Rabu, 05 Juni 2013

nilai kearifan lokal di lokalisasi sunan kuning semarang

PENDIDIKAN NILAI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA ALTERNATIF MENINGKATKAN RESILIENSI KELUARGA DI LINGKUNGAN LOKALISASI SUNAN KUNING SEMARANG Sri Lestari, S.Pd Program Pasca Sarjana Pendidikan IPS Universitas Negeri Semarang Abstract This study aims to propose a practical way of modeling the process of establishing a family resilience in the localization of Sunan Kuning Semarang-based indigenous education. While theoretically aims to examine and criticize the theory of agency and structure or struktualisme constructivism of Piere Bourdieu. The research was conducted on 4 core families who live in the neighborhood Sunan Kuning localization Semarang. This study chose to explore the concept of habitus, arena, capital, and social practices of Bourdieu's theory by using a qualitative approach to the explanatory case study analysis unit resilience families living in the localization of Sunan Kuning, where a family has to maintain security, health growth and development, member education their families in an environment that does not support or arena. Data was collected by in-depth interviews and participant observation. Data collection tool used was a digital recorder. Analysis of the interview data is used to thematic analysis technique performed after coding the interviews verbatim. This study provides empirical insights about how families living in the area of "high risk" by the habitus that "high risk" can also have a good resistance in life by utilizing value - the value of local knowledge as a social and cultural capital as an agent so that they do not affected by the existing structure and won the battle in the arena. The results showed Piere Bourdieu's theory of the structure of the agency and does not hold up in this social situation. Habitus terstrukturkan by arena / environment can not always affect a person's social action. There are other factors that suggest that this agency be autonomous is not affected by the structure of the value - the value of local knowledge which later became the cultural and social capital so that these agents can win the battle in the arena environment "high risk" is. So there is always an agent and dialectic structure as Bourdieu said. Positive interaction between risk factors (arena that "high risk") with protective factors such as value - the value of local knowledge in the family that lived in the localization of Sunan Yellow Semarang make them bring behavioral resilience to win the battle in the arena. In this case, the family owned a protective factor that can make a positive family adaptation to environmental challenges in localization. Keywords: resilience, agency and structure, localization, local wisdom Abstrak Penelitian ini secara praktis bertujuan untuk mengusulkan pemodelan proses pembentukan resiliensi keluarga di lingkungan lokalisasi Sunan Kuning Semarang berbasis pendidikan kearifan lokal. Sedangkan secara teoritis bertujuan untuk menguji dan mengkritisi teori agen dan struktur atau struktualisme konstruktivisme dari Piere Bourdieu . Penelitian ini dilakukan pada 4 keluarga inti yang tinggal di lingkungan lokalisasi Sunan Kuning Semarang. Penelitian ini memilih untuk mengeksplorasi Konsep habitus, arena, modal, dan praktik sosial dari teori Bourdieu dengan menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus eksplanatoris dengan unit analisisnya resiliensi keluarga yang tinggal di lokalisasi Sunan Kuning, dimana keluarga tersebut harus menjaga keamanan , kesehatan tumbuh kembang, pendidikan anggota keluarganya di tengah lingkungan atau arena yang tidak mendukung . Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi partisipan. Alat pengumpul data yang digunakan adalah alat perekam digital. Analisis data wawancara digunakan dengan teknik analisis tematik setelah sebelumnya dilakukan koding terhadap verbatim hasil wawancara. Penelitian ini memberikan wawasan empiris tentang bagaimana keluarga yang tinggal di wilayah “high risk “ dengan habitus yang “high risk” pula bisa mempunyai ketahanan yang baik dalam hidupnya dengan memanfaatkan nilai – nilai kearifan lokal yang ada sebagai modal sosial dan kultural sehingga mereka sebagai agen tidak terpengaruh oleh struktur yang ada dan berhasil memenangkan pertempuran dalam arena. Hasil penelitian menunjukkan teori dari Piere Bourdieu tentang agen dan struktur tidak berlaku mutlak dalam situasi sosial ini. Habitus yang terstrukturkan oleh arena / lingkungan tak selamanya bisa mempengaruhi tindakan sosial seseorang. Ada faktor lain yang menunjukkan bahwa agen ini menjadi otonom tidak terpengaruh oleh struktur yaitu adanya nilai – nilai kearifan lokal yang kemudian menjadi modal kultural dan sosial sehingga agen ini bisa memenangkan pertarungan dalam arena lingkungan yang “high risk “ ini. Jadi tak selamanya agen dan struktur berdialektika ( saling mempengaruhi ) seperti yang dikatakan Bourdieu. Interaksi positif antara faktor resiko ( arena yang “high risk “ ) dengan faktor protektif berupa nilai – nilai kearifan lokal pada keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi Sunan Kuning Semarang membuat mereka memunculkan perilaku resiliensi yang memenangkan pertarungan dalam arena ini. Dalam hal ini, faktor protektif yang dimiliki keluarga mampu membuat keluarga melakukan adaptasi positif untuk menghadapi tantangan dalam lingkungan lokalisasi. Kata kunci: resiliensi, agen dan struktur, lokalisasi, kearifan lokal I. Pendahuluan Prostitusi merupakan salah satu bisnis tertua dalam sejarah dunia dan hingga kini tetap bertahan seiring perkembangan jaman. Di Indonesia bisnis prostitusi bukan merupakan fenomena yang asing. Mulai dari bentuknya yang dilegalisasi pemerintah sebagai sebuah wilayah khusus untuk tempat prostitusi sampai prostitusi yang tergolong ilegal yaitu yang keberadaannya tidak diakui pemerintah. Wilayah yang khusus diperuntukkan bagi kegiatan prostitusi umumnya dikenal sebagai wilayah lokalisasi. Resosialisasi Argorejo atau yang akrab disebut Sunan Kuning (SK) adalah lokalisasi resmi terbesar di Kota Semarang. SK terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, menempati areal 4 Hektar, terdiri atas 1 RW dan 6 RT. Resosialisasi ini dibuka pada 1966, pertama disebut lokalisasi Sri Kuncoro sesuai nama jalan utama di situ. Dari nama Sri Kuncoro inilah diambil inisial SK, lalu diplesetkan jadi Sunan Kuning karena disitu ada petilasan Sunan Kuning (Soen Koen Ing) seorang tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari etnis China. Sebelum menetap di Kalibanteng, lokalisasi ini dulu berpindah-pindah dan titiknya menyebar di beberapa wilayah kota Semarang. Sekitar tahun 1960-an para WP beroperasi di sekitar jembatan Banjirkanal Barat, Jl Stadion, Gang Warung, Jagalan, Sebandaran, Gang Pinggir, Jembatan Mberok, dll. Karena tidak teratur, kota jadi penuh kupu-kupu malam. Warga resah, karena seringkali pria-pria yang jadi tamu keliru masuk rumah penduduk. Untuk melokalisir, Pemerintah Kotamadya Semarang (waktu itu) kemudia menempatkan para WP di perkampungan bernama Karangkembang, kira-kira sekarang di sekitar depan SMA Loyola. Pada tahun 1963, lokasi di Karangkembang dan rumah bordil liar di Jl Gendingan dipindahkan ke sebuah bukit di daerah Kalibanteng Kulon yaitu Argorejo. Tapi Argorejo sebenarnya bukan nama asli dari tempat tersebut, karena daerah itu dulunya hutan kecil tak bertuan di pinggiran kota. Nama Argorejo muncul sekitar tahun 1966 saat daerah tersebut semakin dipadati penduduk. Argorejo sendiri berarti bukit atau gunung yang ramai. Pada tanggal 15 Agustus 1966 SK diresmikan oleh Walikota Semarang (saat itu) Hadi Subeno lewat SK Wali Kota Semarang No 21/15/17/66, tapi penempatan resminya baru pada tanggal 29 Agustus 1966, sehingga tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadinya SK. Tujuan pelokalisiran adalah untuk memudahkan pengontrolan kesehatan para WP secara periodik, serta memudahkan usaha resosialisasi dan rehabilitasi para WP tersebut. Ketika dibuka pada tahun 1966, di SK cuma ada 120 Wanita Pekerja (WP) dan 30 germo/mucikari, dan ketika diresmikan pada 1967 menampung 210 WP dan 35 germo. Jumlah WP di SK terus meningkat. Pada tahun 2003 ada 350 WP, pada tahun 2005 ada 450 WP dan pada tahun 2013 ini jumlahnya sekitar 700-an WP. Diperkirakan per hari ada transaksi 1-3x per WP bahkan ada yg sampai 5x per WP per orang, total ada 600-1800 x transaksi per hari. Pada 1960-an, tarif WP sekali transaksi masih sangat murah yaitu hanya Rp 5000 saja, sedangkan untuk kelas primadona cuma Rp 15000. Sekarang tarif sekali transaksi di SK sekitar Rp 200 ribu, ada juga yang lebih mahal tergantung kesepakatan. Karena lokalisai resmi, maka Pemkot Semarang pun menarik restribusi untuk pendapatan asli daerah (PAD). Sekitar lima tahunan terakhir, SK lebih hingar bingar setiap malam karena di setiap wisma kini dilengkapi fasilitas karaoke plus genset untuk antisipasi kalau listrik padam. Biasanya para tamu akan karaoke dulu beberapa jam sambil minum-minum, kalo mau lanjut baru masuk kamar karena dilarang bertransaksi di ruang karaoke. Wisma dan karaoke di SK buka pukul 11.00-23.00 dengan toleransi sampai pukul 01.00. Khusus hari Jum’at baru boleh buka usai Jumatan sekitar pukul 13.00. Tamu boleh bermalam di SK, tapi harus lapor dengan menunjukkan KTP pada petugas resosialisasi dan bayar administrasi. Jika tidak lapor dan ketahuan, sanksinya "dipenjara" semalaman di Gedung Resos atau bayar denda. Dendanya sekitar 100-200 ribu. Untuk lapor biasanya dibantu germo di sana, ada bukti lapor secarik kertas yang harus ditempel di atas pintu kamar WP yang terima tamu menginap tersebut. Pada komplek lokalisasi Sunan Kuning ini ternyata tak hanya dihuni oleh germo maupun para Wanita Pekerja Seks ( WPS ) tapi juga di lingkungan ini hidup keluarga inti. Mereka menjadi satu lingkungan dengan para WPS. Keberadaan rumah tangga biasa yang bersebelahan, berhadap – hadapan bahkan satu rumah dengan para WPS sudah merupakan pandangan yang umum. Kepala keluarga pada rumah tangga biasa ini banyak yang menjadi mucikari dan memiliki beberapa anak asuh sebagai WPS. Selain itu juga terlibat dalam bisnis penjualan minuman keras yang mereka sediakan bagi para tamunya. Rumah keluarga inti juga menjadi satu dengan kamar – kamar yang digunakan untuk transaksi seksual. Dalam rumah seorang keluarga inti bagian sebelah rumahnya digunakan untuk tempat karaoke dan dibelakang kamar tidur pemilik rumah dipetak – petak menjadi beberapa kamar yang digunakan para WPS berkencan dengan para pria hidung belang. Jumlah kamar di tiap wisma SK beragam. Paling kecil ada 4 kamar, tapi rata-rata 5-11 kamar, bahkan ada yang sampai 15-an kamar. Kalau wismanya mewah, dalamnya juga wah. Tiap kamar ada kamar mandi dalam bisa pilih shower atau bath tub, AC, TV. Para keluarga inti baik orang tua maupun anak – anak mereka akhirnya sering terkena paparan seksual oleh para WPS. Para WPS ini biasanya duduk – duduk di depan wisma dengan dandanan yang menggoda. Saat WPS berada di depan wisma dijumpai pula para keluarga inti baik orang tua maupun anak – anak yang juga berada di luar rumah untuk sekedar mengobrol maupun mengasuh anak – anak mereka. Interaksi warga dengan para WPS seolah – olah tanpa ada penghalang. Anak – anak ada yang bermain dengan leluasa walaupun di sekitar mereka para WPS sedang mencari pelanggan dengan rayuan yang sangat menggoda, seperti “mampir mas, goyangannya bikin ketagihan “. Seks bebas menjadi pemandangan yang biasa bagi anak – anak. Di lingkungan lokalisasi juga sering terjadi peristiwa – peristiwa penganiayaan, pemerasan, penyalahgunaan obat terlarang , pembunuhan serta berbagai bentuk kejahatan yang lainnya. Akhirnya interaksi para warga terutama anak – anak dengan para WPS menimbulkan masalah, antara lain telah menjadi habitus mereka, akan membawa pengaruh yang buruk terhadap perkembangan anak nantinya , karena mereka mengalami sendiri peristiwa – peristiwa yang seharusnya mereka tidak alami. Interaksi langsung keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi dengan para WPS tentunya memberikan konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi keberfungsiaan positif keluarga di dalam masyarakat. Di sini keluarga dituntut untuk mempunyai ketangguhan ( resilient ) agar dapat menjalankan keberfungsian keluarganya dengan positif sehingga perkembangan anaknya menjadi optimal meskipun berada di lingkungan lokalisasi. Lingkungan lokalisasi diharapkan tidak akan membawa pengaruh yang besar dalam hidupnya. Berbagai penelitian telah membuktikan dampak negatif yang ditimbulkan jika keluarga sebagai mikrosistem dalam lingkungan lokalisasi gagal dalam menjalankan resiliensinya. Kegagalan ini akan membawa buruknya perkembangan mental anak – anak mereka , tumbuh kembang menjadi terganggu, dewasa sebelum masanya, melakukan aktivitas seksual pada masa anak – anak dan remaja dan parahnya para anak – anak ini akhirnya dapat meneruskan bisnis prostitusi orang tuanya di kemudian hari. Dari paparan tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian bagaimana keluarga di lingkungan lokalisasi yang juga melakukan bisnis prostitusi bisa bertahan diri , menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi perkembangan keluarganya , berusaha mewujudkan resiliensinya agar tidak terpengaruh oleh struktur lingkungan yang masuk kategori “high risk”, penulis ingin meneliti hal – hal apa saja yang bisa meningkatkan resiliensi keluarga tersebut dan dampaknya jika sebuah keluarga gagal mewujudkan resiliensinya di lingkungan “ high risk “ ini. II. Kajian Teoritik Resiliensi Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental. Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik. Menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan, bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dihadapi dalam kehidupannya. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk mampu bertahan dan tidak mengalah dalam situasi tertekan, sehingga terhindar dari kegagalan dan mampu untuk beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi. Yaitu pengaturan emosi ( emotion regulation ), kontrol terhadap impuls, optimisme, kemampuan menganalisis masalah, empati, efikasi diri, dan pencapaian ( reaching out ). Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan sumber yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Sumber tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi siswa), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi). Grotberg (1995), mengemukakan sumber-sumber resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’( Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik, mencintai, empati, dan altruistik, otonomi dan tanggung jawab). Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah ‘I Have’ (Trusting relationships, Struktur dan aturan di rumah, Role models, Dorongan agar menjadi mandiri, Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan ). Sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’ (berkomunikasi, pemecahan masalah, mengelola berbagai perasaan dan rangsangan, mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain, mencari hubungan yang dapat dipercaya Studi resiliensi tidak terlepas dari pembahasan tentang protective factor (faktor penyeimbang atau pelindung) dan risk factor (faktor beresiko). Roberts (2007) menyatakan bahwa resiliensi merupakan istilah yang muncul dari riset tentang protective factor dan risk factor. Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Konsep risk dalam penelitian resiliensi untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti: anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah, tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, dan pengalaman trauma. Faktor resiko ini dapat berasal dari faktor genetik seperti penyakit sejak lahir, faktor psikologis, lingkungan dan sosioekonomi yang mempengaruhi kemungkinan terdapatnya kerentanan terhadap stres. Faktor-faktor ini mempengaruhi individu baik secara afektif maupun kognitif (Schoon, 2006). Penelitian-penelitian terhadap kelompok yang beresiko (risk factor) menemukan bahwa tidak semua orang berada pada kondisi beresiko mengalami maladjusment. Penelitian-penelitian lain juga mencatat bahwa anak yang tumbuh pada kondisi yang menekan atau beresiko dapat tumbuh dan beradaptasi secara positif. Hal inilah yang menjadi fokus para peneliti yaitu untuk melihat faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan individu mampu beradaptasi positif meskipun berada pada kondisi yang bersiko. Kualitas-kualitas ini mengacu pada istilah protective factor. Protective factor (faktor pelindung) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut faktor penyeimbang atau melindungi dari risk factor (faktor yang memunculkan resiko) pada individu yang resilien (Riley, 2005). Sebagaimana yang dinyatakan Werner (2005) bahwa banyak hal yang dapat menjadi protective factor bagi seseorang yang resilien ketika berhadapan dengan kondisi yang menekan. TeoriAgen dan Struktur Bourdieu memusatkan perhatiannya pada praktik yang dilihat-nya sebagai akibat dari hubungan dialek-tis antara struktur dan agensi. Praktik tidak ditentukan secara objektif dan bu-kan pula merupakan produk dari kehen-dak bebas. Melakukan refleksi atas minat-nya pada dialektika antara struktur dengan cara orang mengkonstruksi reali-tas sosial. Bourdieu berupaya menyatukan dimensi dualitas pelaku (agen) dan struktur. Oleh karena itu pendekatannya disebut strukturalisme genetik yakni analisis struktur-struktur objektif yang tidak dapat dipisahkan dari analisis asal usul struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan analisis asal usul struktur sosial itu sendiri. Struktur objektif sebagai sesuatu yang terlepas dari kesadaran dan kehen-dak agen, yang mampu mengarahkan dan menghambat praktik atau representasi mereka. Inti dari teori agen dan struktur Bourdieu terletak pada konsep habitus dan arena, dan hubungan dialektis antara keduanya (Swartz, 1997; Ritzer dan Goodman, 2010: 580). Kalau habitus ber-ada di dalam pikiran aktor—yang masih dalam alam kesadarannya, maka arena berada di luar pikiran aktor—yang meng-konstruksi pikiran aktor. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhu bungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinter-nalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasi-nya. Secara dialektif, habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang (Ritzer dan Goodman, 2010:581). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang menampak (appearance); tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti: cara kita makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Kleden (Kleden, 2005:361-375; Binawan, 2007:28-29.) menarik tujuh elemen penting tentang habitus ini yakni: (1) produk sejarah, sebagai perangkat disposisi yang bertahan lama dan di-peroleh melalui latihan berulang kali (inculcation); (2) lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduk-sikan. Dengan kata lain, ia merupakan struktur yang distrukturkan (structured -structures); (3) disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi, dan tin-dakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures (struktur yang menstrukturkan); (4) sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable; (5) besifat pra-sadar (preconcious) karena ia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupa-kan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latar belakang sejarah sama sekali; (6) bersifat teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan ke-pada peraturan-peraturan tertentu. Habi-tus tidak hanya merupakan a state of mind, tetapi juga a state of body dan bahkan menjadi the site of incorporated history; (7) habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu, tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang ber-sifat khusus untuk mencapainya. Adapun ranah atau arena (field) lebih dipan-dang Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2010:582-590) secara relasional daripada secara struktural. Ranah adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992:97; Ritzer dan Goodman. 2010:582). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Bourdieu menganggap ranah sebagai definisi sebagai arena pertempuran. Menurutnya bidang kekuasaan / politiklah yang paling penting, hierarki hubungan kekuasaan dalam bidang politik berfungsi untuk menyusun semua ranah yang lain.Posisi agen ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif dari modal yang mereka miliki. Bourdieu membahas empat macam modal yaitu: modal ekonomi, kultural (berbagai pengetahuan yang sah), sosial (hubungan yang bernilai antara individu) dan simbolik dari kehormatan dan prestise seseorang. . Di satu pihak, ranah mengkondisi-kan habitus; di pihak lain, habitus menyu-sun ranah, sebagai sesuatu yang bermak-na, yang mempunyai arti dan nilai. Meskipun ranah dan habitus ada-lah penting bagi Bourdieu, tetapi hubung-an dialektika antara keduanya penting; ranah dan habitus saling menen-tukan satu sama lain, sebagaimana dise-butkan (Ritzer dan Goodman, 2007): Habitus yang mantap hanya terben-tuk, berfungsi dan sah dalam sebuah lingkungan (ranah), dalam hubungan-nya dengan sebuah lingkungan, habitus itu sendiri adalah ”lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yang berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama. Praktik sosial merupakan integrasi antara habitus dikalikan modal dan di-tambahkan ranah. Praktik sosial dapat dirumuskan sebagai beikut: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Modal merupa-kan sebuah konsentrasi kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah dan setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal khusus agar dapat hidup secara proporsional dan bertahan di dalamnya. Dalam ranah pertarungan sosial akan selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Lokalisasi Soedjono ( 1973: 122 – 124 ) menyebutkan pengertian lokalisasi sebagai sebentuk usaha untuk mengumpulkan segala macam aktivitas / kegiatan pelacuran dalam satu wadah. Pengadaan lokalisasi dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif lokalisasi dari dunia luar dengan cara mengisolir kegiatan prostitusi pada suatu tempat tertentu. Siregar ( 1985 ) , lokalisasi merupakan lingkungan masyarakat yang di dalamnya seringkali terjadi pelanggaran – pelanggaran terhadap norma – norma sosial yang dianut masyarakat dan yang selama ini diajarkan oleh keluarga. Selain kenyataan bahwa seks bebas menjadi pemandangan yang biasa di dalamnya juga sering terjadi peristiwa – peristiwa pemerasan, penyalahgunaan obat terlarang, pembunuhan, serta berbagai bentuk kejahatan lainnya . Namun kenyataannya di lokalisasi Sunan Kuning tak hanya para WPS dan mucikari yang tinggal di situ melainkan juga anak – anak dalam anggota keluarga. Kearifan Lokal Pengertian kearifan local, bila dilihat dari kamus Inggris-Indonesia, terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa pengertian kearifan lokal merupakan nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal adalah produk (ide, praktek, dan hasil karya) kebudayaan para pemangkunya mengenai lingkungan dan manusia yang berbasis keTuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan yang menyatu sedemikian rupa sehingga menjamin harmoni antara manusia dan alam sekitarnya (Ibnu Hamad, 2011). Dengan adanya kearifan lokal maka masyarakat Indonesia memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan, ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin menjadi ciri pengaturan kehidupan bersama masyarakat, kemampuan masyarakat dalam berserikat, membentuk forum dan bermusyawarah dalam penyelesaian masalah kemasyarakatan, solidaritas dan empati yang tinggi sehingga mendorong setiap orang untuk menolong orang lain. Kearifan lokal adalah nilai-nilai sikap yang mendasari perilaku seseorang , yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur budaya kita. Nilai-nilai luhur budaya kita dapat dilestarikan dengan jalan mewariskan dari generasi tua ke generasi muda melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan itu ditentukan oleh kebudayaan masyarakat dimana proses pendidikan itu berlangsung. Kearifan lokal diperlukan untuk terciptanya ketertiban, kedamaian, keadilan, mencegah konflik, kesopanan, kesejahteraan, ilmu pengetahuan, pendidikan, pengembangan sistem nilai, pengembangan kelembagaan, dan perubahan tingkah laku. dan terdapat norma sosial yang menjunjung perdamaian, kebersamaan dan gotong royong. Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kepada anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira , bekerja keras, tidak mudah terpengaruh, nilai – nilai lokal mengenai pedoman diri, ajaran budi pekerti dalam suluk – suluk, waspada, selalu ingat pada Tuhan merupakan contoh kecil dari kearifan lokal. III. Hasil dan Pembahasan 4 keluarga yang diteliti sama – sama tinggal di lokalisasi Sunan Kuning Semarang. 3 keluarga tersebut usahanya sama yaitu bisnis di bidang prostitusi. Keluarga pertama dan kedua kepala keluarga sebagai mucikari mempunyai beberapa anak asuh, berjualan minuman keras, dan membuka bisnis karaoke. Tempat usaha mereka jadi satu dengan rumah mereka. Bagian rumah mereka terdiri dari ruang tamu, ruang bebas, dapur dan kamar tidur. Masih menjadi satu bangunan dengan rumah utama sebelah kanan dibuat menjadi beberapa room karaoke, dan di belakang dibuat kamar – kamar yang terdiri dari 5-8 kamar tempat melakukan transaksi seksual anak asuhnya dengan para pria hidung belang. Sedangkan keluarga yang ketiga ini berbisnis karaoke di lingkungan lokalisasi dan kebetulan tempat usahanya terpisah beberapa gang dengan tempat tinggal utamanya. Keluarga pertama memiliki kesamaan masa lalu yang suram meski sekarang secara ekonomi mereka masuk kategori mampu. Bisnis keluarga ini adalah membuka usaha karaoke yang terpisah dari tempat tinggal intinya. Keluarga ini mempunyai 2 anak usia sekolah . anak – anaknya tergolong sukses dalam sekolahnya. Anak – anaknya juga mendapatkan pelajaran tambahan di luar jam sekolahnya. Kedua orangtuanya ketika kecil sama – sama dibesarkan di lokalisasi Sunan Kuning. Kondisi ini membuat keluarga ini memiliki kesamaan dan cita – cita dalam membangun rumah tangga dan membesarkan anak – anaknya di tengah lingkungan yang masuk kategori “high risk”. Mereka sama – sama tidak ingin anak mereka merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan ketika mereka masih kecil. Anak – anak sudah setiap hari terkena paparan seksual, kekerasan baik simbolik maupun nyata, alkohol , bahkan pembunuhan menjadi hal yang sudah biasa ( habitualy ). Dari bangun tidur mereka sudah terbiasa dengan para WPS yang berpakaian mini, merokok, bau alkohol yang menyengat bahkan kondom yang berserakan bekas pemakaian para pria hidung belang dengan WPS . Tak luput juga kata – kata kotor dan menggoda yang mereka dengar sejak bangun tidur hingga mereka tidur lagi. Bahkan anak – anak ini kerap tidur sekamar dengan tumpukan botol minuman keras. Bagaimanapun keluarga ini memiliki faktor – faktor yang beresiko yang berasal dari pengaruh lingkungan yang negatif. Hal yang menguatkan mereka selain kesamaan masa lalu, cita – cita, penerimaan diri, faktor religi adalah “ugeman jawa” yang penuh kearifan yang kini sering disebut sebagai kearifan lokal yang ditularkan dari orang tua mereka dahulu yang kemudian digunakan dalam pendidikan anak – anaknya di rumah seperti konsep tentang pedoman diri, hakekat diri, makna kehidupan Jawa, narimo ing pandum, takdir, darma, dan karma, menghindari dusta yang semua itu memberi makna yang positif yang dapat meningkatkan resiliensi keluarga tersebut. Untuk menghindari anaknya dari pengaruh negatif lokalisasi keluarga ini menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus yang memberikan muatan agama yang lebih dibandingkan dengan sekolah negeri biasa. Selain itu orang tua juga masih memberi tambahan les baik itu keluar maupun mendatangkan guru les ke rumah. Orang tua juga menerapkan jadwal harian yang begitu ketat pada anak – anaknya selain menerapkan pendidikan keagamaan untuk mengajarkan anak mana yang baik dan mana yang tidak. Nilai – nilai kearifan lokal juga sering diajarkan oleh orang tua kepada para anaknya ketika mereka mengobrol santai. Saling menghargi, saling menjaga perasaan, saling menjaga hubungan suami istri merupakan cara – cara yang digunakan keluarga ini untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Keluarga ini menganggap bahwa kebersamaan merupakan suatu hal yang harus dijaga, oleh karena itu mereka berusaha untuk meluangkan waktu bersama keluarga. Keluarga ini merasa bahwa keluarga ini tidak akan mampu berjalan tanpa adanya komunikasi yang baik. Melalui komunikasi yang sehat keluarga ini merasa mampu menjaga kepercayaan satu sama lain. Mengambil hikmah dari tinggal di lingkungan lokalisasi, menguatkan faktor religi, menyekolahkan anak pada sekolah yang bermuatan agama, mengajarkan nilai – nilai kearifan lokal, menciptakan komunikasi yang terbuka, sehat dan kuat dalam keluarga, saling menghargai, saling menghormati, menjaga perasaan, menjaga hubungan antara suami istri, menjaga kepercayaan adalah upaya – upaya yang dijalankan keluarga sebagai agen untuk mempertahankan resiliensi keluarganya agar tidak terpengaruh struktur yang ada , dalam hal ini adalah lingkungan lokalisasi yang sarat dengan “high risk” . Melalui upaya – upaya tersebut keluarga ini mampu bertahan dari pengaruh buruk lingkungan dan selalu mencari jalan keluar dari tiap permasalahan yang ada tanpa melibatkan unsur negatif lokalisasi. Melalui upaya – upaya tersebut pula maka habituasi anak – anak mereka juga tidak terpengaruh oleh struktur yang ada. Keluarga kedua ini mempunyai 2 anak usia sekolah. Kebetulan rumah yang mereka tinggali jadi satu dengan tempat karaoke, dan juga bagian belakang terdapat beberapa kamar sebagai tempat berlangsungnya transaksi seksual. Selain mempunyai tempat karaoke yang menjadi satu dengan timpat tinggalnya juga sebagai mucikari yang mempunyai beberapa anak asuh. Keluarga ini juga masih membuka usaha masakan matang. Keluarga ini sukses dalam mendidik anak – anaknya. Kedua anaknya sukses dalam pendidikan dan perilaku. Keluarga ini dalam menjalani hidupnya lebih berpegang pada prinsip – prinsip hidup yang diyakininya. Keluarga ini lebih berpegang pada “ugeman” jawa yang diwariskan turun temurun. Ugeman sendiri berarti sesuatu yang harus dipegang. Sebagai contoh ugeman Jawa yang sarat dengan nilai – nilai kearifan antara lain :” putra iku tiru bapa buyung idham – idhaman wong tuwa kang becik. Dene wong ala iku ora bakal mikir kepriye bakal kedadeyane anak tembe mburi”. Artinya bahwa orang tua yang baik bercita – cita agar anaknya mengikuti harapan ayah dan ibunya. Sedangkan orang tua yang buruk bersikap sebaliknya, yaitu membiarkan anak – anaknya begitu saja di kemudian hari. “Wong tuwa kudu memulung kang prayoga marang putra wayah”. Artinya bahwa orang tua harus mengajarkan yang baik dan pantas kepada anak cucu. Ada juga ugeman lain dari orang tua mereka yang dipegang teguh oleh keluarga ke dua ini yaitu bahwa ada 2 bahaya yang mengancam cara hidup manusia yaitu hawa nefsu dan egoisme ( pamrih ). Oleh sebab itu manusia harus mengontrol nafsunya dan melepaskan pamrihnya. Nafsu adalah perasaan kasar karena ia menggagalkan kontrol diri manusia dan membelenggunya secara buta kepada dunia. Nafsu – nafsu menurut orang tua mereka akan memperlemah manusia karena memboroskan kekuatan – kekuatan batin tanpa guna. Nafsu yang membahayakan menurut orang Jawa ada lima yang disebut malima yaitu lima nafsu yang terdiri dari madat, madon, minum, mangan, dan main. Mereka percaya untuk mengontrol nafsu – nafsu adalah berguna untuk melakukan sekedar laku tapa sedikit yaitu mengurangi makan dan tidur, menguasai diri di bidang seksual dan lain sebagainya. Tapa lahiriah bisa memperkuat kehendak dalam usaha untuk mempertahankan keseimbangan batin agar berkelakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan sosial. Bahaya kedua yang harus diperhatikan adalah pamrih. Pamrih terutama terlihat dalam 3 nafsu yaitu senantiasa ingin menjadi orang yang pertamaa ( nefsu menange dhewe ), menganggap diri selalu betul ( nefsu benere dewe ), dan hanya memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri ( nefsu butuhe dhewe ). Sikap – sikap lain yang tercela menurut ugeman Jawa adalah kebiasaan untuk menarik keuntungan sendiri dari tiap situasi tanpa memperhatikan orang lain ( ngaji mumpung ) atau untuk mengira bahwa karena jasa – jasa tertentu kita mempunyai lebih banyak hak dari yang lainnya ( dumeh ). Kebalikan dari sikap pamrih adalah sepi ing pamrih. Manusia itu sepi ing pamrih apabila ia makin tidak perlu lagi gelisah dan prihatin terhadap diri sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki serta hatinya mantap dan tenang. Ugeman lain yang sering mereka tanamkan pada keluarganya adalah orang hendakany eling akan Allah dan selalu bersikap mawas diri ( waspada ). Orang hendaknya mempercayakan diri pada bimbingan Allah dan percaya kepadaNya ( mituhu ). Menurut mereka siapa yang berlaku demikian maka dengan sendirinya akan menemukan sikap yang tepat dalam menyikapi semua masalah yang dihadapinya. Sikap – sikap yang mereka tanamkan dalam anggota keluarganya antara lain sabar, nrima, iklas ( rila ), jujur ( temen ), dan sederhana ( prasojo ) . Sabar itu artinya maju dengan hati – hati. Nrima artinya mampu bereaksi secara rasional ketika mengalami kesulitan hidup atau kekecewaan, tidak roboh dan menentang secara percuma. Iklas berarti bersedia melepaskan”keakuan” dan menyesuaikan diri dengan alamm semesta sebagaimana sudah ditentukan. Jujur berarti dapat mengandalkan janjinya. Siapa yang bersikap jujur juga akan bersikap adil, dan hatinya akan berani dan tentram. Sederhana atau prasaja berarti bersedia menganggap diri sendiri lebih rendah ( andhap asor ) dari orang lain. Keluarga ini yakin jika memiliki sikap – sikap tersebut tentunya anggota keluarganya akan berbudi pekerti yang luhur. Budi luhur berarti mempunyai perasaan tepat bagaimana cara bersikap terhadap orang lain, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan dan dikatakan. Siapa yang berbudi luhur akan bersikap baik tidak hanya terhadap orang baik melainkan juga terhadap orang buruk dan lingkungan yang buruk ( sapa becik den beciki, sapa ala den beciki ). Ugeman lain yang menjadi pegangan keluarga ini adalah mikul dhuwur, artinya memikul tinggi – tinggi. Seorang anak berkewajiban menjaga dan mengharumkan nama ayah, ibu, dan martabat keluarga. Menghindari perbuatan tercela dan senantiasa berbuat mulia adalah usaha seorang anak dalam rangka mikul dhuwur nama baik orang tuanya. Mendhem jero artinya mengubur dalam – dalam keburukan dan kekurangan orang tua, aib keluarga, dan kelemahan masyarakat. Sedapat – dapatnya anak harus dapat menutupi apa yang menjadi rahasia keluarga dan masyarakat. Kepala keluarga pada keluarga 2 ini menerapkan prinsip hidup yang berupa ugeman yang sarat dengan nilai –nilai kearifan secara konsisten kepada keluarganya. Selain itu ia juga sering menginternalisasikan prinsip – prinsip ini melalui nasihat dan dan obrolan kepada anggota keluarganya. Prinsip ini kemudian bergabung dengan keyakinan istri bahwa walaupun tinggal di lingkungan lokalisasi yang buruk mereka harus dapat membentengi anak – anaknya dari pengaruh buruk lokalisasi. Selain itu orang tua juga sepakat untuk menanamkan landasan keagamaan yang kuat bagi anak – anaknya. Meskipun keluarga 2 ini masuk dalam kalangan keluarga yang sederhana dalam hal ekonomi. Selain memiliki keyakinan dari dalam, keluarga ini juga melakukan upaya dari luar untuk menjaga keluarganya dari pengaruh negatif lokalisasi. Hal ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat terhadap anak dan mengikutsertakan anak dalam berbagai kegiatan. Orang tua selalu menanyakan pada anak – anaknya kemana mereka pergi, dengan siapa, dan apa yang dilakukannya. Jika orang tua merasa bahwa semua itu masih aman bagi anaknya maka mereka akan membiarkan. Sebaliknya jika orang tua merasa tidak aman maka mereka akan melarangnya. Jika keluarga ini mengalami permasalahan mereka mencoba menyelesaikan sendiri jika memang merasa dapat menanganinya baru jika tidak bisa mereka minta tolong satu sama lain. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga keluarga ini mempunyai prinsip – prinsip berupa ugeman yang diyakininya. Kesungguhan keluarga dalam memegang teguh ugeman ini menjadi hal yang penting dalam mewujudkan resiliensi keluarga dan menjaganya. Keluarga mampu membentengi anggota keluarganya dari pengaruh negatif lokalisasi dan mampu mencari jalan keluar permasalahan tanpa melibatkan unsur negatif lokalisasi. Keluarga ketiga ini mempunyai 3 orang anak. Di lingkungan lokalisasi keluarga ini membuka bisnis masakan matang untuk melayani tamu – tamu. Keluarga ini tak mampu mendidik anak yang pertama. Anak yang pertamanya kini yang sudah berumur 19 tahun tidak bisa menghindar dari dampak negatif lokalisasi. Anak tersebut kini menjadi seorang pengangguran, pemabuk, bahkan kini mempunyai seorang kekasih yang juga berprofesi sebagai seorang WPS. Kegagalan orang tua dalam menjaga resiliensi keluarganya ini lebih disebabkan karena kurangnya pengawasan orang tua terhadapa anak. Karena orang tuanya berjualan masakan matang maka sangat sibuk sekali hingga larut malam sehingga pengawasan terhadap anaknya menjadi kurang. Sedangkan faktor intern yang membuat anak pertamanya lepas kendalai dalam lingkungan lokalisasi seperti itu ternyat bahwa anak tersebut sering melihat hubungan seksual antara WPS dan para tamunya. Tapi terparah ketika dilakukan wawancara bahwa yang membuat anak ini menjadi terpukul adalah karena melihat secara langsung ketika orang tuanya sendiri sedang melakukan hubungan badan. Sehingga ia menganggap hal tersebut merupakan hal yang wa jar yang sejak kecil mereka dapatkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Kejadian ini kemudian membuat orang tua merefleksi dirinya dan mengubah pola pengasuhan dan pengawasan terhadap anak kedua dan ketiganya. Sehingga dalam mendidik anak kedua dan ketiganya ini mereka lebih protektif terhadap faktor resiko yang ada. Keluarga keempat yang menjadi fokus penellitian ini adalah keluarga yang sama sekali gagal dalam mempertahankan resiliensi keluarganya. Keluarga di sini sebagai agen yang gagal karena pengaruh struktur lingkungan yang lebih kuat. Keluarga ini mempunyai 3 anak laki – laki. Orang tua laki – laki kini sudah meninggal. Dulu ketika masih hidup berbisnis sebagai Biro Teknik Listrik, sedangkan istrinya berjualan masakan matang yang dijual pada warga di lingkungan lokalisasi. Keluarga ini tidak harmonis, ketika ayahnya masih hidup , ibunya juga menjalin hubungan dengan laki – laki lain dan diketahui oleh anak – anaknya. Orang tua perempuan begitu sibuk dengan pekerjaannya sendiri sehingga tak ada kontrol bagi ketiga anak laki – lakinya. Pendidikan agama kurang diperhatikan, bahkann perilaku orang tuanya pun tak patut ditirus . Anak – anaknya putus sekolah dan kini menjadi pengangguran, mabuk – mabukkan bahkan juga bertindak kriminal. Habitually yang mereka dapatkan sejak kecil dari lingkungannya akhirnya juga terwujud dalam tindakan dan perilakunya dalam kehidupan sosial. Ibunya yang kini menjadi single parent sudah tidak begitu mempedulikan masa depan anaknya. Akhirnya anakpun terhanyut dalam struktur lingkungan lokalisasi yang penuh dengan hal – hal yang negatif. Keluarg ini tak mampu bertahan dalam lingkungan dengan resiko yang tinggi. Bagi keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, mereka tidak hanya menghadapi faktor resiko yang berasal dari pengaruh negatif lokalisasi. Selain membentengi diri dari pengaruh lokalisasi, mereka juga harus berusaha menyelesaikan masalah dalam level individu dengan pasangan hidupnya maupun dalam level keluarga. Faktor resiko sendiri dedefinisikan oleh Luthar ( 1999 ) sebagai “mediator” atau variabel yang memfasilitasi terjadinya perilaku yang bermasalah. Dalam resiliensi keluarga berbagai keadaan telah diidentifikasikan sebagai faktor resiko. Faktor ini dapat muncul dalam level individu, keluarga, komunitas, dan kelompok masyarakat yang lebih luas. Bagi keluarga di lingkungan lokalisasi, komunikasi memegang peranan sentral. Kondisi ekonomi sama – sama menjadi faktor resiko bagi keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi. Bagi keluarga dengan ekonomi rendah mereka cenderung akan mengalah pada struktur yang ada, tapi bagi keluarga yang mempunyai modal ekonomi yang tinggi mereka cenderung bisa memfasilitasi anak – anak mereka di dalam rumah ataupun memberikan mereka tambahan pelajaran di luar rumah. Pengaruh yang negatif dari lingkungan lokalisasi ini sama – sama menjadi faktor resiko bagi keempat keluarga di atas. Keluarga pertama dan kedua berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan resiliensi keluarganya, menjaga keluarganya agar tidak terpengaruh. Sedangkan pada keluarga ketiga dan keempat kurang peduli terhadap faktor resiko ini. Sehingga pada keluarga ketiga terutama keempat mereka tidak menunjukkan upaya faktor protektif untuk membentengi keluarganya dari pengaruh struktur yang ada. Jika teori agen dan struktur dari Peire Bourdieu diterapakan dalam situasi sosial seperti paparan di atas maka tidak bisa diterapkan secara mutlak. Inti dari teori agen dan struktur Bourdieu terletak pada konsep habitus dan arena, dan hubungan dialektis antara keduanya (Swartz, 1997; Ritzer dan Goodman, 2010: 580). Kalau habitus ber-ada di dalam pikiran aktor—yang masih dalam alam kesadarannya, maka arena berada di luar pikiran aktor—yang meng-konstruksi pikiran aktor. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhu bungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinter-nalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasi-nya. Secara dialektif, habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang (Ritzer dan Goodman, 2010:581). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang menampak (appearance); tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti: cara kita makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Pada keluarga pertama dan kedua ternyata habitus dalam kehidupan keluarga ini tidak terpengaruh oleh struktur lingkungan sama sekali. Meskipun sejak kecil anak – anak terpapar kondisi struktur lingkungan yang buruk seperti perkataan kotor, minuman keras, penganiayaan, bahkan pembunuhan tapi semua itu tak mempengaruhi agen dalam melakukan tindakan. Sehingga 2 keluarga tersebut bisa dikatakan sebagai agen yang otonom tidak terpengaruh struktur. Agen ini bebas mengkonstruksi dunia sosial sesuai dengan persepsinya. Apalagi agen – agen ini kemudian mempunyai modal kultural , modal ekonomi ,dan modal sosial yang kuat yang mereka pupuk seperti terinternalisasinya nilai – nilai agama dan kearifan lokal maka bisa dipastikan bahwa kedua keluarga ini yang bertindak sebagai agen bisa menguasai arena yang ada yang dalam hal ini adalah lingkungan lokalisasi dengan”high risk”. Jadi antara agen dan struktur terkesan berdiri sendiri – sendiri. Jadi antara agen dan struktur tak saling mempengaruhi karena ada faktor yang lain yang telah disebutkan di muka tadi. Sedangkan untuk keluarga ketiga dan keempat teori agen dan struktur yang dicetuskan oleh Bourdieu ini bisa terbukti. Kedua keluarga ini mempunyai anak – anak yang mempunyai habitus sama dengan lingkungan sosial tempat ia dibesarkan. Struktur yang ada telah terinternalisasikan dan termanifestasikan pada jiwa anak – anak mereka karena tak ada faktor protektif dari keluarga yang memadai. Habitus pada mereka diperoleh sebagai hasil pendudukan jangka panjang pada dunia sosialnya. Habitus yang ada pada keluarga ketiga dan keempat yang selanjutnya disebut dengan agen ini dihasilkan oleh dunia sosial dimana ia hidup yaitu lokalisasi. Agen ini tidak mempunyai modal kultural, modal ekonomi maupun modal sosial yang memadai sehingga mereka tak bisa memenangkan pertempuran dalam arena sosial. Akhirnya struktur sosial lah yang mempengaruhi tindakan agen ini. Agen menjadi bersifat tidak otonom. Ada dialektika di sini sesuai dengan teori Bourdieu. Habitus agen dihasilkan oleh struktur sosial yang ada. Kebiasaan anak – anak yang mengikuti gaya di lingkungan lokalisasi seperti seks bebas, perkataan kotor, mabuk – mabukan sama seperti dengan apa yang agen alami dan peroleh dari arena lingkungannya sejak kecil. Akhirnya habitus agen yang demikian tersebut dilaksanakan dalam praktik tindakan sosial para agen dalam kehidupan kesehariannya sehingga membuat struktur yang ada di lingkungan lokalisasi semakin eksis. Sesuai dengan teori Bourdieu yang menyatakan bahwa habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu pihak habitus merupakan “struktur yang menyusun” dunia sosial. Di lain pihak ia adalah “struktur yang tersusun” oleh dunia sosial yang oleh Bourdieu habitus digambarkan sebagai dialektika internalisasi atas eksternalitas dan eksternalisasi atas internalitas”. Dalam kasus di atas yang dialami keluarga pertama dan kedua menunjukkan bahwa habitus memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial, tapi keberadaannya di dunia sosial dan struktur – strukturnya tidak menentukan keseragaman semua aktor / agen. Meskipun habitus merupakan struktur terinternalisasi yang membatasi “pikiran” dan pilihan “tindakan”, habitus tidak menentukan pikiran dan pilihan tindakan para aktor atau agen tersebut, karena para aktor / agen mempunyai faktor lain dalam dirinya yang lebih kuat seperti faktor kepercayaan dan nilai – nilai kearifan lokal dalam diri agen yang juga telah terinternalisasikan jauh lebih dalam di dalam jiwa agen / aktor dan telah menjadi faktor protektiv yang cukup representatif. Dalam hal ini habitus hanya “mengemukakan” apa yang seharusnya orang pikirkan dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dikerjakan. Habitus bekerja sebagai sebuah struktur tapi agen / aktor tidak hanya merespon secara mekanik terhadapnya atau struktur – struktur eksternal yang bekerja terhadap mereka agen menurut pengamatan empirik dalam penelitian ini sebagian tetap menjadi agen / aktor yang otonom yang bisa melakukan persepsi dan mengkonstruksi dunia sosialnya berdasarkan posisinya di tempat sosial tanpa dikekang oleh struktur yang ada tentunya dengan melibatkan modal kultural ( nilai – nilai kearifan lokal dalam penelitian ini ), modal sosial, maupun modal ekonomi untuk menguasai dan memenangkan arena pertarungan sosial. IV. Simpulan dan Saran Bagi keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi, kehadiran lokalisasi yang menyatu dengan kehidupan mereka menimbulkan tantangan yang berat dan unik . Banyaknya wisma, bar, peredaran narkoba, miras, transaksi seksual yang berlangsung terbuka, perkataan kotor yang menyangkut hal seksual, kekerasan, free sex , dan pergaulan yang cenderung keras membuat keluarga yang tinggal dalam lingkungan lokalisasi merasa harus mempunyai faktor protektif yang kuat dalam menghadapi faktor resiko yang tinggi. Mereka harus melakukan pengawasan dan usaha yang ekstra untuk menjaga agar anggota keluarganya tidak terjerumus dalam struktur yang ada yang membawa pengaruh yang negatif. Usaha – usaha protektif itu meliputi pengawasan ekstra pada anak – anak, memperkuat kepercayaan antar anggota keluarga, membiasakan perilaku agamis, sampai dengan menumbuhkan nilai – nilai kearifan lokal yang ada untuk menghadapi faktor resiko yang mengancam. Penginternalisasian nilai – nilai kearifan moral yang terkandung dalam nilai – nilai lokal menjadi hal sangat krusial dan urgent bagi keluarga yang masuk dalam lingkungan “high risk” ini Bagi keluarga yang mempunyai faktor protektif yang tinggi mereka akan menjadi agen yang otonom yang tidak terpengaruh oleh struktur lingkungan yang ada, sebaliknya bagi keluarga yang tidak mempunyai faktor protektif yang baik mereka cenderung akan terbawa oleh aliran struktur yang ada . Jadi tak selamanya terjadi dialektika antara agen dan struktur seperti yang diungkapkan oleh Bourdieu melalui teori agen dan strukturnya.. Tak selamanya struktur mempengaruhi agen. Habitus bekerja sebagai sebuah struktur tapi agen / aktor tidak hanya merespon secara mekanik terhadapnya atau struktur – struktur eksternal yang bekerja terhadap mereka agen menurut pengamatan empirik dalam penelitian ini sebagian tetap menjadi agen / aktor yang otonom yang bisa melakukan persepsi dan mengkonstruksi dunia sosialnya berdasarkan posisinya di tempat sosial tanpa dikekang oleh struktur yang ada tentunya dengan melibatkan modal kultural ( nilai – nilai kearifan lokal dalam penelitian ini ), modal sosial, maupun modal ekonomi untuk menguasai dan memenangkan arena pertarungan sosial. Secara praksis penelitian ini diharapkan bisa dijadikan rangsangan bagi para pemangku kepentingan untuk memberi perhatian yang lebih pada perkembangan anak – anak di lingkungan lokalisasi ini tidak hanya para WPS yang mendapat perhatian khusus. Anak – anak yang terpampang aktivitas seksual dan kekerasan simbolik di lingkungan lokalisasi ini sudah selayaknya mendapat perhatian yang lebih oleh pihak – pihak yang berkompeten di dalamnya agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dalam dunia sosialnya yang wajar sehingga bisa menjadi penerus bangsa yang tangguh pula. Bagi orang tua yang memang tinggal di lingkungan lokalisasi untuk bisa meningkatkan faktor protektiv pada keluarganya untuk menghadapi faktor resiko yang tak kalah besar dalam lingkungan lokalisasi agar tidak terbawa oleh struktur negatif yang ada. DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre .1998. (Terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko, 2010). Dominasi Maskulin, Yogya-karta: Jalasutra. Candra , S. 2009 . Re s i l i ens i . Di aks e s pada t angga l 27 Apr i l 2013 di akses dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/resiliensi.html download 27 april 2013 Desmita. 2006. Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Goode, J.W. 1985. Sosiologi keluarga. Jakarta: PT. Bina Aksara Hull, H.T. 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Jenkins, Richard .1992. (Terjemahan Nurhadi). 2004. Membaca pikiran pierre bourdie, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Kalil, A. (2003). Family resilience and good child outcomes: A review of the literature. New Zealand: Centre for Social Research and Evaluation, Ministry of Social Development Te Manatu Whakahiato Ora Kleden, Ignas (2005) “Habitus: Iman dalam perspektif cultural production” dalam RP Andrianus Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2010. (Terjemahan Nurhadi). Teori sosiologi: Dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2011.. Teori sosiologi modern. Jakarta : Kencana Prenada media Group Schissel,R., & Fedec, K.(1999). The selling of innocence: The gestalt of danger in the lives of youth prostitution. Canadian Journal of Criminology 41(1), 15-20 Seng, M.J. (1995). Child sexual abuse and adolescent prostitution: A comparative analysis. adolescence; ProQuest Psychology Journals Willis, M. B., & Levy, B.S. (2002). Child prostitution: Global health burden, research needs, and interventions. The Lancet; ProQuest Psychology Journals. Yin, R. K. (1994). Case studi research: Desain & methods. Thous & Oaks: Sage Publications 186 INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010.Resiliensi pada keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi Dupak, Bangunsari Wirawan, IB .2012. Teori – teori sosial dalam tiga paradigma. Jakarta : Kencana Prenada Media

1 komentar: