Jumat, 24 Mei 2013

ANATOMI TEORI EMILE DURKHEIM

EMILE DURKHEIM (1858 – 1917) Tokoh paradigma fakta social berikut ini memiliki nama besar dalam pemikiran sosiologiklasik di Eropa yang hidup antara tahun 1858 sampai tahun 1917. Apa dan bagaimanapemikiran Durkheim tentang sosiologi, berikut ini adalah penjelasannya : 1. Konteks Sosial dan Politik yang Melatarbelakangi Teori Konteks social yang melatarbelakangi munculnya teori Emile Durkheim adalah adanya pembagian kerja social dalam masyarakat. Durkheim melihat bahwa masyarakat tidaklah selalu homogeny dan juga tidak drastic dalam perkembangannya. Dari sini, Durkheim melihat bahwa pecah dan berkembangnya kesatuan kesatuan social merupakan akibat langsung dari berkembangnya pembagian kerja dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebagaimana diceritakan dibagian awal bukunya, ia riasu dengan banyaknya fenomena bunuh diri, sementara opini yang ada dalam masyarakat pada saat itu berkeyakinan bahwa “bunuh diri itu akibat penyakit kejiwaan”. Konteks social itulah yang mengawali Durkheim menemukan berbagai teori besarnya. Pada awalnya Durkheim tidak menerima opini itu begitu saja, karena ia melihat bahwa data statistic yang dikumpulkan di Negara yang tinggi angka sakit jiwanya seperti Norwegia, jumlah orang yang melakukan bunuh diri justru berada pada urutan keempat. Oleh karena itu dengan menggunakan data statistic tentang bunuh diri di beberapa negara serta dipadukan dengan metode analisis yang kritis, akhirnya Durkheim sampai pada kesimpulan bahwa kasus bunuh diri harus dikaji dari konteks struktur social masyarakat dan Negara itu. Pemikiran Durkheim juga dilatar belakangi oleh konteks sosial Revolusi Perancis, yang pecah pada musim panas tahun 1789. Sebagai background, kala itu Prancis menganut sistem politik Monarki (feodalisme), di bawah kuasa kerajaan yang absolute. Dalam hal ini, raja dapat bertindak sewenang-wenang (L'etat c'est moi =Negara adalah saya). Seluruh tanah yang ada, menjadi milik Kerajaan. Kala itu, gereja tampil mendominasi pada bidang ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan dan rohaniawan banyak diberi hak-hak istimewa. Lambat laun, hal ini menimbulkan penderitaan bagi rakyat. Petaka muncul, tatkala pajak dan sewa tanah dinaikkan. Konon, kenaikan ini juga disebabkan oleh bangkrutnya kerajaan, yakni tatkala Kerajaan mulai mengalami defisit. Saat itu, kalangan intelektual melihat ketidakadilan ini, dan kemudian menyulut lahirnya pemberontakan. Diantaranya adalah Voltaire, yang mendengungkan kebebasan dalam menyatakan pendapat. Voltaire juga dikenal menentang dominasi gereja. Lalu ada pula, Montesquieu, yang memelopori pemisahan kekuasaan Negara. Lebih dikenal dengan trias politica, membagi Negara kepada legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam hal ini, kegelisahan akibat diperlakukan tidak adil tersebut, agar meluas, perlu adanya pemicu. Pemicu ini tidak harus direncanakan, namun bisa juga berbentuk spontanitas. Bahkan konon, penyerangan terhadap penjara Bastille, sebenarnya disebabkan oleh ketidaksengajaan akibat salah pengertian. Pada ujungnya, terjadi kristalisasi keinginan rakyat Prancis yang kemudian melahirkan jargon Libertie (kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternity (persaudaraan). Saat Revolusi Prancis kemudian membawa dampak, maka terjadilah Situasi Anomie. Secara sederhana bisa dikatakan sebagai situasi, dimana pada saat itu tidak ada aturan. Terjadi karena, peraturan yang lama dibuang, namun di saat yang bersamaan, peraturan yang baru belum siap. Secara lugas dapat diartikan negara sedang dilanda kecemasan akibat kurangnya regulasi dan kontrol sosial yang ada. Bahkan negara seakan sedang terisolasi, akibat minimnya standar moral dalam masyarakat. Nah, latar belakang tersebut, kemudian menjadi pemicu kelahiran suatu teori sosial. Emile Durkheim (1858-1917) misalnya, melahirkan konsep tentang Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik. Hal ini terjadi, sehubungan dengan integrasinya dalam masyarakat. Dalam Solidaritas Mekanik, ada sistem nilai yang dihayati dan dipatuhi bersama. Sudah langsung jalan, seperti halnya mesin. Tersosialisasi secara langsung, sejak lahir. Nilai maupun norma yang ada, dikukuhkan dalam rutinitas. Meneguhkan dan bisa terintegrasi. Pada akhirnya, masyarakat dan orang-orang yang terlibat, dapat menjadi patuh. Dihayati bersama, kemudian ditegakkan, dan kemudian dapat menyatukan. Sementara Solidaritas Organik, memiliki ketergantungan antar unsur, dan berfungsi secara sistemik. Solidaritas jenis ini, terintegrasi dengan masyarakat, dikarenakan adanya ketergantungan antara unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Secara struktural-fungsional, terdapat unsur-unsur atau peran-peran yang ada dalam masyarakat. Karenanya, masyarakat bisa survive. Makin modern masyarakat, maka peran yang ada akan kian banyak dan ter-spesialisasi. Dalam kehidupan di masyarakat, tugas Negara adalah membantu agar setiap warga Negara menjadi individu yang bisa bersaing. Lantas, bagaimana dengan nilai atau norma yang belum terlembaga ? Dapat dijelaskan, bahwa nilai-nilai yang masih abstrak, diterjemahkan agar menjadi norma, kemudian dituangkan dalam hukum, dan melalui hukum itu, segala yang berhubungan dengan ranah publik, diatur 2. Realitas Sosial yang Mendasari Teori Realitas social yang mendasari teori Durkheim adalah adanya penolakan terhadap anggapan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa kesatuan social yang disebut masyarakat itu terjadi karena factor “kesenangan” dan masyarakat terbentuk akibat adanya “kontrak social”. Tetapi sebaliknya, Durkheim menyatakan bahwa masyarakat itu terbentuk bukan karena adanya kesenangan atau kontrak social, melainkan adanya factor yang lebih penting dari itu, yaitu adanya unsur-unsur yang “mengatur” terjadinya kontrak, antara lain anggota masyarakat yang mengikat dan terikat kontrak serta menentukan sah tidaknya sebuah kontrak itu. Aturan yang berada diluar kontrak itu menurut Durkheim adalah collective conciousness. Berangkat dari anggapan itulah maka pola pemikiran Durkheim tampak pada kerangka teoritisnya tentang adanya “jiwa kelompok” yang mempengaruhi kehidupan individu. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa didalamnya ada dua jenis kesadaran, yakni collective conciouness dan individual consciousness. Durkheim beranggapan bahwa tingkah laku hidup seseorang adalah akibat adanya “pemaksaan” aturan perilaku yang datang dari luar individu dan mempengaruhi pribadinya. Jika kemudian seseorang menentang (dalam bentuk tingkah laku) dan berlawanan dengan tingkah laku kolektif, maka kesepakatan kolektif itulah yang akan menantangnya. Dengan begitu maka suatu kelompok manusia yang semula tidak bersifat agresif, kemudian bisa menjadi agresif setelah menjadi bagian dari suatu kerumunan (kelompok) seperti pada kasus demostrasi anarkis. Durkheim menarik kesimpulan bahwa individu tidak dipisahkan dari luar oleh masyarakat. Di dalam diri manusia, pengaruh orang lain dan predisposisi individual bertemu dan menjadi satu. Aspek sosial dan aspek individual menjadi ciri hidup manusia. Dari kedua aspek itu, faktor pengaruh masyarakat adalah faktor yang paling penting dalam Sosiologi Durkheim.[7] Bagi Durkheim, obyek sosiologis adalah perikelakuan sosial. Kelakuan manusia disebut “sosial” kalau enjadi bagian dari suatu sistem sosial dan berorientasi kepada lingkungan si pelaku. Lingkungan itu terdiri dari masa lampau manusia, dan terdiri dari tradisi berupa tata nilai, tata kepercayaan, keterampilan, pola-pola perilaku, dan lain-lain. Durkheim membedakan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial adalah lingkungan di mana perilaku manusia berlangsung. Sedangkan lingkungan fisik hanya membuat kondisi-kondisi yang sebaiknya diperhitungkan oleh tiap-tiap orang demi keselamatannya. Lingkungan sosial tidak hanya membuat kondisi-kondisi, tetapi juga merumuskan tujuan-tujuan dan norma-norma kelakuan, yang dikenakan kepadanya. Itulah kekhususannya, sehingga realitas sosial oleh Durkheim disebut realitas sui generis atau disebut juga fakta/benda sosial. Pandangan Durkheim di atas terkesan bahwa ia amat menekankan corak lahir dan wajib dari realitas sosial, melainkan juga corak batinnya. Sehubungan dengan pengaruh-pengaruh sosial, ia mengatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu berada baik di luar maupun melalui dan di dalam individu. Sampai di sini, Durkheim tiba pada pandangannya yang sangat penting dalam Sosiologi, yaitu bahwa unsure-unsur pokok kebudayaan dan struktur sosial (internalized) oleh individu dan menjadi bagian kepribadiannya. Realitas sosial timbul melalui perorangan-perorangan dan hanya melalui mereka. Dari interaksi dan kerja sama ini lahirlah suatu kesadaran kolektif yang melampaui kesadaran-kesadaran individual. Kesadaran ini terdiri dari sejumlah kepercayaan, perasaan, norma, dan tekad yang dibagi bersama. Nilai-nilai itu dibatinkan dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasa karena proses pembatinan itu – untuk menyesuaikan diri. Setiap kali individu melanggar nilai-nilai dan norma-norma kolektif itu, timbul rasa salah atau ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu mempunyai WEWENANG MORIL (moral authority) yang berperan melalui batin seseorang. Harus dikatakan bahwa nilai-nilai itu serentak mengandung unsur interiority dan unsur exteriority. Mereka bersifat lahiriah sejauh mereka tetapi merupakan bagian obyektif suatu sistem yang melampaui individu. Mereka bersifat batiniah sejauh mereka tak terpisahkan dari kesadaran individual. Kedua, kesadaran kolektif yang berlainan dari kesadaran individual terlihat pula dari tingkah laku grup, yang berlainan dari tingkah laku individu yang sendirian. Dalam konteks penumpang atap, dapat dikatakan bahwa ketika melihat ada banyak penumpang lain yang sama-sama tidak mendapat tempat di dalam gerbong dan naik ke atas atap, maka penumpang tersebut ikut naik ke atas atap. Ketiga, menurut angka statistic prosentasi gejala sosial seperti menikah, melakukan perbuatan pidana, membunuh diri dan sebagainya, nampaknya mantap, padahal yang kawin atau berbuat nekat ialah individu-individu yang pikiran dan tujuannya tidak mantap. Jadi mesti ada faktor lain lagi di samping kemauan individual, yang melatarbelakangi kestabilan angka statistik. Faktor itu ialah “kesadaran kolektif”. Dalam kasus perilaku penumpang atap, dapat dikatakan bahwa meskipun pihak yang berwajib sudah melarang bahkan memberikan sanksi berulang kali, fenomena penumpang atap tetap marak saja. Tentang “kesadaran kolektif” ini, Durkheim menjelaskan bahwa kontak dan interaksi orang menghasilkan situasi, di mana pikiran para peserta tembus-menembus dan rembes-merembes. Terjadi suatu konpenetrasi kesadaran-kesadaran individual. Hasilnya adalah kesadaran kolektif yang melebihi jumlah total kesadaran-kesadaran individual, karena pikiran, perasaan, dan perilaku masyarakat berbeda dan berlainan dari pikiran, perasaan, dan perilaku individu-individu. 3. Aliran Pemikiran yang Mempengaruhi Teori Aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi pemikiran Durkheim yaitu “sosiologistik”. Dengan latar belakang aliran pemikiran yang dianut tersebut , Durkheim menerapkan pola analisis dengan menggunakan interpretasi biologistik dan psikologistik terhadap masalah masalah social yang ada pada saat itu. Durkheim juga dipengaruhi oleh pemikiran yang berusaha menerapkan metode yang benar-benar scientific, dan ia berangkat dari berbagai fakta dan data yang dikumpulkan secara detail. Semua teorinya didukung oleh fakta-fakta social yang konkret. Berdasarkan kenyataan itulah, maka teori-teori yang berhasil dirumuskannya sesungguhnya didasarkan pada kajian yang bersifat posivistik. Teori yang dikemukakan oleh Durkheim dipengaruhi oleh teoritisi-teoritisi terdahulu diantaranya Marx dan Friedrich Engels ketika mencetuskan teori ekonomi, Aguste Comte dan Spenncer ketika mencetuskan teori sosiologi modern. Marxisme Klasik merupakan teori-teori yang secara langsung dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Istilah “Marxisme Klasik” digunakan untuk membedakan antara “Marxisme” yang dipahami secara luas dengan apa yang diyakini oleh Marx. Sedangkan Marxisme adalah teori maupun aplikasi yang didasarkan pada interpretasi atas karya-karya Marx dan Engels. Di antara aliran pemikiran, tak ada ekonom atau filsuf lain yang menciptakan begitu besar semangat dan gairah religius seperti Karl Marx. Marx menjadi tokoh pujaan visioner dan revolusioner, bukan sekadar seorang ekonom. Ketika membaca The Communist Manifesto yang tebalnya sekitar 150 halaman, seseorang pasti merasakan adanya aliran semangat, gaya yang tajam, dan kesederhanaan yang mengagumkan dalam kalimat-kalimat Marx dan Engels (Skousen, 2001:163). Marx tidak hanya menciptakan fanatisme di kalangan generasi muda, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan saat ini, pendekatan Marxis dalam pendidikan dan riset di Barat digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, yaitu Antropologi, Media Studies, Teater, Sejarah, Teori Sosiologi, Ekonomi, Literary Criticism, Aesthetic, dan Filsafat. Dari uraian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa Marxisme Klasik memiliki pengaruh yang sangat luas dalam berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi, literatur berbahasa Indonesia yang membahas mengenai Marxisme Klasik dalam penuturan yang sederhana masih sulit ditemui. Oleh karena itu, dalam makalah ini, Kami bermaksud memaparkan ide-ide utama dalam Marxisme Klasik yang dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Marxisme sebenarnya adalah suatu sintesis dari berbagai arus ideologi yang berkembang pada masa awal dan pertengahan abad ke-19. Arus-arus ini adalah pemikiran-pemikiran filsuf Jerman (Immanuel Kant, dialektika Hegel, materialisme Feurbach, teori perang kelas dari Michelet), doktrin-doktrin ekonomi Inggris dan Skotlandia dari Smith dan Ricardo, serta sosialisme Perancis (J.J. Rousseau, Charles Fourier, Henri de Saint-Simon, Pierre-Joseph Proudhon, Louis Blanc). Namun dua filsuf radikal yang sangat mempengaruhi Karl Marx adalah G.W.F. Hegel yang mengembangkan materialisme dialektis, yaitu semua kemajuan dicapai melalui konflik, dan Ludwig Feuerbach dengan bukunya, yaitu The Essence of Christianity. Fondasi teori Marxisme terangkum dalam tiga tema besar: Pertama adalah filsafat Materialisme, asas pokok filsafat ini, berdiri tegak di atas landasan Materialisme dialektika dan Materialisme historis. Kedua, ekonomi politik. Pembahasan yang paling penting dalam masalah ini yaitu pandangan materialisme dalam teori nilai laba atau keuntungan, beserta segala yang terkait dengan hal itu; baik rentetan yang mempengaruhi kondisi sosial masyarakat, bahkan yang menyentuh dimensi agama. Ketiga; konsep ketatanegaraan dan pandangan revolusi. Namun, konsep ketiga ini dalam perkembangannya saat ini sudah berada diluar lingkup Marxisme Klasik, sehingga tidak akan dibahas dalam makalah ini. Dalam pandangan Marxis, materi adalah tuhan itu sendiri, tiada yang mempunyai kekuatan dalam penciptaan kecuali materi. Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan materilah yang membentuk akal, bukan sebaliknya. Hanya materilah yang merupakan esensi awal pencipta dari segenap wujud, kemudian berevolusi menggunakan teori hukum dialektika internal menuju kehidupan nabati, berevolusi lagi menuju kehidupan hewani, kemudian insani dan, pada akhirnya menciptakan karya terbesar yang mampu membedakan manusia dengan wujud lain, terciptalah logika. Pada umumnya Marxisme muncul mengambil bentuk dari tiga akar pokok, Salah satu dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya diawal abad ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut ‘ekonomi Inggris’, yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut catatan sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah ‘filsafat Jerman’. Menurut Marx, tak ada yang disebut dengan fitrah manusia (individual human nature), yang mengacu pada suatu kumpulan karakteristik manusia secara umum dan pokok, serta karenanya juga mengacu pada sesuatu yang secara definitif konstan tidak berubah. Mengingat bahwa manusia tidak memiliki individual human nature, maka kesadaran mereka dan aspek-aspek lain seperti sosial, politik, dan proses intelektual kehidupan mereka, senantiasa berubah dan perubahan ini ditentukan oleh kondisi-kondisi materiil kehidupan (The Material Conditions of Life) dan secara spesifik oleh metode produksi. Sebagaimana dalam Selected Writings in Sociology and Social Philosophy, Karl Marx menyebutkan, “Mode produksi dalam kehidupan materiil manusia menentukan karakter umum proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan diri mereka, melainkan sebaliknya, keadaan sosial lah yang menentukan kesadaran mereka”. Senada dengan yang dikatakan Engels, “Pikiran tidak menciptakan materi, namun materilah yang menciptakan pikiran.” Maka, untuk mengerti dan mendefinisikan sebuah filsafat, teori ataupun ideologi, menurut Marx perlu menganalisis “kenyataan sosial” yang merupakan dasar filsafat tersebut. Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan). Pendek kata, Marxisme adalah teori untuk seluruh kelas buruh secara utuh, independen dari kepentingan jangka pendek dari berbagai golongan sektoral, nasional, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, Marxisme terlahir dari perlawanan dan perjuangan kelas buruh melawan sistem kapitalis, dan juga mewujudkan obsesi kemenangan gerakan sosialis. Maka Marxisme bertentangan dengan oportunisme politik, yang justru mengorbankan kepentingan umum seluruh kelas buruh demi tuntutan sektoral dan/atau jangka pendek. Dalam Marxisme klasik, basis ekonomi dalam masyarakat menciptakan supra-struktur (politik-ideologi dll)—hubungan-hubungan ekonomi menghasilkan fenomena-fenomena sosial, budaya dan politik yang meliputi semua hal termasuk diantaranya ideologi, kesadaran politik hingga budaya yang berhubungan dengan media. Marx meyakini bahwa identitas suatu kelas sosial ditentukan oleh hubungannya dengan sarana-sarana produksi. Berdasarkan hal itu, ia mendeskripsikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat Kapitalis, yang terdiri atas : 1)Kaum proletar (the proletariat), yaitu mereka yang menjual tenaga kerja mereka karena mereka tidak memiliki sarana produksi sendiri. Menurut Marx, mode produksi kapitalis membangun kondisi dimana kaum borjuis mengeksploitasi kaum proletar, berdasarkan fakta bahwa tenaga kerja menghasilkan nilai tambah yang lebih besar daripada gaji yang mereka terima. 2)Kaum borjuis (the bourgeoisie), yaitu mereka yang memiliki sarana produksi sendiri, dan membeli tenaga kerja dari kaum proletar dan mengeksploitasi mereka. Kaum borjuis selanjutnya dibagi lagi menjadi the very wealthy bourgeoisie dan the petit bourgeoisie yang walaupun mempekerjakan orang lain, tapi masih perlu bekerja sendiri. Marx memprediksikan bahwa petit bourgeoisie akan dihancurkan oleh penemuan sarana-sarana produksi baru yang terus menerus, dan akan menggeser kedudukan sebagian besar dari mereka menjadi kaum proletar. Marx juga mengidentifikasikan kelas-kelas lain, yaitu: 1)Lumpenproletariat, yaitu suatu strata dalam perekonomian yang sama sekali tidak terhubung dengan sarana-sarana produksi, antara lain para perampok, petualang (vagabond), kriminal, dan lain sebagainya. 2)Landlords, yaitu suatu kelas yang penting di masa lalu, dan beberapa diantaranya masih memiliki kekayaan dan kekuasaan. 3)The Peasantry dan The Farmers, yang mana Marx memandang kelas ini tidak terorganisir dan tidak mampu membuat perubahan. Marx juga meyakini bahwa kelas ini lama kelamaan akan menghilang, dengan kebanyakan dari mereka menjadi kaum proletar, tapi beberapa diantaranya menjadi tuan tanah (Landowner). Konsep pokok dalam analisis Marx adalah “alienasi” atau “keterasingan”, yang timbul dalam masyarakat kapitalis karena eksploitasi terhadap kaum proletariat (buruh) oleh kaum borjuis. Padahal semua nilai ekonomi berasal dari kaum proletar, tetapi mereka tidak mendapatkan lebih dari upah subsisten, yaitu upah yang hanya cukup untuk melanjutkan hidup dan melahirkan keturunan. Saldo (nilai surplus) tetap digenggam oleh kaum borjuis, karena itu mereka menjadi kuat dan memojokkan kaum proltar dalam suatu kondisi perbudakan abadi. Proses ini akan “memerosotkan martabat” dan “memberlakukan dehumanisasi” pada kaum proletar, sehingga menurunkan mereka menjadi potongan manusia (alienasi). Mereka akhirnya tidak mampu mengembangkan potensi kemanusiaannya secara penuh. Eksploitasi ini menyebabkan pembagian masyarakat menjadi dua kelas antagonis dan meniupkan api peperangan kelas yang membentuk inti proses sejarah umat manusia. Umat manusia tidak bebas, mereka adalah bidak-bidak diatas papan catur sejarah. Nasib mereka ditentukan oleh konflik kepentingan ekonomi yang tidak dapat dihindari dalam berbagai kelas masyarakat manusia (determinisme ekonomi). Menurut argumen ini, kunci sejarah tidak terletak pada gagasan-gagasan manusia, tetapi pada kondisi ekonomi kehidupan mereka. Agama dan negara dalam suatu masyarakat borjuis adalah bagian integral dari konflik ini dan dipakai oleh kaum borjuis untuk menindas kaum proletar. Karena itu, mereka amat berperan dalam proses alienasi manusia. Alienasi akan menghilang, bila terdapat suatu masyarakat yang tak berkelas, dan negara akan punah setelah melewati berbagai tingkatan proses sejarah. Karena itu, kewajiban yang pasti adalah menghapuskan semua keadaan dimana umat manusia dilecehkan, diperbudak, dan ditinggalkan sebagai makhluk terhina. Satu-satunya cara untuk mengakhiri alienasi adalah menghapuskan kepemilikan barang, yang merupakan sebab utama. Hal ini akan menghapuskan hak-hak istimewa kaum borjuis dan juga akan memotong kekuasaan eksploitatif dan politik mereka. Cara yang paling efektif untuk mengakhiri ini adalah dengan melancarkan suatu revolusi yang digerakkan oleh kaum proletar untuk meruntuhkan secara paksa sistem kapitalis. Marx menolak pendekatan kaum utopia sosial (yaitu eksperimen-eksperimen humanitarian berskala kecil dalam masyarakat) sebagai pembunuh perjuangan kelas. Usaha dari pihak pemerintah untuk memodifikasi pola-pola distribusi tidak akan berhasil membawa sosialisme. Untuk menciptakan suatu masyarakat yang benar-benar harmonis, yang mencerminkan gagasan “dari tiap-tiap orang diambil menurut kemampuannya dan kepada tiap orang diberikan menurut kebutuhannya”, maka sistem kapitalis harus mengalami suatu transformasi revolusioner. Setelah masyarakat berhasil melikuidasi kaum borjuis dan mengkolektifikasi sarana-sarana produksi yang dimiliki swasta, maka saat itu telah berhasil mewujudkan suatu masyarakat rasional progresif (yang bercirikan) tanpa upah, tanpa uang, tak ada kelas-kelas, dan akhirnya tak ada negara, yaitu “suatu asosiasi bebas para produsen dibawah kontol purposif dan kesadaran mereka sendiri”. Kejatuhan kaum borjuis dan kemenangan kaum proletar sama-sama tidak dapat dielakkan. Gagasan ini tertuang dalam teori Marxis tentang Materialisme Historis (Historical Materialism). Materialisme Historis memahami masyarakat ditentukan secara fundamental oleh kondisi material dalam waktu tertentu. Ini berarti hubungan dimana masyarakat saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, misalnya makanan dan minuman. Marx dan Engels mengidentifikasikan lima tahapan pembangunan (dan satu masa peralihan) berdasarkan kondisi-kondisi material ini di Eropa Barat : 1)Primitive Communism, sebagaimana dapat dilihat di kerjasama masyarakat suku (Cooperative Tribal Society). 2)Slave Society, yang terbangun setelah suku-suku berubah menjadi negara kota. Disinilah para aristokrat lahir. 3)Feudalism, yaitu dimana para aristokrat menjadi golongan yang berkuasa (ruling class), dan para pedagang mulai berubah menjadi kapitalis. 4)Capitalism, para kapitalis menjadi golongan yang berkuasa, yang memciptakan dan mempekerjakan kelas pekerja yang sesungguhnya. 5)Socialism (Dictatorship of the Proletariat), yaitu saat ketika para pekerja meraih kesadaran kelas (Class Consciousness), menyingkirkan para kapitalis, dan mengambil alih kendali negara. 6)Communism, yaitu sebuah masyarakat tanpa kelas (Classless) dan tanpa negara (Stateless). Perjuangan gerakan marxisme klasik itu sendiri dinilai masih belum mampu menghalau kapitalisme yang semakin menyebar luas di masyarakat. Untuk membenahi gerakan dan konsepsi marxisme klasik tersebut, muncul lah pemikiran baru di kalangan marxis (Neo Marxism) yang bercorak revisionistik. Neo Marxism menemukan beberapa penyebab kegagalan gerakan marxisme klasik melawan kapitalisme. Pertama, karena tidak terorganisirnya kaum buruh dalam suatu partai. Kedua, kaum buruh memiliki kesadaran yang lemah atas situasi penindasan. Kesadaran palsu (false conciousness) masih mengakar di dalam kelas buruh. Agar mereka (para buruh) berhasil menghantam kapitalisme, dibutuhkan gerakan kolektivitas massa dalam suatu disiplin partai dan pemahaman atas hegemoni kaum kapitalis. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat berbagai school of thought dalam Marxisme itu sendiri, antara lain Western Marxism yang memiliki cabang-cabang Structural Marxism, Neo Marxism, The Frankfurt School, Cultural Marxism, Autonomist Marxism, Analytical Marxism, Marxist Humanism, dan Marxist Theology; serta ada juga Post Marxism dan Marxism Feminism. Dan bahkan setelah meninggalnya Karl Marx pada tahun 1883, berbagai kelompok yang menggunakan basis pemikiran Marxisme dalam politik dan kebijakan mereka, bermunculan di seluruh dunia, yang mana kadang-kadang mereka saling bertentangan satu sama lain. Misalnya antara para pendukung Demokrasi Sosial yang berpendapat bahwa transisi menuju Socialism dapat terjadi di dalam sebuah sistem parlementer borjuis, dengan Komunis yang menyatakan bahwa transisi menuju masyarakat sosialis membutuhkan sebuah revolusi dan penghancuran negara kapitalis. Marxisme Klasik merupakan teori-teori yang secara langsung dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Dasar-dasar Marxisme amat dipengaruhi oleh G.W.F. Hegel yang mengembangkan materialisme dialektis, yaitu semua kemajuan dicapai melalui konflik, dan materialisme Ludwig Feuerbach. Ide-ide utama dalam Marxisme meliputi Eksploitasi, Alienasi, Basis dan Superstructure, Kesadaran Kelas (Class Consciousness), Ideologi, Materialisme Historis, dan Ekonomi Politik. 4. Latar belakang Sosial Emile Durkheim Emile Durkheim lahir di Lorraine Perancis Timur 15 April 1858, merupakan Sosiolog Perancis pertama yang berlatar belakang akademik sosiologi. Disertasi doktornya di Universitas Sorbon dengan judul aslinya De la division du travail social atau On the Division of Social Labor diterbitkan tahun 1893 sebagai buku pertama. Buku keduanya yaitu The Rules of Sociological Method tahun 1895, sedangkan buku ketiga yang terkenal berjudul Suicide dan buku terakhirnya The Elementary forms of Relegious life (Sorokin, 1982) 5. Fenomena Sosial yang Dipertanyakan dan Dijelaskan Fenomena social yang dijelaskan oleh Durkheim pada prinsipnya berusaha menjawab persoalan-persoalan tentang “jiwa kelompok” yang mempengaruhi derajat integrasi social dalam kehidupan masyarakat. Hal yang secara eksplisit diperdebatkan antara lain : (1) mengapa manusia dengan kepentingan dan perbedaan masing-masing dapat berintegrasi dalam satu kesatuan? (2) mengapa manusia yang hidup semakin mandiri tetapi sekaligus semakin tergantung ia satu dengan yang lainnya? (3) bagaimana mungkin dapat terjadi ketika orang semakin individualistic justru semakin tergantung kepada orang lain dan menjadi semakin solider? Durkheim kemudian menjelaskan bahwa akibat dari pembagian kerja social yang semakin intens, maka munculah kebutuhan akan spesialisasi peran atau pekerjaan yang kian spesifik. Kondisi inilah yang menyebabkanmengapa (contoh: dari penulis) “seorang insinyur arsitek menjadi begitu tergantung pada keahlian seorang psikolog dalam mengatasi masalah kenakalan anaknya” atau” seorang dokter ahli bedah menjadi begitu tergantung kepada keahlian seorang montir mobil, ketika kendaraannya tiba-tiba mogok dijalan raya”, dan sebagainya. Kenyataan ini pula yang ia simpulkan sebagai bentuk-bentuk munculnya solidaritas mekanis maupun organis dalam masyarakat. 6. Jenis Penjelasan yang Diberikan Jenis penjelasan yang diajukan oleh Durkheim termasuk dalam paparan mengungkapkan metode berpikir sosiologis. Menurutnya metode berpikir sosiologis tidak hanya mengandalkan dasar pemikiran logika filosofis, tetapi akan lebih eksis dan unggul jika mengangkat data konkret dan gejala-gejala social sebagai fakta yang diperoleh dari hasil pengamatan empiris yang cermat. Menurut Durkheim ilmu akan lebih objektif jika dimulai dari persepsi yang sama. Objek kajiannya didefinisikan secara jelas dan tegas dalam bentuk ciri-ciri eksternal dan harus dilakukan dengan seobyektif mungkin. Durkheim juga menyatakan bahwa agama adalah ibarat suatu system yang disatukan untuk diimani, dipraktikan dan bersifat sacral. Agama dalam masyarakat itu sendiri diyakini bersifat suci dan bukan duniawi, meskipun menurutnya semua agama dibumi itu telah “tercemar” oleh budaya, sebagai akibat adanya interpretasi yang dilakukan oleh para pemuka dan pemeluknya. Agama juga merupakan perwujudan “kesadaran kolektif dan Tuhan adalah lambing “idealisme”. 7. Jenis Realitas Jenis realitas dalam memandang kehidupan sosial adalah realitas yang nampak. Ia melihat perilaku manusia yang nampak secara empiris atau bertumpu pada data empiris. Posisi teori Durkheim dalam paradigma ilmu sosial masuk dalam paradigma fakta sosial. Menurutnya metode berpikir sosiologis tidak hanya mengandalkan dasar pemikiran logika filosofis, tapi akan lebih eksis dan unggul jika mengangkat data kongret dan gejala sosial sebagai fakta yang diperoleh dari hasil pengamatan empiris yang cermat. Obyek kajiannya didefinisikan secara jelas dan tegas dalam bentuk ciri – ciri eksternal dan harus dilakukan dengan seobyektif mungkin. Seperti analisanya dalam kasus bunuh diri. Diyakini bahwa kasus bunuh diri bukanlah akibat dari penyakit kejiwaan seperti yang selama ini diungkapkan dalam teori psikologi juga bukan akibat imitasi atau alkoholisme. Tapi kasus bunuh diri harus dipelajari dengan menghubungkan struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. 8. Lingkup Realitas Sosial Kajian Durkheim dari beberapa penjaelasan di atas bersifat makro. Terlihat fenomene sosial yang dijelaskan oleh Durkheim yang pada prinsipnya berusaha menjawab persoalan – persoalan tentang “jiwa kelompok” yang mempengaruhi derajat integritas sosial dalam kehidupan masyarakat. 9. Aktor Yang Otonom Durkheim memandang individu atau agen sebagai aktor yang tidak otonom. Ia beranggapan bahwa tingkah laku seseorang adalah akibat adanya pemaksaan , aturan perilaku yang datang dari luar individu dan mempengaruhi pribadinya. Jika kemudian seseorang itu menentang ( dalam bentuk tingkah laku ) dan berlawanan dengan tingkah laku kolektif itulah yang akan menantangnya. Dengan begitu maka suatu kelompok manusia yang semula tidak bersifat agresif kemudian bisa menjadi agresif setelah menjadi bagian dari suatu kerumunan ( kelompok ) seperti pada kasus demokrasi anarkis. 9. Argumentasi-argumentasi Yang Ditawarkan Argumentasi-argumentasi yang ditawarkan oleh Durkheim antara lain: a. Bahwa konsep ketuhanan yang diterima masyarakat itu datangnya bukan dari ilahi melai kan dari proses sosial. Ia menyatakan demikian karena ia dibesarkan dari keluarga yang taat agama, penganut yahudi. Dia merasa mendapatkan pengertian ketuhanan lewat warisan dan kontak sosial dengan keluarganya sehingga durkhei mengungkapkan argument tentang proses memperoleh ketuhanan adalah dari proses sosial. b. Untuk membentuk masyarakat yang kompleks dan teratur diperlukan sustu tata organisasi yang baik atau pembagian kerja yang jelas sehingga semua kegiatan dalam masyarakat yang kompleks tersebut memiliki tata organisasi yang jelas. c. Suatu masyarakat yang kompleks sebenarnya ia berasal dari kumpulan individu tunggal yang mengalami perkembangan yang mengarah pada pembentukan tipologi-tipologi evolusioner teoritis. Yang digambarkan sebagai pohon bersemak yang memiliki banyak cabang, mencuat sembarangan disepanjang batang pohonnya, menjulur sekehendak hatinya ke segala arah. 10. Metodologi yang digunakan Dri beberapa penjelasan yang telah dikemukakan diatas bahwa tampak jelas metodologi yang digunakan Durkheim adalah positivistik. Ia mengumpulkan bukti berupa data – data empiris kuantitatif dari berbagai negara. Dari temuannya ternyata beberapa negara tertentu dengan jumlah angka bunuh diri menunjukkan angka yang stabil ( misalnya Perancis ) dan negara yang memiliki angka sakit jiwa paling tinggi Norwegia justru tidak menunjukkangn angka bunuh diri yang signifikan. Tampak teori yang disampaikan Durkheim didukung oleh fakata – fakta empiris yang kongret seperti itu. Bahwa teori yang telah dicetuskan itu sangat jelas berdasarkan kajian positivistic dan empirical. Pada level ini Durkheim boleh dikategorikan sebagai pemikir post positivistic pada jamannya. Meskipun demikian sebagai karya ilmiah, teori-teori Emile Durkheim akan selalu menampakkan dua sisi bersebarangan yakni berupa keunggulan disatu sisi sekaligus sisi kelemahnnya. Kelemahan teori Durkheim tampak dari kekurang tajaman analisisnya tentang kondisi psikologi yang ia katakana dapat mempengaruhi pola budaya sekelompok masyarakat, dan kaitan antara budaya dengan struktur social suatu masyarakat. Dalam realitas kekinian, perkembangan masyarakat modern tidak hanya linier, tetapi lebih dari itu, dapat bersifat siklus dan holistic. 11. Ada Dalam mazhab mana Dari penjelasan di atas teori – teori dan pemikiran Durkheim ada pada mazhab Galilean, yang menyatakan kebenaran berdasarkan scientific ( empiris ) berdasarkan panca indra. 12. Posisi Teori Dalam Perdebatan Body vs. Mind Posisi Teori Emile Durkheim sudah masuk pada tataran body. Hal ini dapat dicermati dari penjelasan Durkheim yang mengatakan bahwa gejala-gejala social yang ada dalam kehidupan masyarakat itu bukan semata-mata hanya ide dari manusia untuk membentuk nilai atau norma- melainkan kehidupan merupakan perkembangan dari gagasan-gagasan yang tidak hanya bisa dipahami sebagai realitas eksternal, tetapi juga dapat menyentuh perasaan moral individual. 13. Posisi Teori Dalam Paradigma Ilmu Sosial Posisi Teori Durkheim dalam paradigm ilmu social masuk pada paradigm fakta social. Hal ini sangat nyata tampak dari konsep teorinya yang terkenal tentang “jiwa kelompok” yang dapat mempengaruhi kehidupan individu. Dalam pandangan Durkheim, kesadaran kolektif dan kesadaran individual itu sangat berbeda sebagaimana perbedaan antara kenyataan social dengan kenyataan psikologis murni. Masyarakat terbentuk bukan karena sekedar kontrak social, melainkan lebih dari itu atas dasar kesadaran kelompok (collective consciousness). Setidaknya dijumpai dua sifat kesadaran kolektif, yakni exterior dan constraint. Exterior merupakan kesadaran yang berada diluar individu, yang sudah mengalami proses internalisasi kedalam individu dalam wujud aturan-aturan moral, agama, nilai (baik-buruk-, luhur-mulai), dan sejenisnya. Constraint adalah keasadaran kolektif yang memiliki daya ‘paksa’ terhadap individu, dan akan mendapat sanksi tertentu jika hal itu dilanggar. Ada dua tipe constraint yang ia sebutkan yakni : a) represif dan b) restitutif. Dengan begitu kesadaran kolektif itu tidak lain adalah consensus masyarakat yang mengatur hubungan social 14. Posisi Teori Dalam Spektrum Individualisme vs. Strukturalisme Fenomena social yang dipertanyakan Durkheim telah mendapat jawaban bahwa manusia dalam sifatnya yang constraint akan bersangkut paut dengan dua sifat aturan , yakni restitutif dan represif. Aturan represif berada dalam lingkup segmen seperti keluarga, klan, atau marga. Aturan itu pada hakekatnya merupakan manifestasi dari kesadaran kolektif untuk menjamin kehidupan yang teratur dan baik, yang sifatnya mekanistik. Oleh karena itu kesadaran semacam ini disebut juga sebagai solidaritas mekanis. Disisi lain Durkheim juga mengakui bahwa akibat adanya dinamika masyarakat, maka masyarakat homogeny semacam itu akan mengalami perkembangan. Pecahnya kesatuan masyarakat yang semula homogen itu sebagai akibat perkembangan pembagian kerja social, telah mendorong individu-individu warga masyarakat menjadi lebih bersifat otonom. Dari kondisi ini timbulah aturan-aturan baru yang berlaku bagi para individu-invidu otonom itu, misalnya aturan bagi para dokter, para guru, buruh atau pekerja, konglomerat dan sebagainya yang bersifat restitutif. Lebih lanjut kemandirian akibat pembagian kerja social itu timbulah kesadaran individual yang lebih mandiri, tetapi sekaligus menjadi tergantung antara satu sama lainnya, karena masing-masing invidu tersebut hanyalah merupakan bagian dari suatu system pembagian kerja social yang integrated dan lebih makro. Dengan begitu terjadilah pergeseran ikatan solidaritas dari solidaritas yang bersifat mekanis menjadi solidaritas yang bersifat organic. 15. Posisi Teori Dalam Metodologi Ilmu Sosial Menjadi semakin jelas bahwa teori social yang dikemukakan oleh Durkheim berbasis pada teori positivisme yang bertumpu pada data empiris. Seperti yang dicontohkan dalam analisisnya tentang kasus bunuh diri. Diyakini bahwa manusia bunuh diri bukanlah akibat dari penyakit kejiwaan seperti yang selama ini dikatakan dalam teori psikologi, juga bukan akibat imitasi atau alkoholisme. Tetapi kasus bunuh diri haruslah dipelajari dengan menghubungkan struktur social masyarakat yang bersangkutan. Metode yang digunakan Durkheim adalah metode positivism dengan mengumpulkan bukti berupa data-data empiris kuantitatif dari berbagai Negara. Dari temuannya ternyata beberapa Negara tertentu jumlah angka bunuh diri menunjukkan angka yang stabil (misalnya Perancis) dan negara yang memiliki angka sakit jiwa paling tinggi (Norwegia) justru tidak menunjukkan angka bunuh diri yang signifikan. Tampaklah bahwa hamper semua teori yang dirumuskan oleh Durkheim didukung oleh fakta-fakta empiris yang konkret seperti itu. Bahwa teori yang telah dicetuskan itu sangat jelas berdasarkan kajian positivistic dan empirical. Pada level ini Durkheim boleh dikategorikan sebagai pemikir post positivistic pada jamannya. Meskipun demikian sebagai karya ilmiah, teori-teori Emile Durkheim akan selalu menampakkan dua sisi bersebarangan yakni berupa keunggulan disatu sisi sekaligus sisi kelemahnnya. Kelemahan teori Durkheim tampak dari kekurang tajaman analisisnya tentang kondisi psikologi yang ia katakana dapat mempengaruhi pola budaya sekelompok masyarakat, dan kaitan antara budaya dengan struktur social suatu masyarakat. Dalam realitas kekinian, perkembangan masyarakat modern tidak hanya linier, tetapi lebih dari itu, dapat bersifat siklus dan holistic. 16. Bias Yang Terkandung Dalam Teori-teori Durkheim Tidak disangsikan lagi bahwa Durkheim adalah penganut positivism sejati. Padahal menurut Michael Polanyi (1996) dalam bukunya yang berjudul Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan menyatakan bahwa pemahaman mengenai realitas manusia tidak selamanya bisa diukur secara kuantitatif, banyak ilmu pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan dengan metode-metode pengukuran justru merupakan hakekat dari fakta. Pandangan Durkheim juga bertentangan dengan pemikiran Popper yang menolak paham positivism. Bagi Popper positivism hanya mendasarkan diri pada criteria dapat tidaknya suatu teori dibenarkan secara empiris. Popper tidak yakin dengan hasil pengamatan, dan ia menunjuk buktinya dengan observasi angsa putih. Dalam observasi ini Popper menunjukkan berapapun jumlah angsa itu tidak bisa disimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih, karena dengan satu kali observasi saja terhadap kenyataan angsa yang berbulu oranye atau hitam bisa menyangkal pendapat itu.

FENOMENA ROB DI SEMARANG DALAM PENDEKATAN GEOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semarang, Ibukota Propinsi dari Jawa Tengah yang dikenal dengan sebutan kota ATLAS. Kota semarang mempunyai letak geografis yang sangat menarik, Semarang mempunyai pantai sekaligus dataran tinggi, kondisi yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain di Indonesia. Kita dapat melihat pantai dari ketinggian di kota perbukitan semarang atas, yang dapat ditempuh hanya dalam waktu 15 menit dari pantai menuju perbukitan. Pusat Kota Semarang sendiri berada di sekitar simpang lima, kota ini mempunyai pelabuhan tanjung emas. Fenomena Kota Semarang yang unik terdiri dari kota atas dan kota bawah, serta mengalir sembilan sungai besar dan beberapa sungai kecil. Kota atas rawan terjadi tanah longsor, sedangkan kota bawah terjadi banjir yang disebabkan curah hujan yang tinggi pada musim penghujan dan banjir yang disebabkan luapan air laut (Genangan rob dapat berlangsung berhari-hari, bahkan satu minggu terus menerus dengan tinggi genangan bervariasi dengan adanya gaya grafitasi dimana air akan mengalir ke daerah yang paling rendah dan mengisi seluruh ruang yang ada pada bagian yang lebih rendah. Fenomena alam inilah yang menyebabkan air laut menggenangi beberapa tempat rendah pada kawasan pantai Kota Semarang (Ali, 2010 : 3-4). Faktor utama penyebab rob adalah isu pemanasan global (Global warming) dan terjadinya penurunan muka tanah (Land subsidence). Rob merupakan bencana dominan yang terdapat di kawasan pesisir. ). Rob adalah banjir yang terjadi akibat pasang surut air laut menggenangi lahan/kawasan yang lebih rendah dari permukaan air laut rata-rata (mean sealevel). Banjir pasang dalam pengertian disini adalah merupakan perluasan dari sisi kanan dan sisi kiri dari sungai-sungai yang bermuara ke laut atau dekat dengan daerah pantai dan sering tergenang pada waktu terjadinya pasang naik (Gerrald dalam Sukaimah, 2002). Sedangkan menurut Anonimus dalam Sukaimah (2002), rob adalah peristiwa masuknya air laut ke darat yang terjadi pada waktu air laut pasang. Banjir merupakan bencana yang dapat memberikan ancaman serius terhadap penduduk, terutama mereka yang menempati bantaran sungai-sungai besar atau tinggal di daerah dataran rendah atau (ledokan) serta di wilayah pesisir. Lockwood dalam Sukaimah (2002) mendefinisikan banjir sebagai meluapnya air sungai yang menggenangi daerah yang rendah terutama di sekitar sungai luapan sungai terjadi karena karena adanya debit sungai yang besar, sehingga kapasitas saluran tidak mampu menampung debit air yang ada atau dengan kata lain kapasitas tampung sungai terlampaui. Untuk kawasan pantai keadaan pasang naik air laut sangat mempengaruhi terjadinya banjir. Jenis banjir akibat pasang surut ini yang akan dikaji lebih jauh. Faktor relief atau tinggi rendahnya kawasan daratan dan sistem drainase berpengaruh terhadap daratan dalam terjadinya rob pada saat terjadi pasang naik. Hal ini mengakibatkan wilayah pesisir Demak menjadi pelanggan tetap banjir rob. Efek atau dampak yang timbul dari rob pada kawasan pesisir antara lain : rumah dan jalan setapak pada kawasan pemukiman akan mudah rusak, terganggunya transportasi, perubahan tata guna lahan, serta pengkorosian semua pipa-pipa PDAM sehingga ketersediaan air bersih akan terganggu (Khristian, 2003) Pada kawasan pantai Kota Semarang sering terjadi banjir akibat dari pasang surut air laut, yang terkenal dengan banjir rob. Banjir rob menggenangi bagian daratan pantai atau tempat yang lebih rendah dari muka air laut pasang tinggi (high water level). Banjir melanda bukan hanya setiap tahun, di daerah-daerah tertentu banjir ini malah menjadi permanen. Air yang kotor karena tidak mengalir pun menjadikan masalah baru. Bukan tanpa usaha, pemerintah kota semarang berusaha mengatasi banjir rob ini dengan membuat sebuah polder/ danau buatan di depan stasiun tawang untuk mengurangi banjir rob tersebut dengan memompa air ke dalam polder buatan itu, peninggian tanggul sungai pun dilakukan. Rob atau banjir air laut merupakan permasalahan yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari muka air laut. Di Semarang permasalahan rob ini telah terjadi cukup lama dan semakin parah karena terjadi penurunan muka tanah sedang muka air laut meninggi sebagai akibat pemanasan suhu bumi. Rob menjadi permasalahan di kota-kota seperti Semarang, Jakarta serta kota-kota yang berada di Pantura Jawa dan akan menjadi permasalahan besar dikemudian hari sejalan dengan pemanasan suhu dunia dan tidak terkendalinya penyedotan air tanah sehingga muka tanah turun. Berdasarkan kondisi eksisting, Kota Semarang sangat sering dilanda banjir rob. Hampir setiap hari menjelang malam, genangan air selalu terjadi dibeberapa daerah sebagai akibat dari banjir rob, bahkan sampai saat ini belum ada upaya penanganan yang sesuai untuk permasalahan ini dan beban pembangunan yang merambah wilayah pesisir juga semakin besar sehingga penurunan muka tanah di darat juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya banjir rob (Kodoatie, 2003). Daerah yang beresiko terhadap banjir rob yaitu wilayah pesisir Kota Semarang yang meliputi enam kecamatan yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari, Semarang Timur, Genuk dengan prediksi dan asumsi kenaikan air laut pada tahun 2050 nanti dan penurunan muka tanah sebesar 2-3 cm tiap tahun (Muhrozi, 2004). Banjir rob menggenangi daerah semarang utara, mulai dari terminal terboyo, genuk, Stasiun Tawang, Jalan Hasanudin, Jalan M.T. Haryono, Jalan Kakap, Jalan Tanah Mas, hingga kawasan kota lama bahkan kini sampai ke daerah Citarum dan Dr Cipto. Penurunan permukaan tanah akibat penggunaan air tanah, tidak adanya hutan kota yang bisa menyerap air dan semakin tingginya permukaan air laut menjadi alasan utama banjir rob ini hingga saat ini belum terselesaikan. Rumah warga maupun jalan disana pun sudah ditinggikan berkali-kali, namun ketinggian genangan air rob yang setiap tahun bertambah mebuat usaha warga sepertinya sia-sia. Genangan yang meninggi ketika air laut pasang ditambah air hujan semakin mebuat banjir rob menjadi-jadi. Bukan tak mungkin apabila tidak ada solusi dan area banjir rob semakin meluas maka akan membuat seluruh kota semarang yang berada di semarang bawah akan terkena banjir dan menjadi banjir rob seumur hidup bagi warga semarang. Kerugian secara material berupa macetnya sendi-sendi ekonomi hingga penyakit akibat banjir pun tidak dapat dihindari. Kondisi Kota Semarang yang memiliki topografi unik yaitu daerah perbukitan, dataran rendah, dan pantai dengan kombinasi sungai-sungai yang dimilikinya menyebabkan penanganan drainase Kota Semarang terbagi dalam dua karakteristik wilayah yaitu wilayah atas dan wilayah bawah (Nurhajarini, 2009: 418-419). Kawasan pantai Semarang memiliki empat Kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut Jawa, yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, dan Genuk. Kawasan pantai Semarang memiliki dua puluh Kelurahan, delapan Kelurahan mengalami banjir rob paling parah, dimana tiga Kelurahan yang mengalami banjir rob paling parah tersebut berada di Kecamatan Semarang Utara, yaitu Bandarharjo, Tanjung Mas, dan Panggung Lor (Suryanti, 2008: 339). Masalah rob kawasan Semarang Utara di perparah juga oleh adanya banjir yang diakibatkan oleh air hujan dan banjir kiriman dari daerah yang lebih tinggi, hal ini di karenakan sistem drainase yang ada di kawasan Semarang Utara belum berjalan secara optimal (Ali, 2010: 4). Rob di Kota Semarang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari luas genangan rob yang terus meningkat. Hasil penelitian (Bakti, 2010: 62) luas genangan rob di Kota Semarang selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) diprediksi terjadi kenaikan 76,8 hektar/tahun, sedangkan di Kota Semarang wilayah utara selama tiga tahun (2007-2010) terjadi kenaikan 186 hektar/tahun .Kelurahan Bandarharjo yang terletak di Kecamatan Semarang Utara termasuk Kelurahan yang paling parah terkena dampak rob, hal ini dibuktikan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit dan tingkat kerusakan infrastruktur yang paling tinggi. Kelurahan Bandarharjo di kelilingi dua sungai yaitu Kali Semarang dan Kali Baru yang merupakan dua diantara tiga sungai pintu utama masuknya rob di Kota Semarang. Banjir rob telah menyebabkan dampak terhadap gangguan fisik, sosial ekonomi dan lingkungan. Dampak terhadap bidang sosial ekonomi antara lain, pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, kesehatan, dan transportasi. Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai banjir rob yang melanda Kota Semarang yang kini menjadi banjir permanen. Banjir rob yang makin meluas secara keruangan membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat dalam berbagai bidang. Maka penulis mencoba mengkaji fenomena rob di Semarang ini dari perspektif geografi dengan menggunakan tiga pendekatan geografi yaitu pendekatan keruangan, lingkungan, kompleksitas untuk menganalisa fenomena rob di Semarang tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana fenomena rob di Semarang dilihat melalui pendekatan keruangan ? 2. Bagaimana fenonema rob di Semarang dilihat melalui pendekatan lingkungan ? 3. Bagaimana fenomena rob di Semarang dilihat melalui pendekatan kompleksitas ? 1.3 Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai baerikut : 1. Untuk memahami dan menganalisa fenomena rob di Semarang melalui pendekatan keruangan . 2. Untuk memahami dan menganalisa fenomena rob di Semarang melalui pendekatan lingkungan. 3. Untuk memahami dan menganalisa fenomena rob di Semarang melalui pendekatan kompleksitas. BAB II PEMBAHASAN Kota Semarang sebagai ibukota propinsi Jawa Tengah merupakan sebuah kota yang setiap tahun mengalami perkembangan dan pembangunan yang begitu pesat. Akibat dari pesatnya pembangunan ini maka semakin banyak lahan yang tertutup jalan dan bangunan lainnya, sehingga air yang meresap ke dalam tanah berkurang. Banjir dan rob (air laut pasang) merupakan masalah yang sering melanda kota Semarang. Kota Semarang dengan kondisi topografi yang datar dan rendah di wilayah utara dan yang berupa pegunungan di wilayah selatan menjadikan salah satu penyebab banjir di Semarang. Pada musim penghujan, banjir lebih sering disebabkan oleh banjir kiriman yang terjadi karena lahan hulunya menerima hujan besar yang mengalir ke daerah hilirnya. Sedangkan pada musim kemarau, banjir lebih disebabkan oleh adanya air laut pasang yang lebih populer disebut rob. Banjir rob adalah banjir akibat muka air laut sama dengan atau bahkan melebihi tinggi elevasinya terhadap suatu daerah, sehingga pada waktu pasang terjadi genangan, baik di aliran sungai maupun pada daerah rendah. Rob atau banjir air laut adalah banjir yang diakibatkan oleh air laut yang pasang yang menggenangi daratan, merupakan permasalahan yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari muka air laut. Di Semarang permasalahan Rob ini telah terjadi cukup lama dan semakin parah karena terjadi penurunan muka tanah sedang muka air laut meninggi sebagai akibat pemanasan suhu bumi. Banjir rob merupakan bencana yang muncul berkaitan dengan siklus gerak bulan. Dengan demikian banjir ini berulang bulanan. Daerah yang terkena bencana ini adalah dataran pantai di daerah pesisir yang rendah atau daerah rawa-rawa pantai. Genangan banjir ini dapat diperkuat dengan banjir karena curah hujan. Jadi, banjir ini dapat terjadi lebih hebat di saat musim hujan (Kodoatie, 2003). Kota Semarang merupakan salah satu kota pesisir di Indonesia. Berdasarkan kondisi eksisting, kota Semarang sangat sering dilanda banjir rob. Hampir setiap hari menjelang malam, genangan air selalu terjadi dibeberapa daerah sebagai akibat dari banjir rob, bahkan sampai saat ini belum ada upaya penanganan yang sesuai untuk permasalahan ini dan beban pembangunan yang merambah wilayah pesisir juga semakin besar sehingga penurunan muka tanah di darat juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya banjir rob (Kodoatie, 2003). Banjir dan rob yang menerjang kawasan Semarang dan sekitarnya, terutama kawasan pesisir, tentu bukan hal yang asing bagi kita. Sudah sedari jaman penjajahan Belanda usaha pengendalian terhadap banjir dan rob dilakukan. Mulai dari meninggikan badan jalan hingga pengerukan sungai. Namun berbilang tahun dan berganti pula tampuk kepemimpinan belum menjadikan adanya perubahan yang berarti terhadap kondisi mengenaskan tersebut. Rob menjadi permasalahan di kota-kota seperti Semarang, Jakarta serta kota-kota yang berada di Pantura Jawa dan akan menjadi permasalahan besar dikemudian hari sejalan dengan pemanasan suhu dunia dan tidak terkendalinya penyedotan air tanah sehingga muka tanah turun. Wilayah Semarang Utara merupakan daerah yang rawan terhadap rob. Terletak di kawasan pantai Semarang yang secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, sebelah barat oleh Banjir Kanal Barat, sebelah selatan oleh wilayah Kecamatan Semarang Tengah dan jalan rel KA Stasiun Tawang, dan sebelah timur oleh Banjir Kanal Timur dan wilayah Kecamatan Semarang Timur. Kota Semarang bagian utara memiliki beberapa daerah yang rawan terhadap rob, karena rata-rata ketinggian muka air tanahnya tidak berbeda jauh dengan permukaan air laut. Genangan ini tidak hanya terjadi pada saat musim hujan, melainkan juga terjadi pada saat tidak turun hujan yaitu akibat rob atau pasang air laut. Air pasang tersebut dapat menggenang akibat adanya kontak dengan daratan melalui sungai atau saluran yang bermuara ke pantai. Dimensi saluran yang tidak memadai untuk menampung debit air hujan, air buangan kota, dan air pasang yang masuk ke sungai menyebabkan air melimpah ke daratan. Genangan yang terjadi di daerah yang tidak produktif tidak menimbulkan masalah, tetapi untuk daerah yang produktif dapat menimbulkan kerugian. Hingga kini banjir dan rob sepanjang tahun masih menjadi tema yang “ngangkat” untuk dibicarakan dalam mengupas perkembangan Kota Semarang. Memang Kota Semarang identik dengan kata banjir dan rob karena memang letaknya yang lebih rendah dari laut, sehingga derita akibat banjir dan rob menjadi makanan sehari-hari warga yang bermukim didaerah tersebut. Sebagai contoh wilayah yang paling parah terkena bencana rob yaitu Bandarharjo. Kampung ini di huni oleh manyarakat yang masyoritasnya berpendapatan rendah dan berkerja sebagai buruh, nelayan dan lain-lain. Kampung ini tiap harinya selalu terkena rob ,sehingga pada waktu air laut pasang permukiman di sekitar kawasan Bandarharjo terkena banjir rob. kondisi rumah yang selalu tergenang banjir rob membuat warga berinisiatif melakukan kenaikan lantai rumah masing-masing dengan biaya sendiri dan warga yang tidak mampu melakukan rekontruksi rumahnya jika banjir rob datang terpaksa mengungsi ke rumah tetangga atau mereka tetap bertahan dengan kondisi apa adanya.mungkin agak miris karena pemerintah belum melakukan solusi yang terbaik buat warga, adapun rumah susun yang dibangun tidak mampu menampung masyarakat yang terkena banjir rob, rumah yang tergenang banjir rob. Rumah yang di urug dengan tanah warga melakukan inisiatif kerja bakti untuk melakukan pembenahan kampungnya namun hal ini terhambat oleh dana yang sangat minim. Keadaan seperti ini sangat berdampak pada kondisi sosial mereka, hampir 60% pemuda warga di sekitar kelurahan bandarharjo menjadi pengaguran, jika mereka berkerja hanya mengunakan sistem kontrak oleh perusahaan dengan waktu hanya bulanan karena perusahaan pun juga tidak mau rugi, sepercik harapan di wajah masyarakat pun terlihat ketika saya melakukan wawancara dengan meraka, yang mereka inginkan adalah bantuan untuk memperbaiki rumah mereka dan banjir rob tidak masuk ke pemukiman mereka lg dan jika adapun solusi pemerintah ingin memindahkan tempat tinggal mereka jangan jauh-jauh dari permukiman mereka Karena rata-rata dari mereka berkerja di sekitar tempat tinggal mereka . Prasarana pendidikan yang terkena banjir rob sangat menganggu, halaman sekolah yang tergenang oleh air rob juga sangat menganggu aktivitas para siswa, dibutuhkan dana yang cukup besar karena untuk menaikkan permukaan tanah agar banjir rob tidak masuk kehalaman sekolah. Mereka terpaksa menghuni rumah yang terendam air meskipun tak layak huni karena mereka tak punya pilihan lain. Genangan air pun sudah menjadi bagian hidup dari warga. Berikut ini beberapa daerah di Kecamatan Semarang Utara yang tergenang banjir akibat pasang air laut dapat dilihat dalam Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Daerah yang Tergenang Banjir Rob No Kelurahan Kecamatan 1 2 3 4 5 Bandar Harjo Kuningan Panggung Lor Dadapsari Tanjung Mas Semarang Utara Semarang Utara Semarang Utara Semarang Utara Semarang Utara Sumber : DPU Pengairan Kota Semarang Semua daerah yang tergenang banjir akibat pasang air laut berada disepanjang tepi Banjir Kanal Barat, Banjir Kanal Timur, Kali Semarang, Kali Asin, dan Kali Baru. Banjir akibat pasang air laut ini biasanya terjadi sepanjang tahun dan menggenangi Kota Semarang bagian pesisir, diantaranya adalah wilayah Kelurahan Bandarharjo yang dilalui oleh dua sungai, yaitu Kali Semarang dan Kali Baru. Penanggulangan sudah pernah dilakukan oleh Pemkot maupun lembaga yang peduli dengan kondisi ini. Untuk program pengendalian banjir, Pemkot sudah merealisasikan paket pembangunan Waduk Jatibarang, normalisasi Kaligarang-Banjirkanal Barat, normalisasi Kali Semarang-Kali Asin-Kali Baru yang menelan toal dana Rp 1,7 triliun. (dalam Suara Merdeka, 28 Januari 2010). Daerah yang beresiko terhadap banjir rob yaitu wilayah pesisir Kota Semarang yang meliputi enam kecamatan yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari, Semarang Timur, Genuk dengan prediksi dan asumsi kenaikan air laut pada tahun 2050 nanti dan penurunan muka tanah sebesar 2-3 cm tiap tahun (Muhrozi, 2004). Dari uraian di atas betapa diperlukan beberapa pendekatan terpadu untuk menganalisis fenomena rob tersebut agar diperoleh solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Sehingga nantinya dampak yang ditimbulkannya menjadi sangat minimal atas fenomena tersebut. Salah satu yang akan saya kupas dalam makalah ini adalah memahami fenomena ini melalui perspektif geografi dengan 3 pendekatannya yaitu pendekatan keruangan, pendekatan lingkungan, dan pendekatan kompleksitas. 2.1 Pendekatan Keruangan. Pendekatan geografi dapat diartikan sebagai suatu metode atau cara (analisis) untuk memahami berbagai gejala dan fenomena geosfer, khususnya interaksi antara manusia terhadap lingkungannya . Setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu kejadian. Fenomena atau kejadian yang sama dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. . Pendekatan Keruangan (Spatial Approach) menyatakan bahwa setiap tempat di permukaan bumi mempunyai ciri-ciri khusus dimana dapat dibedakan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Oleh karena itu, Konsep Ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan tempat hidup tumbuhan, hewan, dan manusia. Pendekatan keruangan adalah menganalisis gejala atau fenomena geografis berdasarkan penyebarannya dalam ruang. Analisis keruangan merupakan pendekatan yang khas dalam geografi, sebab merupakan studi tentang keanekaragaman ruang muka bumi dengan membahas masing masing aspek-aspek keruangannya. Aspek - aspek ruang muka bumi meliputi faktor lokasi, kondisi alam, dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Dalam mengkaji aspek-aspek tersebut, seorang ahli geografi sangat memperhatikan faktor letak, distribusi (persebaran), interrelasi serta interaksinya. Pendekatan keruangan dari namanya dapat dijelaskan bahwa pendekatan ini akan menekankan pada keruangan. Pendekatan ini juga mendasarkan pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti perbedaan struktur, pola, dan proses. Pada fenomena banjir rob di Semarang ini untuk mempermudah memahaminya maka dilakukan dengan pertanyaan 5W 1H seperti di bawah ini : a. Pertanyaan What (apa) Pertanyaan ini untuk mengetahui jenis fenomena alam yang terjadi. Dari latar belakang yang sudah ditulis di atas sudah jelas fenomena yang terjadi adalah fenomena banjir rob yang melanda Kota Semarang terutama yang ada di kawasan Semarang Utara. Rob adalah banjir yang terjadi akibat pasang surut air laut menggenangi lahan/kawasan yang lebih rendah dari permukaan air laut rata-rata (mean sealevel). Dalam pengertian lain banjir rob ini sendiri diartikan banjir yang terjadi akibat muka air laut sama dengan atau bahkan melebihi tinggi elevasinya terhadap suatu daerah, sehingga pada waktu pasang terjadi genangan, baik di aliran sungai maupun pada daerah rendah. Banjir pasang dalam pengertian disini adalah merupakan perluasan dari sisi kanan dan sisi kiri dari sungai-sungai yang bermuara ke laut atau dekat dengan daerah pantai dan sering tergenang pada waktu terjadinya pasang naik (Gerrald dalam Sukaimah, 2002). Sedangkan menurut Anonimus dalam Sukaimah (2002), rob adalah peristiwa masuknya air laut ke darat yang terjadi pada waktu air laut pasang. Pada bulan April dan Mei merupakan musim pancaroba peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau, sedangkan pada bulan Juni merupakan musim kering. b. Pertanyaan When (kapan) Pertanyaan ini mengandung maksud kapan fenomena rob itu terjadi. Fenomena. Fenomena rob dapat berlangsung berhari-hari, bahkan satu minggu terus menerus dengan tinggi genangan bervariasi dengan adanya gaya grafitasi dimana air akan mengalir ke daerah yang paling rendah dan mengisi seluruh ruang yang ada pada bagian yang lebih rendah. Fenomena alam inilah yang menyebabkan air laut menggenangi beberapa tempat rendah pada kawasan pantai Kota Semarang (Ali, 2010 : 3-4). Rob yang terjadi setiap hari umumnya di waktu pagi mulai jam 05.00 WIB, pada waktu siang hari jam 13.00 WIB, atau pada malam hari jam 22.00 WIB. Rob yang terjadi setiap hari dengan tinggi genangan 05-15 cm dan lama genangan 2-4 jam . Pasang air laut tertinggi terjadi setiap tanggal 1 dan 15 (saat bulan mati dan bulan purnama) posisi bulan-bumi-matahari berada pada satu garis lurus sehingga gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling memperkuat maka dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang air laut terendah terjadi sekitar tanggal 7 dan 21, dimana bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi maka gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling mengurangi sehingga tinggi pasang yang terjadi lebih kecil dibanding dengan hari-hari yang lain, maka akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pasa saat bulan ¼ dan ¾. Hasil penelitian yang pernah dilakukan di Kelurahan Bandarharjo dan beberapa wilayah di Semarang Utara menunjukkan bahwa. Jika dikelompokkan menurut waktu terjadinya bisa dibagi menjadi 4 yaitu (1) Rob harian dengan ketinggian genangan 05-15 cm dan lama genangan 2-4 jam, (2) Rob di musim hujan dan terjadi hujan kiriman (Desember, Januari, Pebruari) dengan ketinggian 40-100 cm dan lama genangan 6-12 jam (3) Rob puncak yang terjadi pada bulan (April, Mei, Juni) dengan ketinggian 20-60 cm dan lama genangan 4-8 jam (4) Rob yang terjadi di musim pancaroba (Oktober 2010) dengan ketinggian 65 cm dan lama genangan 10 jam. c. Pertanyaan Where ( di mana ) Untuk memahami fenomena rob ini perlu dilakukan batasan ruangan yang jelas. Rob yang di Semarang terjadi Daerah yang beresiko terhadap banjir rob yaitu wilayah pesisir Kota Semarang yang meliputi enam kecamatan yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari, Semarang Timur, Genuk dengan prediksi dan asumsi kenaikan air laut pada tahun 2050 nanti dan penurunan muka tanah sebesar 2-3 cm tiap tahun (Muhrozi, 2004). Kelurahan yang mengalami banjir rob paling parah tersebut berada di Kecamatan Semarang Utara, yaitu Bandarharjo, Tanjung Mas, dan Panggung Lor, Kuningan, dan Dadhap Sari (Suryanti, 2008: 339). Tetapi kini daerah yang terkena fenomena banjir rob semakin meluas yaitu sampai ke daerah Citarum dan Dr Cipto. pencemaran air Luas wilayah yang tergenang rob di Kota Semarang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari luas genangan rob yang terus meningkat. Hasil penelitian (Bakti, 2010: 62) luas genangan rob di Kota Semarang selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) diprediksi terjadi kenaikan 76,8 hektar/tahun, sedangkan di Kota Semarang wilayah utara selama tiga tahun (2007-2010) terjadi kenai kenaikan 186 hektar/tahun d. Pertanyaan why Pertanyaan ini untuk menjawab mengapa fenomena rob itu terjadi. Sementara itu proses terjadinya banjir rob sendiri pada dasarnya dikarenakan oleh faktor antroposentrik, faktor alam dan faktor teknis. Faktor antroposentrik adalah aktivitas dan perilaku manusia yang lebih cenderung mengakibatkan luasan banjir semakin meningkatnya. Beberapa faktor antroposentrik yang juga merupakan faktor non teknis penyebab banjir pada kota Semarang, yaitu pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, misalnya terjadinya perubahan tata guna lahan pada daerah–daerah lindung seperti daerah perbukitan dan daerah pegunungan sehingga menimbulkan problem peningkatan run–off dan banjir kiriman. Sedangkan pembangunan ke arah pantai dengan reklamasi menyebabkan luasan rawa menjadi berkurang sehingga mengakibatkan luasan tampungan air sementara juga berkurang. Perkembangan lahan terbangun suatu kota diakibatkan oleh jumlah penduduk dan kegiatan-kegiatan kota seperti perumahan, perkantoran, perdagangan, perindustrian dan lain-lain sehingga meningkatkkan kebutuhan terhadap air tanah. Kedua fenomena tersebut menimbulkan kecenderungan perubahan daya dukung sumber daya air tanah, sedangkan di pihak lain terjadi penurunan volume/debit pengisian kembali air tanah. Selain itu penyadapan/pengambilan air tanah secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengisian kembali air tanah yang seimbang menyebabkan penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah ini dapat menyebabkan amblesnya permukaan tanah dan intruisi air laut (Asdak, 1995: 243,249). Pemompaan air tanah yang berlebihan tanpa memperhatikan kemampuan pengisian kembali dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah (Kodoatie, 1995: 103). Terjadinya penurunan muka tanah mengakibatkan permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan tanah, kejadian ini dikenal dengan banjir pasang air laut (rob). Disamping itu perilaku dan aktivitas manusia yang menghasilkan gas buang karbondioksida (CO2) yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil dan chloroflourocarbon (CFC) dari kulkas, sprayer kemasan kaleng serta AC dapat mengakibatkan terjadinya penipisan pada lapisan ozon, karena kedua gas buang itu mengeluarkan atom yang merusak molekul ozon di atmosfer. Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan global, sehingga menyebabkan lapisan es di Kutub Utara dan di Antartika mencair. Akibatnya, permukaan air laut global naik. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan sebagian pulau dan tempat rendah di permukaan bumi terendam . Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Buddin A. Hakim seorang Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang menyatakan bahwa faktor relief atau tinggi rendahnya kawasan daratan dan sistem drainase berpengaruh terhadap daratan dalam terjadinya rob pada saat terjadi pasang naik. Menurutnya fenomena banjir rob kawasan pantai Semarang merupakan akibat dari beberapa peristiwa berikut : • Perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai: lahan tambak, rawa dan sawah, yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya, dengan cara mengurug tambak, rawa dan sawah, sehingga air laut tidak tertampung lagi, kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari sekitar 790,5 Ha lahan di Kecamatan Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar 585 Ha lahan total di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 Ha lahan tambak (Bappeda, 2000). • Penurunan tanah di kawasan pantai (land subsidence). Penurunan muka tanah pada wilayah pantai Kota Semarang berkisar antara 2-25 cm/tahun. Khusus di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon emncapai 20 cm/tahun (Dit. Geologi dan tata Lingkungan, 1999) • Penurunan permukaan air tanah sebagai akibat dari penggunaan air tanah yang berlebihan, dan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk. Pengambilan air tanah Kota Semarang sebesar 35,639 x 106 M6/tahun (Dit. Geologi dan Tata Lingkungan, 1998). Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas di daerah pesisir mendorong adanya reklamasi pantai untuk pemukiman dan industri misalnya. Dengan bertambahnya konstruksi diatas permukaan tanah maka akan meningkatkan beban tanah semakin besar. Hal ini mendorong terjadinya penurunan permukaan tanah oleh beban konstruksi.. • Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai efek pemanasan global. Antara tahun 1990 hingga tahun 2100 akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 1,4 0C – 5,8 0C. Pemansan global itu akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) sekitar 1,00 M pada tahun 2100 (Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC-Working Group 2, 2001) Selain faktor – faktor di atas yang tak kalah penting adalah rusaknya hutan mangrove di pesisir Semarang juga memperparah fenomena rob yang ada di pesisir Semarang. Zaman dahulu Semarang daerah utara merupakan rawa dan hutan bakau. Rawa dan hutan bakau itu berfungsi menyerap limpahan air laut. Namun, kemudian tanah sekitar pantai dijadikan permukiman, kawasan industri, dan pariwisata. Rawa-rawa diuruk dan hutan bakau dibabat habis. Bahkan hutan bakau banyak yang dijarah oleh manusia. Akibatnya limpahan air laut tak tertampung dan membanjiri daratan. Sebenarnya bakau ini sebagai sabuk alami ( Barrier ) yang melindungi masuknya air laut ke daratan. Akar – akar pohon bakau yang mencuat di atas tanah dapat menahan hantaman ombak dari laut sehingga terhindar dari abrasi pantai e. Pertanyaan who Pertanyaan ini berkenaan dengan subyek atau pelaku yang menyebabkan terjadinya fenomena rob di Semarang ini terjadi. Faktor manusia atau antroposentrik merupakan aktivitas dan perilaku manusia yang lebih cenderung mengakibatkan luasan banjir rob semakin meningkat. Beberapa faktor antroposentrik yang juga merupakan faktor non teknis penyebab banjir rob pada kota Semarang, yaitu manusia yang melakukan pembangunan tidak berwawasan lingkungan, misalnya terjadinya perubahan tata guna lahan pada daerah–daerah lindung seperti daerah perbukitan dan daerah pegunungan sehingga menimbulkan problem peningkatan run–off dan banjir kiriman. Pemerintah sebagai pemegang lisensi ijin pendirian bangunan seharusnya lebih jeli dan melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku maupun perda yang berlaku. Kenyataannya banyak ijin sedemikian mudahnya keluar tanpa memperhatikan faktor keselamatan lingkungan. Hal ini jelas politik uang telah mereduksi peraturan yang ada. Pemerintah harus tegas. Jangan sampai karena keinginan kepentingan pribadi melupakan keselamatan lingkungan. Atau karena pendapatan ekonomi yang menjanjikan dari beberapa oknum membuat sebuah peraturan dan ijin bisa dikendalikan atas nama pribadi. Aturan yang ada sudah sangat bagus persoalannya adalah bagaimana aturan tSedangkan rsebut bisa tegas dan menghindari faktor kepentingan pribadi yang lagi – lagi merugikan rakyat. Pembangunan ke arah pantai oleh beberapa perusahaan atau oknum tertentu dengan reklamasi menyebabkan luasan rawa menjadi berkurang sehingga mengakibatkan luasan tampungan air sementara juga berkurang. Perkembangan lahan terbangun suatu kota diakibatkan oleh jumlah penduduk dan kegiatan-kegiatan kota seperti perumahan, perkantoran, perdagangan, perindustrian dan lain-lain sehingga meningkatkkan kebutuhan terhadap air tanah. Kedua fenomena tersebut menimbulkan kecenderungan perubahan daya dukung sumber daya air tanah, sedangkan di pihak lain terjadi penurunan volume/debit pengisian kembali air tanah. Selain itu penyadapan/pengambilan air tanah secara besar-besaran oleh beberapa perusahaan besar seperti PT KAI, PELINDO, ANGKASA PURA tanpa diimbangi dengan pengisian kembali air tanah yang seimbang menyebabkan penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah ini dapat menyebabkan amblesnya permukaan tanah dan intruisi air laut (Asdak, 1995: 243,249). Pemompaan air tanah yang berlebihan tanpa memperhatikan kemampuan pengisian kembali dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah (Kodoatie, 1995: 103). Terjadinya penurunan muka tanah mengakibatkan permukaan air laut lebih tinggi dari permukaan tanah, kejadian ini dikenal dengan banjir pasang air laut (rob ) Perilaku dan aktivitas manusia yang menghasilkan gas buang karbondioksida (CO2) yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil dan chloroflourocarbon (CFC) dari kulkas, sprayer kemasan kaleng serta AC dapat mengakibatkan terjadinya penipisan pada lapisan ozon, karena kedua gas buang itu mengeluarkan atom yang merusak molekul ozon di atmosfer. Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan global, sehingga menyebabkan lapisan es di Kutub Utara dan di Antartika mencair. Akibatnya, permukaan air laut global naik. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan sebagian pulau dan tempat rendah di permukaan bumi terendam . Perilaku manusia yang lain yang memperburuk banjir rob adalah kurang menjaga lingkungan. Kesadaran mereka terkadang masih rendah. Sampah masih tampak di sungai atau saluran air. Dibutuhkan masyarakat yang berwawasan lingkungan untuk mengurangi perluasan banjir rob ini. f. Pertanyaan How Pertanyaan ini digunakan untuk mengetahui proses terjadinya fenomena banjir rob di Kota Semarang. Sehingga jika diketahui proses terjadinya rob ini akan memudahkan dalam penanggulangan bencana rob yang ada di Kota Semarang. Banjir rob merupakan bencana yang muncul berkaitan dengan siklus gerak bulan. Dengan demikian banjir ini berulang secara bulanan. Daerah yang terkena bencana ini adalah dataran pantai di daerah pesisir yang rendah atau daerah rawa-rawa pantai. Genangan banjir ini dapat diperkuat dengan banjir karena curah hujan. Jadi, banjir ini dapat terjadi lebih hebat di saat musim hujan (Kodoatie, 2003). Pasang air laut harian yang terjadi di Laut Jawa menyebabkan di beberapa wilayah pesisir Semarang terjadi rob setiap hari. Rob yang terjadi setiap hari umumnya di waktu pagi mulai jam 05.00 WIB, pada waktu siang hari jam 13.00 WIB, atau pada malam hari jam 22.00 WIB. Rob yang terjadi setiap hari dengan tinggi genangan 05-15 cm dan lama genangan 2-4 jam . Fenomena rob yang paling parah terjadi pada saat pasang air laut tertinggi terjadi setiap tanggal 1 dan 15 (saat bulan mati dan bulan purnama) karena pada saat itu posisi bulan-bumi-matahari berada pada satu garis lurus sehingga gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling memperkuat maka dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang air laut terendah terjadi sekitar tanggal 7 dan 21, dimana bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi maka gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling mengurangi sehingga tinggi pasang yang terjadi lebih kecil dibanding dengan hari-hari yang lain, maka akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pasa saat bulan ¼ dan ¾. Pada bulan Oktober-April, matahari berada pada belahan langit Selatan, sehingga benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia. Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga di Indonesia terjadi musim penghujan. Curah Hujan di pulau Jawa termasuk pola Monsunal dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni, Juli, dan Agustus terjadi musim kering, sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rob bersamaan musim hujan di Kelurahan Bandarharjo dan beberapa wilayah pesisir di Semarang menyebabkan tinggi genangan 50-100 cm dengan lama waktu genangan 6-12 jam. Sumber informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) maritim Semarang menyebutkan bahwa puncak pasang air laut jawa yang menyebabkan rob tinggi merupakan siklus tahunan terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Juni. Pada bulan April dan Mei merupakan musim pancaroba peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau, sedangkan pada bulan Juni merupakan musim kering. Banjir rob yang terjadi di bulan oktober 2010 merupakan anomali bergesernya permulaan musim hujan yang disebabkan oleh fenomena global La Niña. Bulan oktober yang seharusnya musim pancaroba dari musim kemarau ke musim hujan telah terjadi curah hujan yang tinggi disebabkan La Niña yang menggangu sistem fasa dingin.La Nina menyebabkan penumpukan masa udara yang banyak mengandung uap air di atmosfir Indonesia, sehingga potensi terbentuknya awan hujan menjadi semakin tinggi. Akibatnya pada bulan-bulan di pertengahan tahun 2010 yang seharusnya berlangsung musim kemarau justru turun hujan deras di berbagai daerah. Hasil prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia seperti NOAA (USA), BOM (Australia), Jamstec (Jepang) menunjukkan adanya anomali suhu muka laut negatif. Pada bulan Agustus hingga September 2010 diprediksi terjadi fenomena La Nina moderat, sedangkan pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 akan terjadi fenomena La Nina kuat (BMKG, 23 September 2010). Dari fenomena alam adanya gaya gravitasi bulan yang menyebabkan muka air laut mengalami pasang jika daratan lebih rendah maka secara otomatis air laut ini akan masuk dan menggenangi daratan. Yang terjadi di pesisir Semarang daratan mengalami penurunan secara bertahap sehingga memperparah air laut yang masuk ke daratan. Penurunan daratan atau land subsidence antara lain pertama disebabkan karena faktor pemanfaatan lahan yang ada di pesisir untuk kawasan perumahan ataupun industri sehingga beban yang ada di atas permukaan tanah semakin berat. Kedua adanya eksploitasi air tanah secara berlebihan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan ini menyebabkan intrusi air laut di mana air laut masuk ke tanah di daratan. Hal ini terjadi karena pada saaat pengambilan air tanah air laut akan masuk untuk mengisi rongga – rongga tanah yang kosong. Banyak industri yang membuat sumur bor dan artesis tanpa izin atau izin gelap. Air bawah tanah dikuras secara berlebihan untuk kepentingan industri dan perkantoran. Volume air tanah berkurang drastis sehingga lapisan tanah di atasnya amblas, akibatnya permukaan air tanah semakin turun dan rob semakin meninggi dan meluas. 2.2 Pendekatan Lingkungan ( Ekologi ) Pendekatan ekologi adalah upaya dalam mengkaji fenomena geosfer khususnya terhadap interaksi antara organisme hidup dan lingkungannya. termasuk dengan organisme hidup yang lain. Di dalam analisis lingkungan geografi menelaah gejala interaksi dan interelasi antara komponen fisikal ( alamiah ) dengan non fisik ( sosial ). Pendekatan ekologi melakukan analisis dengan melihat perubahan komponen biotik dan abiotik dalam keseimbangan ekosistem suatu wilayah. Di dalam organisme hidup itu manusia merupakan satu komponen yang penting dalam proses interaksi, Oleh karena itu, muncul istilah ekologi manusia (human ecology) yang mempelajari interaksi antar manusia serta antara manusia dan lingkungan. Aktivitas manusia dalam kaitannya dengan inetarksi dalm ruang terutama terhadap lingkungannya mengalami tahan-tahapan sebagai berikut • Tahapan yang sangat sederhana yaitu manusia tergantung terhadap alam (fisis Determinisme). Manusia belum memiliki kebudayaan yang cukup sehingga pemenuhan kebutuhan hidup manusia dipenuhi dari apa yang ada di alam dan lingkungannya (hanya sebagai pengguna alam). Sehingga pada saat alam tidak menyediakan kebutuhannya maka di akan pindah atau mungkin punah (kehidupan jaman purba) • Manusia dan alam saling mempengaruhi. Manusia memanfaatkan alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan kemampuan alamnya, sehingga lingkungan alam rusak dan berakibat juga pengaruhnya terhadap manusia. Manusia sudah mampu mengurangi ketergantunggannya terhadap alam tapi manusia juga masih membutuhkan alam. • Manusia menguasai alam. Dengan berkembangnya ilmu, kemampuan, dan budayanya, manusia dapat memanfaatkan alam sebesar-besarnya. Contohnya dibuatnya mesin-mesin mengekploitasi alam yang sebesar-besarnya. Jika alam sudah tidak mampu lagi maka mesin -mesin digunakan untuk memproduksi bahan-bahan sintetis yang tidak bisa di buat alam. Untuk mempelajari fenomena rob di pesisir Kota Semarang dengan pendekatan kelingkunganan dapat diuraikan sebagai berikut : 2.2.1 Identifikasi Kondisi Fisik Wilayah Semarang bagian utara atau pesisir mempunyai kondisi topografi yang datar dan rendah . Daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat sempit, yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota bawah. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut (rob). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi (2003) daerah pesisir Semarang terdiri dari empat daerah dengan perbedaan morfologi, yaitu: area pantai dengan material pasir dan tanah liat, kombinasi dari sedimen alluvium dan hutan mangrove, sedimen alluvium dan lumpur, serta daerah reklamasi untuk pelabuhan dan kegiatan wisata. Jenis tanah di daerah pesisir Semarang yang merupakan tanah alluvium ini menyebabkan penurunan permukaan tanah menjadi semakin rawan. Struktur lapisan tanah penyusun wilayah studi merupakan tanah dengan daya dukung tanah yang sangat jelek sehingga sangat mempengaruhi tingkat penurunan muka tanah yang terjadi dan kebutuhan air bersih untuk kegiatan kota hampir 70%-90% menggunakan air tanah sehingga mempengaruhi pengambilan air tanah. Vegetasi atau jenis tanaman yang tersisapun memprihatinkan. Hutan bakau sebagai barrier antara laut dan darat banyak yang rusak. Dahulu Semarang utara merupakan daerah rawa dan hutan bakau yang berfungsi menyerap limpahan air laut. Namun karena wilayah hutan ini dijadikan pemukiman,kawasan industri, dan pariwisata. Rawa – rawa diuruk dan dan hutan bakau dibabat habis. Akibatny limpahan air laut tak tertampung dan membanjiri daratan. Jadi vegetasi yang tersisa kini memprihatinkan. Tetapi usaha beberapa LSM dan masyarakat yang kini menggalakkan penanaman bakau patut dihargai. 2.2.2 Identifikasi Sikap dan Perilaku Masyarakat dalam Mengelola Alam Aktivitas manusia yang melakukan perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai: lahan tambak, rawa, dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya, dengan cara menguruk tambak, rawa, dan sawah sehingga air pasang laut tidak tertampung lagi kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari 790,5 hektar lahan di Kecamatan Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar 585 hektar lahan total di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 hektar lahan tambak (Waskito, 2008 : 79). Terlihat jelas di sini bahwa manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sudah tidak sinergi lagi. Tidak ada keharmonisan dalam interaksi antara manusia dan alam. Seharusnya manusia menjadi lebih arif dan bijak dalam mengeksploitasi sumber daya alam pesisir. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara komponen tersebut maka kehidupan dalam segala sisinya menjadi tak harmonis lagi. Bencana rob pun datang setiap waktu akibat pola kehidupan manusia yang menguasai alam secara berlebihan. Eksploitasi air bawah tanah yang berlebihan oleh individu atau perusahaan tanpa diimbangi dengan recharge air tanah di wilayah konversi. juga memperparah kondisi fenomena rob yang ada di Kota Semarang bagian utara. Di sini juga terjadi ketidakseimbangan antara perilaku manusia terhadap alam. Tidak hanya manusia sebagai individu saja, tetapi perusahaan – perusahaan yang ada di pesisir pantai juga telah mengeksploitasi air tanah secara berlebihan. 2.2.3 Identifikasi Budi Daya dengan Alih Fungsi Lahan Ruang adalah hasil rekayasa manusia untuk mewadahi berbagai aktivitas dan bentuk kehidupan manusia lainnya, sebaiknya ruang dapat memberikan stimulus bagi perilaku dan kehidupan sosial manusia (Setiawan, 2004). Dari pengertian mengenai ruang tersebut, kita menyadari bahwa ruang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu dalam melakukan perencanaan wilayah dan kota, pemanfaatan dan pengelolaan ruang harus sebijaksana mungkin, sehingga keharmonisan spasial dapat terwujud, guna mendukung proses pembangunan yang berkelanjutan. Hakekat pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang yang didalamnya terkandung dua gagasan penting yaitu gagasan “kebutuhan” yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia, dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Namun saat ini, kondisi pembangunan yang ada di pesisir Kota Semarang justru menimbulkan transformasi yang progresif hanya pada ekonomi dan perkembangan masyarakat (Purwanto, 2001). Pembangunan yang berjalan sudah tidak lagi memperhatikan bagaimana menciptakan sebuah kondisi yang berkelanjutan. Pesatnya pembangunan benar-benar menghabiskan ruang di perkotaan sehingga jumlah supply ruang tidak dapat memenuhi demand yang ada, akibatnya pembangunan merambah daerah-daerah yang tidak seharusnya digunakan sebagai areal terbangun seperti wilayah pesisir. Merambahnya pembangunan ke wilayah pesisir menyebabkan adanya “pemaksaan”, dalam hal ini terkait dengan adanya pemanfaatan ruang yang tidak seharusnya ada tetapi dipaksakan ada, dan akhirnya berdampak pada terganggunya keberlanjutan pembangunan dan timbulnya penyimpangan pemanfaatan ruang. Indikasi adanya penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut sudah terlihat jelas, namun sampai saat ini tidak ada peraturan atau kebijakan yang mengatur tentang pengendalian pemanfaatan ruang pada wilayah pessir, padahal akibat yang dirasakan dari rusaknya wilayah pesisir baik fisik ataupun sumberdayanya sudah cukup jelas. Perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai: lahan tambak, rawa dan sawah, yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya, dengan cara mengurug tambak, rawa dan sawah, sehingga air laut tidak tertampung lagi, kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari sekitar 790,5 Ha lahan di Kecamatan Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar 585 Ha lahan total di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 Ha lahan tambak (Bappeda, 2000). Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dahulu Semarang daerah Utara merupakan rawa dan hutan bakau yang berfungsi menyerap limpahan air laut. Tapi kenyataannya kini tanah di sekitar pantai dijadikan pemukiman, kawasan industri, dan pariwisata. Rawa – rawa diurug dan hutan bakau dibabat habis. Akibatnya limpahan air laut tak tertampung lagi dan membanjiri wilayah daratan. Ini jelas sekali merupakan pengalihfungsian lahan yang tak bermoral. 2.2.4. Analisa Korelasi antara Budi daya dan Dampak yang Menimbulkan Banjir Rob Pembangunan pada wilayah pesisir dewasa ini sudah tidak terkendali, bahkan tidak ada batasan mengenai zona budidaya dan konservasi sehingga keseimbangan alam menjadi terganggu. Dengan terganggunya keseimbangan alam yang terjadi pada wilayah pesisir, beberapa bencana telah terbukti nyata menerpa beberapa daerah di Indonesia yang datangnya dari wilayah pesisir. Untuk dapat mencegah terjadinya kerusakan habitat pesisir dan kelautan sehingga kecenderungan terjadinya bencana dapat diatasi, maka diperlukan suatu kebijaksanaan dalam pengelolaan, terutama dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Kebijaksanaan tersebut dapat dirumuskan dalam sebuh keputusan mengenai penentuan zona kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Zona-zona tersebut di buat guna memberikan gambaran mengenai aturan pemanfaatan ruang yang sesuai dan menjaga keseimbangan antara zona konservasi dan budidaya pada wilayah pesisir. Jadi dengan adanya zonasi yang tepat dalam perencanaan tata ruang pesisir, maka prinsip keberlanjutan dalam pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir dapat terealisasikan dan meminimalisasi adanya penyimpangan pemanfaatan ruang. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada umumnya merupakan penyimpangan pemanfaatan antara kepentingan konservasi dan kegiatan pembangunan ekonomi di beberapa kawasan pesisir, sehingga berpeluang besar menyebabkan konfik pemanfaatan ruang, terutama untuk daerah yang padat penduduk dan memiliki intensitas pembangunan yang tinggi (Dahuri, 2001: 116). Dewasa ini justru pembangunan pemukiman dan industri semakin marak di wilayah pesisir, padahal dari beberapa pembangunan industri dan pemukiman tersebut terdapat bahaya yang sudah timbul terutama terkait dengan degradasi lingkungan dan rawan bencana seperti daerah Tanah Mas dan sekitarnya, yang sudah terbukti namun tidak disadari dan telah menghilangkan beberapa aktivitas di wilayah pesisir seperti perikanan tambak dan budidaya mangrove. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila dalammelakukan perencanaan pemanfaatan ruang tersebut pemerintah daerah mempertimbangkan beberapa aspek dan variabel perencanaan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang selama ini dikesampingkan, atau lebih parahnya diabaikan. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi mengakibatkan adanya konflik pemanfaatan ruang, disini konflik yang dimaksud adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai tetapi dipaksakan ada, sehingga menyebabkan terganggunya beberapa aktivitas lain di wilayah pesisir. Pada wilayah pesisir Semarang konflik pemanfaatan ruang tersebut ditandai dengan perubahan penggunaan lahan yaitu berdirinya beberapa bangunan industri dan pemukiman yang tidak memenuhi kriteria yang ada terutama terkait dengan kemampuan dan daya dukung lahannya sehingga menyebabkan terganggunya fungsi perlindungan pada wilayah pesisir Kota Semarang. Perubahan penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang di wilayah pantai, lahan tambak, rawa dan sawah, yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya, dengan cara menguruk tambak, rawa dan sawah, sehingga air pasang laut tidak tertampung lagi. Kemudian bahaya air pasang yang ada, menggenangi kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari sekitar 790,5 lahan di Kecamatan Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar 585 Ha lahan total di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 Ha lahan tambak (Pemkot Semarang, 2000). Dewasa ini justru pembangunan pemukiman dan industri semakin marak di wilayah pesisir, padahal dari beberapa pembangunan industri dan pemukiman tersebut terdapat bahaya yang sudah timbul terutama terkait dengan degradasi lingkungan dan rawan bencana seperti daerah Tanah Mas dan sekitarnya, yang sudah terbukti namun tidak disadari dan telah menghilangkan beberapa aktivitas di wilayah pesisir seperti perikanan tambak dan budidaya mangrove. Selain itu terjadi penurunan muka tanah di kawasan pantai (land subsidence). Penurunan muka tanah pada wilayah pantai Kota Semarang berkisar antara (2 – 25) cm/tahun. Khusus di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian Kelurahan Terboyo Kulon mencapai 20 cm/tahun (Direktorat Geologi Tata Lingkungan,1999). Penurunan permukaan air tanah sebagai akibat dari penggunaan air tanah yang berlebihan, dan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk. Pengambilan air tanah Kota Semarang sebesar 35,639 x 106 M3/tahun (Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, 1999). Hal tersebut diperparah dengan munculnya kerusakan fisik habitat pesisir dan hilangnya fungsi penyangga pada daerah perlindungan pantai menambah kekhawatiran munculnya bencana bertambah besar, sehingga dibutuhkan sebuah solusi untuk mengatasi konflik pemanfaatan ruang yang terjadi dengan sebuah sistem yang dapat mempercepat pengambilan keputusan penentuan pemanfaatan ruang. 2.2.5. Alternatif Pemecahan masalah Usaha untuk mengatasi rob memerlukan partisipasi dan kerjasama dari bebrbagai pihak terkait baik masyarakat maupun pemerintah. Rob ini tidak hanya terjadi karena faktor manusia baik individu maupun perusahaan tetapi juga dipengaruhi alam. Usaha untuk mengatasi rob ini antara lain : a. Pembangunan Polder Polderr ini berfungsi untuk memompa air ke laut b. Memperbaiki sistem drainase Banyak drainase yang kurang berfungsi dengan baik, banyak yang tersumbat dan berkarat. Pemerintah hendaknya secara berkala memperbaiki saluran drainase yang ada agar tak menimbulkan masalah yang berat terutama pada musim penghujan. Masyarakat dan pemerintah hendaknya memaksimalkan dan menjaga fasilitas yang ada. Memulai dari hal kecil misalnya tidak membuang sampah di saluran drainase. Karena fungsi saluran drainase adalah untuk mengalirkan air hujan. Adanya sampah di saluran drainase dapat menghambat aliran air hujan menuju ke laut. Termasuk di sini normalisasi Kaligarang – Banjir Kanal barat, Normalisasi Kali Semarang – Kali asin – Kali Waru. c. Pembangunan bendungan atau dam raksasa di Jati Barang Kecamatan Gunung Pati Pembangunan bendungan ini berfungsi untuk mencegah air masuk ke daratan dan sebagai substitusi dari eksploitasi air bawah tanah yang juga banyak dilakukan oleh beberapa perusahaan besar. d. Memperbaiki dan melestarikan ekosistem pantai Ekosistem pantai yang rusak harus segera diperbaiki dan dikembalikan fungsinya seperti semula. Gerakan penanaman pohon bakau adalah sebuah usaha yang efektif. e. Kebijaksanaan dalam pengelolaan, terutama dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Kebijaksanaan tersebut dapat dirumuskan dalam sebuh keputusan mengenai penentuan zona kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Zona-zona tersebut di buat guna memberikan gambaran mengenai aturan pemanfaatan ruang yang sesuai dan menjaga keseimbangan antara zona konservasi dan budidaya pada wilayah pesisir. Jadi dengan adanya zonasi yang tepat dalam perencanaan tata ruang pesisir, maka prinsip keberlanjutan dalam pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir dapat terealisasikan dan meminimalisasi adanya penyimpangan pemanfaatan ruang. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada umumnya merupakan penyimpangan pemanfaatan antara kepentingan konservasi dan kegiatan pembangunan ekonomi di beberapa kawasan pesisir, sehingga berpeluang besar menyebabkan konfik pemanfaatan ruang, terutama untuk daerah yang padat penduduk dan memiliki intensitas pembangunan yang tinggi (Dahuri, 2001: 116). Untuk mempermudah dalam pengambilan keputusan tersebut maka dijabarkanlah proses penentuan kesesuaian pemanfaatan wilayah pesisir dalam sebuah model pengambilan keputusan dengan SIG (Sistem Informasi Geografis). Disini SIG memiliki posisi sebagai sebuah SPK (Sistem Pendukung Keputusan). Kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah pesisir akan ditentukan dengan mengolah kriteria penentuan kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah pesisir dalam bentuk sebuah model sebagai penyederhanaan dari kondisi nyata secara spasial, yang akan memberikan gambaran pemanfaatan ruang yang sesuai dengan pengolahan basis data dari studi kasus melalui perangkat komputer. Model tersebut digunakan dengan tujuan membantu dalam tahap pengambilan keputusan perumusan kebijakan penataan ruang wilayah pesisir karena decision maker sering dihadapkan pada masalah utama yaitu penentuan keputusan strategis yang sulit direalisasikan, sebagai akibat dari persepsi yang heterogen yang sejalan dengan adanya kepentingan masing-masing individu atau kelompok yang terlibat dalam pengambilan kebijakan. (Ramdhani dan Suryadi, 1998: 3). SIG digunakan sebagai alat untuk melakukan analisis karena dengan SIG visualisasi spasial dalam menentukan kesesuaian pemanfaatan ruang dapat tergambar dengan jelas. Selain itu dengan model basis data yang dikaitkan dengan kesesuaian pemanfaatan ruang, maka dapat dilakukan beberapa analisis untuk mendukung keputusan dalam kebijakan penentuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Pembangunan yang tidak seharusnya ada justru mengarah di sebagian daerah yang seharusnya menjadi daerah konservasi dan perlindungan pantai, namun karena ketersediaan lahan yang kurang untuk pembangunan di pusat kota, maka pembangunan di kota Semarang semakin merambah ke wilayah utara yaitu wilayah pesisir Kota Semarang dan ironisnya hal tersebut dianggap sah-sah . Lebih dari itu dibutuhkan sebuah kekonsistensian Pemerintah maupun Aparatur Daerah dalam menjalankan peraturan perundangan maupun Peraturan Daerah yang berlaku demi keberlangsungan kehidupan manusia yang harmonis. Jual beli peraturan daerah atau perundang – undangan harus dihindari oleh Pemerintah maupun perusahaan yang terkait. Butuh kesadaran yang tinggi untuk mewujudkan ini semua. Penanganan banjir dan rob di Semarang harus komprehensif dan menyangkut semua hal 2.3 Pendekatan Kewilayahan Pendekatan komplek kewilayahan ini mengkaji bahwa fenomena geografi yang terjadi di setiap wilayah berbeda-beda, sehingga perbedaan ini membentuk karakteristik wilayah. Perbedaan inilah yang mengakibatkan adanya interaksi suatu wilayah dengan wilayah lain untuk saling memenuhi kebutuhannya. semakin tinggi perbedaannya maka interaksi dengan wilayah lainnya semakin tinggi Wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan wilayah daratan, karena merupakan perpaduan dari daratan dan perairan, bersifat dinamik, dan rentan terhadap berbagai tekanan. Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir, dengan karakteristiknya masing - masing yang berbeda, saling terkait secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, secara umum di wilayah pesisir terjadi konflik pemanfaatan ruang, baik antar - sektor maupun intra -sektor, dengan masing-masing pemangku kepentingan ( stakeholder ) yang mempunyai kebutuhan beragam Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus diatasi dengan penyelengaraan penataan ruang yang mampu mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, serta dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pelaksanaan penataan ruang yang dilandasi dengan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat menjadi instrumen utama dalam pengembangan suatu kawasan seperti wilayah pesisir, agar ekses dari perkembangan ekonomi dan penduduk tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks Sebagai salah satu contoh dapat dikemukakan dalam uraian ini adalah mengenai perencanaan pemanfaatan lahan (landuse planning) di wilayah pesisir. Suatu upaya perencanaan pemanfaatan lahan adalah suatu upaya untuk mengarahkan/menciptakan tata pemanfaatan lahan sesuai dengan visi pembagunan wilayah. Hal ini didasarkan adanya kenyataan dari adanya perkembangan perubahan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali atau menuju ke sesuatu keadaan yang dapat menimbulkan goncangan keseimbangan ekologis di masa yang akan datang. Suatu proses perkembangan pemanfaatan lahan non agraris di pinggiran kota, misalnya, yang banyak mencaplok lahan-lahan pertanian produktif, lahan konservasi subur, dan beririgasi teknis sangat mendesak untuk ditata agar perkembangan wilayah pesisir pada masa yang akan datang tidak terganggu ekologisnya. Demikian pula halnya dengan terjadinya konversi pemanfaatan lahan konservasi menjadi lahan pemukiman yang tidak terkendali di bagian wilayah hulu suatu DAS maupun pesisir yang diperuntukkan menjadi catchment area sangat memerlukan suatu intervensi manusia dalam hal menata kawasan yang besangkutan dengan kebijakan-kebijakan spasial dan lingkungan tertentu sehingga fungsi konfersinya tetap terjaga. Saat ini semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu daerah tertentu terutama pesisir tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya. Sebagai contoh rob yang terjadi di pesisir Semarang tak bisa dilepaskan dari isu pemanasan global. Betapa pemanasan global yang diakibatkan oleh belahan wilayah yang lain juga membawa dampak pada naiknya air laut di wilayah Semarang. Mencairnya es di kutub utara juga membawa dampak terhadap naiknya muka air laut di Laut Jawa. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas. Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak bagaimana perkembangan daerah sekitarnya (interregional planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya. Sebagai contoh ketika wilayah pesisir Semarang dibangun sebuah Pabrik yang mengeksploitasi air bawah tanah sehingga terjadi penurunan tanah maka wilayah tetangga regional Semarang akan terkena dampaknya pula seperti Kendal, Batang, Pekalongan, maupun Demak Wilayah Analisis geografi dalam pendekatan kompleks wilayah mempelajari fenomena atau kejadian berdasarkan hubungan aspek-aspek suatu wilayah tertentu yang berkaita dengan wilayah lainnya. Artinya, permasalahan yang dikaji dalam pendekatan kompleks wilayah adalah permasalahan keruangan komplek antar wilayah yang tidak dapat diselesaikan dengan hanya pada satu ruang wilayah tertentu. Contoh : Untuk mengatasi rob di pesisir Semarang, maka ada kerjasama yang baik dengan wilayah Semarang bagian atas dengan pembangunan Waduk Jatibarang di Gunung Pati. Juga kerjasama dengan daerah Semarang atas agar tetap juga menjaga daerah konservasi sehingga rob yang ada tidak diperparah dengan banjir kiriman dari daerah Semarang atas. Naiknya permukaan air laut sebagai salah satu penyebab rob di Semarang akibat pemanasan global juga membutuhkan kerjasama yang baik antar negara pada ruang yang lain. Efek rumah kaca yang disebabkan oleh negara lain bisa menimbulkan dampak tidak hanya di negaranya sendiri melainkan juga di negara lain yang terkadang emisi gas rumah kacanya tidak terlalu tinggi. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip dalam geografi yaitu interelasi di mana fenomena geosfer yang satu mempunyai hubungan dengan fenomena geosfer yang lain, gejala yang satu berkaitan dengan gejala yang lain. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Rob merupakan bencana dominan yang terdapat di kawasan pesisir Semarang. Rob adalah banjir yang terjadi akibat pasang surut air laut menggenangi lahan/kawasan yang lebih rendah dari permukaan air laut rata-rata (mean sealevel). Rob yang terjadi di Semarang meliputi enam kecamatan yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari, Semarang Timur, Genuk. Penyebab utama rob adalah penurunan permukaan tanah di wilayah pesisir secara terus menerus. Penurunan permukaan air tanah ini disebabkan karena eksploitasi yang berlebihan dalam pengambilan air bawah tanah dan juga beban konstruksi yang berlebihan di atas permukaan tanah. Fenomena rob yang terjadi di Kota Semarang bisa dianalisis dengan menggunakan perspektif geografi yang menggunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan keruangan, pendekatan kelingkunganan, dan pendekatan kompleksitas. Dewasa ini justru pembangunan pemukiman dan industri semakin marak di wilayah pesisir, padahal dari beberapa pembangunan industri dan pemukiman tersebut terdapat bahaya yang sudah timbul terutama terkait dengan degradasi lingkungan dan rawan bencana seperti daerah Tanah Mas dan sekitarnya, yang sudah terbukti namun tidak disadari dan telah menghilangkan beberapa aktivitas di wilayah pesisir seperti perikanan tambak dan budidaya mangrove. 3.2 Saran Usaha untuk mengatasi rob memerlukan partisipasi dan kerjasama dari berbagai pihak terkait baik masyarakat maupun pemerintah. Rob ini tidak hanya terjadi karena faktor manusia tetapi juga dipengaruhi alam. Usaha untuk mengatasi rob ini antara lain dilakukan dengan pembangunan polder untuk memompa air ke laut, sistem drainase yang baik. Masyarakat dan pemerintah hendaknya memaksimalkan dan menjaga fasilitas yang ada. Memulai dari hal kecil misalnya tidak membuang sampah di saluran drainase. Lebih dari itu dibutuhkan sebuah kekonsistensian Pemerintah maupun Aparatur Daerah dalam menjalankan peraturan perundangan maupun Peraturan Daerah yang berlaku terutama mengenai pengembangan wilayah pesisir demi keberlangsungan kehidupan manusia yang harmonis dan juga untuk mengurangi tingkat keparahan bencana rob. Jual beli peraturan daerah atau perundang – undangan harus dihindari oleh Pemerintah maupun perusahaan yang terkait. Butuh kesadaran yang tinggi untuk mewujudkan ini semua. Penanganan banjir dan rob di Semarang harus komprehensif dan menyangkut semua hal. DAFTAR PUSTAKA Ali, M. 2010. Kerugian Bangunan Perumahan Akibat Rob dan Arah Kebijakan Penanganannya di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Tesis, Semarang: Undip Bakti, L. M. 2010. Kajian Potensi Sebaran Rob Kota Semarang dan Usulan Penanganannya. Tesis, Semarang: Undip Banowati, E. 2007. Buku Teks Dalam Pembelajaran Geografi di Kota Semarang. Jurnal Geografi, Vol.4 No 2. Semarang FIS Unnes Diposaptono, S. 2006. “Karakteristik Laut Pada Kota Pantai”, Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan global. Proceeding, Direktorat Bina Pesisir, Direktorat Jenderal Urusan Pesisir dan Pulau-pulau KecilDepartemen Kelautan dan Perikanan Erna Pandi Nurhayati / Journal of Educational Social Studies 1 (2) (2012) Nahira, O. 2008. Memberi Pemahaman Kepada Masyarakat Kepulauan Sangihe Tentang Pemanasan Global dan Dampak Yang Dittimbulkannya. Abdimas, Vol.1, No.2 Desember 2008.Manado: FMIPA-UNIMA Nugroho, S .A. 2004. Pengaruh Genangan Banjir Akibat Pasang Air Laut Terhadap Kondisi Lingkungan Pemukiman di Bandarharjo. Tesis, Semarang: Undip Pramudiya, A. 2008. Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi. �� � Tesis, Semarang: Undip Suharyono dan Amien, M., 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Tresnadi, H. Dampak Kerusakan Yang Ditimbulkan Akibat Pengambilan Air Tanah Yang Berlebihan di Jakarta dan Bandung. Alami, Vol.12 No.2. Jakarta: BPPT Waskito, 2008. Pengaruh Banjir Rob Terhadap Pemukiman Kawasan Pantai Kota Semarang Sebagai Efek Penggunaan Lahan. Majalah Ilmiah Pawiyatan, Vol.XVII, No.3 Wirasatriya, A. 2005. Kajian Kenaiakan Muka Air Laut Sebagai Landasan Penanggulangan Rob di Pesisir Kota Semarang, Tesis, Semarang: Undip Yunus, H.S., 2010. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.