dari buku ini adalah bahwa buku tentang pilihan hukum dan penggunaan makna sosial ntuk sebagai perspektif sangat bermanfaat untuk  mengkaji fenomena  yang muncul dalam konteks  pluralisme hukum. Sebab secara teoritis maupun faktual, pluralisme hukum  merupakan realitas yang memungkinkan warga masyarakat melakukan pilihan norma dan dan forum hukum untukmenyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.  Dengan demikian  , dapat dikatakan bahwa secara sosiologis, aneka norma dan lembaga hukum yang ada, tidak lebih dari suatu kenyataan sosial yang dihadapi seseorang, dan sekalian itu dapat dimaknai secara sosial oleh warga masyarakat. Jelas di sini, bahwa warga masyarakatlah yang menentukan makna dari  semua norma / forum hukum itu. Dengan kata lain secara faktual, bukan hukum yang mengontrol warga masyarakat, tetapi sebaliknya warga masyarkatlah yang mengontrol hukum. Dipilih tidaknya suatu norma atau forum hukum, sangat ditentukan oleh “kebutuhan” dan “sistem situasi” yang dihadapi sesorang.

Kritikal Review
            Tidak banyak kekurangan dari buku ini. Beberapa hal yang bisa saya kritiki sebagai berikut:
1.      Masalah sistematika
Dalam beberapa bab yang disampaikan menurut saya akan lebih sistematis jika  maslah fungsi hukum dalam masyarakat yang ditulis di bab VIII akan lebih baik jika disajikan dalam bab awal . Dimana para pembaca akan lebih memahami fungsi hukum itu sendiri sebelum mengetahui lebih jauh dan memaknai lebih jauh tentang pilihan hukum yang akan ditempuh masyarakat. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.  Dengan mengerti fungsi hukum akan lebih mudah juga memaknai makna sosial hukum . Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Roberto M Unger (2011;54), tampaknya hukum adalah subjek kajian yang bermanfaat karena upaya untuk memahami signifikansinya akan mengarahkan kita lansung menuju inti tiap-tiap masalah besar yang belum terpecahkan dalam teori sosial.  Lebih jauh dikemukakan Roberto M  Unger, bahwa hukum terlihat dalam masalah metode. Setelah paham Aristoteles ditolak dalam pemikiran politik, fenomena atau gejala sosial perlu dijelaskan dan digambarkan dalam istilah-istilah yang berbeda dengan istilah-istilah tradisional untuk tujuan dan manusia. Namun, pada saat yang sama menjadi jelas bahwa kita memang mengandalkan peraturan-peraturan preskriktif. Peraturan-peraturan ini bukan sekedar fakta tanpa signifikansi moral bagi orang-orang yang membuat, menerapkan, dan menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kecaman dengan berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut.
2.      Perlu analisis sosiologis dan antropologis yang lebih mendalam.
Artinya sebaiknya harus mulai mempelajari proses-proses non formal yang terjadi di masyarakat . Peran analisis sosiologis dan antropologis digunakan, karena kajian ini ingin melihat berbagai aspek sosial-budaya dari kebijakan, yakni keterkaitan antara kebijakan dengan manusia-manusia pembuat dan pelaksana kebijakan tersebut. Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut:
1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.
2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal.
3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Dalam masyarakat moderen, hubungan antar warga tidak lagi sebatas kekerabatan, klen, suku dan sebagainya, tetapi lebih luas lagi menyangkut hubungan antara warga dan pemerintah. Perluasan konteks hubungan sosial ini sebagai akibat dari semakin terintegrasinya komunitas-komunitas lokal ke dalam organisasi negara-bangsa. Hubungan antar warga negara-bangsa diatur oleh suatu penyelenggara negara yang biasa dikenal sebagai pemerintah dan lembaga-lembaga legislatif. Institusi penyelenggara negara selalu berkeinginan untuk mempengaruhi masyarakat dengan usaha menata dan mengatur warga masyarakat. Dalam negara modern warga masyarakat diatur oleh berbagai peraturan yang tidak terhitung jumlahnya yang dibuat oleh kaum birokrat di pemerintahan. (Haviland dalam Britan dan Cohen, 1980b). Berbagai peraturan yang dikeluarkan itu adalah refleksi dari kebijakan institusi atau birokrasi negara. Untuk mengkaji suatu kebijakan, paling tidak ada dua cara yang harus diketahui, yaitu kajian yang melihat isi kebijakan (policy content) dan kajian yang melihat bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan dilaksanakan (policy process). Kajian isi kebijakan (policy content) kebanyakan berupa analisis legal-normatif. Kajian antara lain ingin melihat konsistensi kebijakan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, perubahan kebijakan dari waktu ke waktu serta ketercakupan prinsip-prinsip keadilan dalam isi kebijakan. Kajian proses kebijakan (policy process) lebih mengarah pada analisis sosiologis dan antropologis, disamping analisis yang berkembang dalam kajian organisasi (administrasi) . Peraturan Nagari tidak bisa dilihat dari perspektif Hukum Negara saja, namun secara luas juga merupakan perwujudan dari kearifan lokal yang ada disuatu masyarakat hukum adat. Jika dahulunya, masyarakat adat identik dengan hukum adat yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat, maka saat ini hukum adat yang tidak tertulis itu diharapkan berevolusi menjadi sebuah aturan yang tertulis namun tetap bernafaskan kearifan lokal. Namun dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseran–pergeseran dimana akibat faktor–faktor tertentu menyebabkan kurang percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada, diantaranya faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakan–tindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu. Bahkan banyak masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknum–oknum penegak hukum disebabkan keawaman mereka tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita. Dalam abad Ke-21 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana sebagian hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang-bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat.     Namun faktor lain yang perlu diperhatikan juga adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
3.      Dari penjelasan buku yang ada masalah hukum negara yang superlatif selayaknya dikaji  secara tersendiri .
 Hal ini dilakukan   agar pembaca secara mudah menangkap maksud mengapa orang sekarang cenderung menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah hukum negara begitu superlatif di atas norma-norma lain? Dan dapat efektif mengatur perilaku masyarakat Indonesia yang begitu plural? Pertemuan norma antara hukum negara dengan norma kebiasaan tidak selalu berwujud keterbauran yang padu/ tidak padu, tetapi juga melahirkan benturan kesenjangan. Ada persaingan antar “kebenaran” dari hukum dan budaya; formal dan informal. Benturan yang timbul disekitar pertemuan hukum nasional dan hukum lokal melahirkan kemacetan pemberlakuan hukum ditingkat lokal. Terhadap gejala yang demikian itu, tidak sedikit orang memahaminya sebagai fenomena “ketidaksadaran hukum”, bukan dimengerti sebagai “ketidakpatuhan hukum”. Melalui proses intelektual dan proses hati nurani, pembaca akan lebih mengerti  sampai pada kesepakatan bersama, yaitu berkehendak atas kebenaran dan kebaikan serta keindahan sebagai nilai yang berguna, bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan (utility value) adalah hal yang benar, yang baik, yang indah karena bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan adalah menyenangkan, saling menguntungkan, dan mensejahterakan semua pihak. Akhirnya manusia menjadi penentu, untuk berkehendak memilih yang benar menurut akal dan sekaligus baik menurut hati nurani karena pilihan itulah yang indah dan bermanfaat. Manusia kodrati ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mengambil keputusan yang benar menurut akal (intelektual) dan baik serta indah menurut hati nurani. Ukuran benar menurut intelektual dan baik serta indah menurut hati nurani adalah bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
4.       Perlu dikaji apakah pengakuan terhadap masyarakat adat yang dilakukan oleh berbagai pihak saling menguatkan apa malah sebaliknya melemahkan.
Konsep kerja masyarakat adat jelas berhubungan langsung dengan tanah. Diperlukan penegasan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai warga Negara dalam mengakses keadilan dan HAM. Bagaimana warga negara mempunyai HAM yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah sebagai pelindung rakyatnya dalam menegakkan HAM dan mencari sebuah keadilan. Mengabaikan aspek kehidupan yang dipedomani peraturan ini berarti mengabaikan makna subjektif prilaku. Karena itu harus ditentukan hubungan antara kajian ilmiah  untuk mencari keteraturan faktual dalam masyarakat dengan penggunaan peraturan dalam kehidupan sehari-hari. Inti teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang menerangkan (law that describes) dan hukum yang bersifat mengatur (law that ordains). Kajian terhadap hukum berhubungan erat dengan masalah tatanan sosial. Doktrin kepentingan pribadi dan doktrin konsensus mencakup dan bergantung pada pandangan-pandangan yang bertentangan mengenai peraturan. Jika kita mengetahui dalam keadaan seperti apa berbagai jenis hukum akan muncul, mungkin kita pun mampu melihat batasan-batasan dan kegunaan kedua padangan dasar tentang tatanan itu dan menyusun cara untuk menyatakannnya. Resolusi untuk masalah komodernan mengharuskan kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan hukum impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian taktala hukum tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial. Jadi kajian tentang posisi hukum dalam masyarakat modern mempersatukan hal-hal penting dalam teori sosial, namun juga mengarahkan hal-hal itu pada topik yang dapat didefenisikan secara sangat kongkrit.  Dengan semua itu kita bisa mencermati apakah hukum lokal lebih bisa menguatkan dalam mencari keadilan dibandingkan hukum negara yang superlatif.
BAB III
PENUTUP

            Buku berjudul Masyarakat dan Pilihan  Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari sangat lugas dan memang sesuai dengan konteks masyarakat sekarang. Buku ini memeberikan gambaran yang sangat lugas dan sangat jelas bagaimana proses masyarakat “biasa” mencari keadilan dalam sebuah sengketa yang dialaminya.  Tidak hanya mengkritik tentang hukum positiv  yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia tapi buku ini juga memberikan solusi sebuah peradilan baru yang tidak hanya memberikan kepastian  hukum tapi juga memberikan sebuah keadilan dengan memperhatikan kondisi sosio kultural masyarakat yang dalam buku ini disebut sebagai “peradilan konsoliasi”. Buku ini benar – benar menggambarkan realitas yang ada di masyarakat.    Kelebihan dalam buku yang sangat menarik adalah betapa solusi yang ditawarkan begitu sangat berharga. Konsep peradilan konsiliasi yang ditawarkan sudah seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Saya sepakat bahwa itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat dan nilai – nilai lokal yang ada. Solusi ini membuka cakrawala baru bagi dunia peradilan di Indonesia yang kini makin jauh dari rasa kepercayaan rakyatnya. Rakyat berusaha mencari keadilan lain di luar forum negara. Kelebihan lain dari buku ini adalah bahwa buku tentang pilihan hukum dan penggunaan makna sosial ntuk sebagai perspektif sangat bermanfaat untuk  mengkaji fenomena  yang muncul dalam konteks  pluralisme hukum. Sebab secara teoritis maupun faktual, pluralisme hukum  merupakan realitas yang memungkinkan warga masyarakat melakukan pilihan norma dan dan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.           
            Kritikan yang bisa saya berikan pada buku ini meliputi antara lain : masalah sistematika,    perlu analisis sosiologis dan antropologis yang lebih mendalam, dari  penjelasan buku yang ada masalah hukum negara yang superlatif selayaknya dikaji  secara tersendiri , dan perlu dikaji apakah pengakuan terhadap masyarakat adat yang dilakukan oleh berbagai pihak saling menguatkan apa malah sebaliknya melemahkan. Tapi bagaimanapun buku ini sangat layak sebagai salah satu perspektif dalam memaknai sosiall hukum. Analisis yang begitu tajam diberikan sangat membantu dalam kajian – kajian sejenis selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 1999.  Pengadilan dan masyarakat. Ujung Pandang : Hasanudin University Press
Daniel S. Lev. 1990. Hukum dan politik di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3S
Doyle, Paul Johnson. 1986.  Teori sosiologi klasik dan modern, terj. Robert M.Z. Lawang,. Jakarta : Gramedia
Indrianto Senoadji. 2009. Humanisme dan pembaruan penegakan hukum. Jakarta :  Kompas
Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010.
Sahri, Efektivitas hukum dalam masyarakat. MHS S2 Hukum Untag.
Soemardi, Dedi. 1997.  Pengantar hukum indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co
http://www.skripsi-tesis.com
http://www.goal.com/id-ID/news/1571/fokus/2013/06/10/1107492/fokus-irfan-sergio- harus-pilih-kewarganegaraan
http://wninomor1.wordpress.com/2013/05/30/landasan-hukum-pendidikan-kewarganegaraan/
Utari, Indah. 2012. Masyarakat dan pilihan hukum. Semarang: CV Sanggar Krida Aditama