Kamis, 09 Mei 2013


ANATOMI ETNOMETODOLOGI
(HAROLD GARFINKEl )

A.   Biografi Harold Garfinkel
Garfinkel dilahirkan di Newark, New Jersey, pada 29 Oktober 1917. Ayahnya adalah pengusaha kecil yang menjual barang-barang rumah tangga untuk keluarga imigran. Ayahnya ingin Garfinkel belajar dagang, namun Garfinkel ingin masuk kuliah. Garfinkel kemudian mengikuti kemauan ayahnya, tetapi dia juga ikut kuliah di Universitas Newark. Karena kuliahnya kebanyakan diajar oleh lulusan dari Columbia, maka perkuliahan itu sangat berkualitas dan teoritis, sebab para pengajar itu kurang pengalaman praktis. Orientasi teoritis berikutnya dan orientasi spesifiknya bisa dirunut kembali ke perkuliahan ini dan khususnya pada kuliah tentang “theory accounts”. “Bagaimana” Anda membuat kolom dan angka dapat dijelaskan (kepada supervisor)?” adalah pertanyaan besar menurut Garfinkel (Rawls, 2000) yang juga penting adalah fakta bahwa Garfinkel bertemu dengan mahasiswa Yahudi lainnya di Newark yang mengambil kuliah sosiolog dan kelak menjadi ilmuan sosial.
Garfinkel adalah sosiolog yang dilahirkan di Newark, New Jersey, Amerika Serikat. Ia pernah bergabung dengan angkatan perang AS ketika perang dunia ke dua, namun kemudian dia mendapatkan gelar doktor pada tahun 1952 di Harvard University. Setelah lulus pada 1939 Garfinkel menghabiskan musim panas di kamp kerja Quaker di Georgia. Di sana dia mengetahui bahwa University of North Carolina memiliki program sosiologi yang juga diorientasikan ke tindak lanjut proyek-proyek kerja publik seperti yang dilakukan oleh Garfinkel memilih Guy Johnson sebagai penasihat tesisnya dan minat Johnson pada relasi ras membuat Garfinkel memilih tesis pembunuhan interrasial. Dia juga mengenal berbagai teori sosial, terutama karya-karya fenomenolog dan The Structure of Social Action (1937) karya Talcott Parsons. Sementara sebagian besar mahasiswa di North Carolina pada saat itu tertarik pada statistika dan “sosiologi ilmiah”, Garfinkel lebih tertarik pada teori, khususnya teori Florian Znaniecki tentang tindakan sosial dan arti penting dari sudut pandang aktor. Garfinkel pada 1942 ikut wajib militer dan bergabung dengan angkatan udara. Dia akhirnya diberi tugas pelatihan pasukan untuk berperang dengan tank di Miami Beach. Garfinkel hanya mempunyai potret tank dari majalah Life. Tank-tank sesungguhnya semuanya dipakai bertempur. Orang yang senang dengan detail empiris konkret sebagai pengganti penjelasan teori kini mengajar pasukan riil yang akan segera terjun untuk berperang dengan tank khayalan di dalam situasi dimana hal-hal seperti kedekatan pasukan dengan tank khayalan itu bisa menentukan hidup dan mati. Dampak dari pengembangan pandangannya ini hanya dapat dilayangkan. Dia harus melatih pasukan untuk melempar granat ke trek tank-tank khayalan; menembak tank-tank khayalan. Tugas ini memberi problem baru bagi Garfinkel untuk memberikan penjelasan yang memadai tentang tindakan dan akuntabilitas yang pernah dipelajarinya di North Carolina sebagai isu teoritis. (Rawls, 2000). Ketika perang berakhir, Garfinkel melanjutkan studi ke Harvard dan belajar kepada Talcott Parson. Sementara Parsons menekankan pentingnya kategori abstrak dan generalisasi, Garfinkel menjadi terkenal di bidang tersebut, hal ini lalu menjadi perdebatan hangat dalam sosiologi. Akan tetapi, dia segera tertarik dengan demonstrasi empiris dari arti penting orientasi empirisnya ketimbang memperdebatkannya secara abstrak. Saat masih menempuh studi di Harvard, Garfinkel mengajar selama dua tahun di Princeton, dan setelah memperoleh gelar doktornya dia pindah ke Ohio State, dimana dia mendapat tugas proyek studi kepemimpinan di penerbangan dan kapal selam. Riset itu diperpendek karena dananya dikurangi, tetapi kemudian Garfinkel bergabung dengan proyek riset juri di Wichita, Kansas. Dalam persiapan untuk pertemuan proyek pada pertemuan American Sociologial Association tahun 1954, Garfinkel memakai istilah etnometodologi untuk mendeskripsikan hal-hal yang menarik baginya tentang pertimbangan juri dan kehidupan sosial pada umumnya. Pada musim gugur 1954 Garfinkel mendapat posisi di UCLA, posisi yang dipegangnya sampai dia pensiun pada 1987. Sejak awal dia menggunakan istilah etnometodologi dalam seminar-seminarnya. Sejumlah mahasiswa tertarik dengan pendekatan Garfinkel dan menyebarluaskannya ke seluruh Amerika Serikat dan akhirnya ke seluruh dunia. Yang paling menonjol adalah kelompok sosiolog, terutama Harvey Sacks, Emanuel Schegloff dan Gail Jefferson, yang karena terilhami oleh pendekatan Garfinkel, mengembangkan variasi etnometodologi yang terpenting analisis percakapan (Ritzer, 2008).
B. Konteks Sosial
Pemikiran Garfinkle lahir pada awal abad 20, yaitu sekitar tahun 1940-an dan baru dibukukan tahun 1967 dalam bukunya yang berjudul Studies in Ethnometodology . Saat itu Amerika Serikat sedang  gencar melakukan industrialisasi, tetapi saat itu juga dunia sedang dilanda Perang Dunia ke satu dan ( 1914 – 1918 ) dan Perang Dunia  Kedua  (1941- 1945). Pemikirannya tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial pada saat itu.
Sebagaimana kita ketahui konsep itu muncul tatkala Garfinkle yang juga murid Parson  dan Szuhtz melihat waktu itu dunia sedang dilanda perang besar.  Setelah selesai Perang Dunia Pertama,  Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi yang sangat berat. Pada saat itu di Amerika Serikat banyak terjadi persoalan sosial. Dari masalah pengangguran, tingginya kriminalitas, prostitusi,  munculnya kasus-kasus perceraian di masyarakat, hingga banyaknya orang yang mengidap depresi dan persoalan sosial lain yang mengidab masyarakat urban yang sekular. Itulah problema masyarakat modern yang menjadi perhatian ilmuwan social pada masa itu.  Dia yang juga pada tahun 1942 mengikuti wajib militer  begitu mengamati kehidupan pribadi teman – temannya bagaimana mereka  menentukan hidup dan mati  dan ini sesuai dengan apa yang dipelajarinya  dan dijelaskan pada tindakan dan akuntabilitas yang pernah ia pelajari di North Carolina sebagai isu teoritis. Di sini ia benar – benar melihat secara empiris segala kehidupan nyata.
Keadaan itu nampaknya mendorong Garfinkel  mengamati everyday life kehidupan manusia, terutama mengenai  bagaimana individu itu melakukan percakapan. Ia mulai memusatkan pemikirinnya  pada persoalan bagaimana berbagai struktur  itu tercipta dalam kehidupan sehari – hari. Dia tak tertarik pada fenomena seperti struktur itu sendiri. Kemudian ia mengembangkan teori Psikologi sosial. Pada dasarnya dia percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa memberikan solusi terhadap berbagai persoalan . Saat itu Garfinkel berasumsi bahwa  dunia nyata penuh dengan masalah (sesuai dengan keadaan saat itu), dan individu mempunyai metode sendiri dalam menyelesaikan kehidupan sehari – harinya. Pada kondisi saat Itu Amerika yang pasca perang dunia II memasuki masa urbanisasi dan industrialisasi banyak membawa masalah dalam kehidupan berbagai individu. Tapi ia melihat  bahwa  dunia sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus menerus.  Menurutnya, individu berusaha dengan akal sehatnya untuk terus menciptakan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya studi  Etnometodologi. Etnometodologi  merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu,  dan bertindak berdasarkan situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri.
Teori Garfinkel  lahir dari latar belakang konteks sosial pada masa itu dimana Blumer ingin  membantu merasionalkan eksploitasi, imperialisme domestik dan internasional, serta ketimpangan sosial yang dipandang dari segi aktor sebagi aktor yang bertindak atas dasar kesadarannya sendiri.  Dengan demikian, liberalisme politik sosiolog awal ini mengandung implikasi konservatif yang sangat besar. Beberapa faktor yang berperan penting dalam perkembangan teori Garfinkel  adalah pada konteks sosial industrialisasi dan urbanisasi yang banyak dialami masyarakat Amerika pada masa itu. Ia melukiskan beberapa konteks dasar yang mendorong bangunan teori yang menyangkut perubahan sosial. Menurutnya, sosiologi merupakan respon moral dan intelektual terhadap masalah kehidupan dan terhadap pemikiran lembaga dan keyakinan orang Amerikaâ. Garfinkel seperti juga Blumer  sebagai  Sosiolog Amerika lebih cenderung mengarah pada upaya studi ilmiah terhadap proses-proses sosial jangka pendek daripada membuat interpretasi perubahan historis jangka panjang. Teorinya bersifat menerangkan bagi masyarakat yang tengah menjalani proses industrialisasi dan juga urbanisasi dimana hubungan antar subyek menjadi penuh makna. Interaksi yang terjadi diantara mereka penuh dengan makna simbol. Perubahan sosial terjadi sangat cepat . Komunikasi antar individu juga intens  sehingga juga membutuhkan pemecahan berdasarkan kajian  tertentu secara tepat . Urbanisasi dan industrialisasi membawa dampak pada individu secara mendalam dalam berbagai konteks kehidupannya, dimana manusia sebagai individu menjadi sangat dinamis dalam berinteraksi sesamanya ataupun dengan struktur makro masyarakat.

C.   Pemikiran Yang Mempengaruhi Teori Garfinkel
Sebagai suatu pendekatan, etnometodologi bermula dari filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Husserl. Fenomenologi transendental dibedakan dari fenomenologi eksistensial. Persamaan keduanya terdapat pada perhatian mereka yang bertemu mengenai kesadaran (consciousness). Pada dasarnya, usaha fenomenologis adalah menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul, tanpa memperhatikan benar atau salahnya kesadaran tersebut. Pandangan ini sekaligus menjadi salah satu landasan etnometodologi. Landasan kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang natural attitude. Oleh Husserl, natural attitude disebut juga commonsense reality. Melalui konsep ini, Ego berada dalam situasi tertentu menggunakan penalaran yang bersifat praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, konsepsi Schutz bahwa interaksi sosial merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini kemudian membangkitkan permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana interpretive procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial. Selanjutnya, ide-ide ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli sosiologi, yang selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada intinya, idenya menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses interaksi sosial.
Harold Garfinkel dipertengahan tahun 1950-an, memperkenalkan istilah etnometodologi dalam bidang penelitian sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari sosiologi fenomenologi. Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda dimana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang diterima secara taken for granted dimana mengesampingkan keragu-raguan, kecuali realitas yang dipermasalahkan. Pembahasan realitas common sense Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Yang dimaksud realitas sosial oleh Schutz adalah “keseluruhan objek dan kejadian-kejadian di dunia kultural dan sosial, yang dihidupkan oleh pikiran umum manusia yang hidup bersama dengan sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi sosial di mana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan sejak permulaan (Poloma, 1994).
Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat dimana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parsons ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Istilah etnometodologi menjadi populer ditahun 1960 sampai dengan 1970-an dan sekarang semakin meluas diterima sebagai metode ilmiah. Para peneliti dari aliran ini mulai memperlihatkan praktik interpretif guna membuktikan bahwa objektivitas dunia dicapai dan dikelola secara lokal dengan merujuk kepada sumber daya sosial secara luas (sosial dan kultural) yang menghubungkan apa yang disebut oleh Garfinkel sebagai ‘seni’ dengan struktur interpretif yang sudah mapan. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast.

D.     Pertanyaan dalam Teori
Metode kualitatif memiliki beberapa varian berdasarkan landasan teoritiknya yaitu, fenomenologi, interaksionisme simbolik, etnometodologi dan etnografi. Keempat varian ini memiliki sebuah kesamaan dasar yaitu memberikan tekanan pada pengalaman individu atau subjek dalam menjalani dunia keseharian mereka. Paper ini secara khusus akan mendiskusikan etnometodogi dalam khasanah penelitian ilmu sosial yaitu penelitian kualitatif. Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosial keseharian yang diterima secara taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an (Poloma: 1994 : 281). Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung.
Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada mata pelajaran yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan kehidupannya sehari-hari. Subyek etnometodologi bukanlah anggota suku-suku terasing melainkan orang-orang dalam berbagai macam situasi pada masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka (Moleong, 2001).
Bernard Raho (2008), dalam bukunya yang berjudul Teori Sosiologi Modern menyebutkan bahwa etnometodologi sebagaimana halnya dengan interaksionisme simbolik dan fenomenologi adalah sebuah teori yang bernaung di bawah paradigma definisi sosial. Dalam bentuk aslinya, teori ini sebetulnya merupakan kritik terhadap aliran-aliran  utama sosiologi yang menurut Garfinkel terlalu memaksakan kategori-kategori sosial kepada orang biasa. Sosiologi-sosiologi konvensional melukiskan kembali apa yang dilakukan oleh orang-orang biasa dan menganggap penjelasan mereka tidak sempurna. Misalkan struktur sosial, merupakan konsep yang sebenarnya berangkat dari kesadaran orang akan struktur dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri diluar sana.
Selanjutnya Raho menjelaskan, etnnometodologi menganjurkan sebuah pendekatan yang mengajak sosiolog untuk  membuat investigasi atau menemukan bagaimana orang – orang biasa sebagai bagian dari anggota masyarakat  mengkonstruksi dunia sosial mereka.
Harold Garfinkel dapat dimasukkan pada sosiolog humanis seperti halnya Blumer yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai subyek. Namun Garfinkel lebih menekankan pada studi tentang etnometodologi, yaitu metode studi yang digunakan untuk menguraikan dan meneliti aktifitas mereka sendiri tanpa reduksi subyektif peneliti. Etnometodologi berusaha menemukan esensi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, karena itu metode yang dipakai adalah partisipan observasi.
Pertanyaan yang diajukan oleh Garfinkel adalah Apakah tindakan manusia dipandang rasional dalam menyelesaikan masalah kehidupan  sehari – harinya,   Apakah menggunakan penalaran praktis atau dengan logika formula yang sudah ada dalam struktur tertentu ?
 Garfinkel justru menentang konsep dasar sosiologi mengenai keteraturan, karena keteraturan tersebut melalui proses yang panjang multi kompleks yang justru tak teratur. Contohnya dalam percakapan, ada perbedaan antara apa yang benar-benar diucapkan dengan apa yang diperbincangkan. Garfinkel dengan teori tindakan sosial mengatakan bahwa seseorang didalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Ia tak sependapat dengan teoritisi  sosial konvensional yang menganggap bahwa aktor  dipaksa atau ditentukan oleh struktur  dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tak punya kebebasan  untuk membuat pertimbangan. Ia menolak anggapan bahwa aktor “ sebagai si tolol “ yang tak punya pertimbangan dalam melakukan tindakannya.  Menurutnya obyektivitas fakta sosia sebagai prestasi anggota. Keteraturan dalam struktur  adalah prestasi anggota sebagai produk metodologis anggota. Realitas obyektif fakta sosial adalah fenomena fundamental sosiologi karena merupakan produk masyarakat setempat  yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti, menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda ( Garfinkel 1991 : 11 ).  Penjelasan adalah cara aktor  melakukan sesuatu seperti mengkritik, mendiskripsikan, serta mengidealkan situasi tertentu.
Tujuan studi institusional etnometodologi adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi. Sementara itu, analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan.
 Percakapan sebagai unsur dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial. Tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.
Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Di antara para pakar ini Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan (Furchan, 1992 : 39). Di sini seorang koroner mengumpulkan bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional sebagaimana yang telah disentil di bagian pengantar di atas. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Furchan, 1992).

E.    Proposisi Teori
Dalam menentukan proposisi etnometodologi, Raho (2007) menyatakan terdapat dua asumsi yang menjadi acuan. Dua asumsi tersebut yaitu; keteraturan sosial yang dipertahankan dengan memakai teknik yang memberikan rasa (sense) terhadap aktor sehingga menghayati realitas yang sama dan substansi dari realitas yang sama itu kurang penting dalam memecahkan masalah keteraturan daripada penerimaan aktor akan sejumlah teknik yang sama. Berdasarkan dua hal itu, maka proposisi etnometodologi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Semakin aktor gagal menyetujui penggunaan teknik interaktif semacam tindakan refleksif, semakin besar kemungkinan interaksi akan terganggu dan kemungkinan keteraturan sosial dapat dipertahankan juga semakin kecil.
2.      Semakin interaksi beralih kepada visi realitas yang berbeda dan diterima begitu saja (taken for granted), semakin besar kemungkinan interaksi terganggu dan kecil kemungkinan keteraturan sosial dapat dipertahankan. 
F.    Jenis Realitas
Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi yang fundamental. Objektivitas fakta sosial dianggap merupakan prestasi anggota, yakni sebagai hasil aktivitas metodologis anggota. Salah satu pendirian utama Garfinkel adalah bahwa mereka dapat dijelaskan secara reflektif (Ritzer, 2008). Penjelasan merupakan cara aktor mengungkapkan sesuatu, seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Perhatian etnometodologis disini adalah menganalisa penjelasan actor dan bagaimana penjelasan itu disampaikan. Kebanyakan dari interaksi manusia bersifat refleksif. Manusia menafsirkan bahasa isyarat, kata-kata, ucapan dan informasi lainnya dari satu sama lain sedemikian rupa dengan maksud untuk tetap mempertahankan pandangan tertentu mengenai realitas.
Tindakan dalam percakapan tak hanya verbal saja tapi yang non verbal seperti “keragu – raguan, gaduh, tersedu – sedu, mendehem, tertawa, berpantun dan rentetan tindakan non verbal lainnya  berkaitan erat dengan rentetan aktivitas dan makna tindakan. Bisa jadi apa  yang dikatakan pada waktu tertentu  tak sesuai dengan relaitas yang ada. Tindakan non verbal ini yang bisa membantu dalam menganalisa realitas yang sesungguhnya sedang dibangun antar aktor. Bahkan bukti-bukti yang berlawanan diinterpretasikan secara refleksif guna mempertahankan kepercayaan atau pengetahuan tertentu. Misalnya ketika kita mengucapkan selamat pagi kepada seseorang dan orang itu menjawab dengan jawaban yang sama, kita tidak sadar bahwa kedua belah pihak sedang mellakukan pekerjaan refleksif. Tetapi ketika orang lain itu cemberut dan tidak membalas sapaan kita, barulah kita sadar bahwa kita sedang membangun suatu realitas sosial tertentu namun gagal. Kita mungkin berusaha meneguhkan kembali dunia salam menyalam sebagaimana perisiwa tersebut dengan berusaha memberikan penjelasan yang seolah-olah membenarkan reaksi tidak tepat dengan mengatakan mungkin dia tidak mendengar suara saya atau mungkin sedang sakit sehingga keteraturan sosial tetap terjaga.
Konsep tentang refleksitas ini memusatkan perhatian pada bagaimana orang-orang yang berada di dalam interaksi bertindak atau berusaha untuk mempertahankan asumsi bahwa mereka diarahkan oleh realitas simbolik atau tak nampak
G.   Lingkungan Realitas Sosial
Ritzer menyatakan bahwa etnometodologi sebagai salah satu perspektif mikro yang paling menentukan dalam sosiologi pun telah menunjukkan tanda-tanda keterbukaannya untuk bersintesis dan berintegrasi. Sejalan dengan pemikiran ritzer, Heritage (1984), menyebutkan bahwa etnometodologi jelas  bukan makrososiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi penganutnya pun tidak sebagai mikrososiologi. Dengan demikian meskipun pakar etnometodologi menolak memperlakukan aktor sebagai si tolol yang memberi pertimbangan, namun mereka tak yakin bahwa aktor mempunyai kesadaran diri dan perhitungan. Pada akhirnya, pakar etnometodologi tidak tertarik pada struktur mikro dan struktur makro. Mereka memusatkan perhatian pada praktik cerdik yang menghasilkan pemahaman terhadap tentang kedua jenis struktur itu. Jadi yang diperhatikan Garinkel dan pakar etnometodologi lainnya adalah cara baru dalam memahami struktur obyektif baik makro maupun mikro yang sejak lama sudah menjadi sasaran perhatian sosiologi (Maynard dan Clayman, 1991). Tapi menurut perspektif saya realitas sosial yang menjadi obyek kajian etnometodologi adalah realitas mikro karena memusatkan individu sebagai obyek kajiannya
Pusat perhatian etnometodologi adalah organisasi kehidupan sehari-hari atau masyarakat biasa yang abadi. Atau, cara baru dalam memahami struktur objektif baik mikro maupun makro yang sejak lama menjadi perhatian sosiologi. Etnometodologi memusatkan kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada prilaku nyata. Setiap masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki steriotipe dan ideologi khusus, termasuk ras, kelas sosial dan gender. Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideologi yang sangat populis.
H.   Aktor
Seseorang didalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Kita merupakan para aktor di atas panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya sekaligus dunia alam, bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar subjektif, artinya sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang dibentangkan dihadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati oleh siapa saja dari kita. Dan ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa. Etnometodologi menggangap aktor sebagai aktor yang otonom karena tindakan aktor tidak dipengaruhi struktur yang ada. Aktor dipandang sebagai individu  bebas yang rasional yang dalam menyelesaikan masalah sehari – harinya cenderung menggunakan penalaran yang praktis bukan logika formula yang ada dalam struktur itu sendiri. Aktor mempunyai kebebasan dalam memilih pertimbangan untuk melakukan tindakannya tanpa harus dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial.
I.      Penjelasan yang Ditawarkan
Realitas sosial dihasilkan ‘dari dalam’ melalui prosedur interpretif para anggotanya. Kondisi sosial para anggota bersifat selfgenerating. Sifat ini menunjukkan dua sifat penting dari arti yang berhasil diungkap oleh peneliti. Pertama, arti sebelumnya yang bersifat indeks, yaitu arti yang tergantung pada konteks. Dalam arti, objek dan kejadian memiliki arti yang ambigu atau tidak tentu, tanpa konteks yang jelas. Hanya melalui penggunaannya yang bergantung pada situasi di dalam percakapan dan interaksi, objek dan kejadian menjadi berarti secara konkrit. Kedua, kondisi-kondisi yang memberikan konteks bagi arti itu sendiri bersifat selfgenerating. Kegiatan-kegiatan interpretif berlangsung secara simultan di dalam dan di sekitar setting yang menjadi orientasinya dan yang dideskripsikannya. Jadi, realitas yang dicapai secara sosial bersifat reflektif.
Bentuk dan sosial budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti, sebagaimana dalam etnografi baru (etnosains) bentuk tersebut dianggap sebagai susunan yang terdapat dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut. Tugas dan cara peneliti mengoreknya keluar lalu mendeskripsikannya adalah khas metode dari etnosains (Spradley 2006). Penelusuran terhadap akar pemikiran etnosains dalam antropologi bermula dari definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Ward Goudenough. Menurutnya, budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat. Budaya adalah satu bentuk hal-ihwal yang dimiliki manusia dalam pikirannya (mind), model yang digunakan untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan hal-ihwal tersebut. Definisi Goudenough ini banyak dipengaruhi oleh kajian-kajian linguistik. Dalam perkembangan selanjutnya definisi ini kemudian dioperasionalkan oleh pengikut antropologi kognitif dalam penelitian-penelitian etnografinya dan merupakan cikal bakal dari etnomenologi. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku, dan emosi. Karena itu, objek kajian antropologi (kognitif) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran (mind) manusia. Etnometodologi adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an. Pada awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu menyebar ke beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya di Inggris dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008), bahwa pentingnya etnometodologi disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan epistemologi. Etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi tradisonal. Kedua, etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une perspective de recherche) dan suatu sikap intelektual baru.
J.     Metodologi
Etnometodologi sebagai Metode Penelitian Kualitatif menggunakan metode intepretatif. Memiliki Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif. Etnometodologi memiliki keunggulan dalam mendekati kehidupan empirik, dalam hal ini ada program penekanan yang diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model interaktif antara peneliti dan actor sosial (observasi partisipasi). Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan in-depth interview, akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka. Setiap wacana percakapam dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal (Ritzer, 2008)
Dalam sudut pandang kita, hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. Tipe yang pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional dan analisis percakapan. Studi sosiologi konvensional tentang setting institusional memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formalnya dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Mereka menggunakan institusi untuk menyelesaikan tugas dan menciptakan institusi itu sendiri. Orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk mengahsilkan institusi. Sedangkan analisis percakapan berusaha memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis (Zimmerman, 1988). Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang membatasi percakapan.
Ritzer (1996), menggambarkan sejumlah variasi kerja etnometodologi diantaranya :
1. Studi etnometodologi berlatar belakang analisis institutional (studies of institutional setting). Studi etnometodologi yang pertama kali dilakukan terjadi dalam setting ‘sambil lalu’ dan non-institutional, seperti di rumah. Kemudian, studi etnometodologi berkembang untuk mempelajari praktik-praktik keseharian dalam setting institutional yang lebih luas, seperti di pengadilan, klinik medis dan kantor polisi. Tujuan studi semacam ini untuk memahami cara masyarakat dalam setting tersebut melakukan tugas-tugas resminya dalam proses pembentukan institusi.
2. Studi etnometodologi menaruh perhatian pada analisis percakapan (conversation analysis), dengan tujuan untuk memahami secara detail struktur fundamental dari interaksi percakapan.
Ritzer (1996) merangkum dasar-dasar analisis percakapan ke dalam lima premis, yaitu:
a. Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang detail. Data ini tidak hanya meliputi kata-kata tetapi juga keraguraguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat;
b. Detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodologi, tetapi oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri;
c. Interaksi umumnya dan percakapan khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para actor akan dilibatkan;
d. Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential.
e. Keterikatannya dengan interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Peneliti dalam etnometodologi tampaknya akan menjadi sosok partisan yang baik, penulis yang jujur, dan fasilitator yang bersahabat. Logika akademis yang dimiliki peneliti dalam etnometodologi akan diuji dengan pengalaman antarsubjek dalam proses dialog sehingga logika akademis akan berbaur dengan common sense masyarakat lokal. Metode etnometodologi menyiratkan sejumlah harapan yang wajar. Sekalipun metode ini tidak memiliki hubungan langsung dengan pembangunan teori baru, tetapi cara kerjanya dalam mengupas peran actor sosial akan cukup menyibak kekenyalan data sosial. Cara para aktor sosial menjalankan tugasnya dapat menjelaskan tempat mereka hidup, belajar menghadapi masalah, memilih alternatif, dan melaksanakan pilihannya secara konsisten.
Dalam metode etnometodologi, data dalam penelitian sosial adalah berupa tindakan aktor sosial yang meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit atau dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi tetap diakui dan dapat dikerjakan (percakapan melalui telepon, gelak tawa, tepuk tangan, pernyataan interaktif sampai pada formulasi ucapan). Sementara itu dikenal lima prinsip dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman (1978), yakni:
1) Pengumpulan dan analisis data yang sangat rinci tentang percakapan
2) Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya diatur oleh ahli etnometodologi akan tetapi pada mulanya oleh aktor sendiri
3) Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari actor
4) Kerangka percakapan fundamental adalah organisasi yang teratur
5) Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.
Secara metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan dalam dalam konteks yang wajar, sering menggunakan alat perekam. Asumsi dasar analisis percakapan terdiri dari:
1) Percakapan adalah landasan dari bentuk bentuk hubungan antar personal
2) Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah meresap; dan
3) Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.
Di dalam etnometodologi, peneliti yang ‘berasal dari luar’ harus dapat bersatu dan terlibat langsung dalam proses penelitian bersama-sama dengan ‘para aktor sosial setempat’. Peneliti harus bisa melebur di dalam komunitas masyarakat yang diteliti, dan karenannya harus sanggup berada bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti dalam satu bejana sosial yang kompleks. Hal yang lebih ditekankan dalam etnometodologi adalah peristiwa terjadi secara wajar di masyarakat. Dalam peristiwa itu berlangsung pola interaksi yang dapat dibaca dan diinterpretasi secara eksplisit. Pola interaksi yang dimaksud adalah interaksi orang-perorang (aktor sosial) dan interaksi antara orang dengan lingkungannya (institusi dan alam). Peneliti dan para aktor sosial akan terlibat didalam interaksi dan diskusi yang intens untuk merumuskan masalah yang dihadapi (Ritzer, 2008).
K. Mazhab
Dari beberapa uraian sebelumnya dan dengan melihat metodologinya  jelas bahwa Harold Garfinkel  dalam mengembangkan teori-teorinya berada pada  mazhab Cartesian karena dalam kajiannya mengandalkan rasio / kesadaran  ( rasionalisme ) dan menganggap kebenaran dari subyek.

L.   Bias atau Keberpihakan Teori
Kemunculan metode etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Peneliti konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi dimana kenyataan social tersebut berlangsung. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yaitu sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama.
Para sosiolog memandang etnometodologi terlalu memusatkan perhatian pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang sangat penting yang dihadapi masyarakat kini. Atkinson (1988), mengemukakan bahwa etnometodologi terus menyambut campuran ketidakpahaman dan permusuhan yang tak dapat disangkal yang perlu diperhitungkan apabila menyangkut teori, metode, dan tindakan empiris penelitian sosiologi. Ia yakin bahwa etnometodologi telah melupakan akar fenomenologisnya dan mengurangi perhatiannya terhadap kesadaran dan proses kognitif. Etnometodologi lebih memusatkan perhatian pada ciri struktur percakapan itu sendiri.
Etnometodologi mendapat kritik dari Pollner karena kehilangan refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas mengarah pada pandangan bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas pakar etnometodologi. Etnometodologi berada berada di pinggiran sosiologi. Artinya, ketika keberadaannya semakin diterima, pakar etnometodologi cenderung mengabaikan kebutuhan menganalisis karya mereka. Akibatnya, etnometodologi terancam bahaya kehilangan kemampuan menganalisis dan mengkritik dirinya sendiri dan hanya menjadi bidang lain dari teori yang sudah mapan saja.    
Menurut Raho (2007), bahwa dalam mengembangkan dan memperluas ide-ide, etnometodologi  mengemukakan pandangan yang berbeda tentang dunia. Sehingga, ia bisa menjadi paradigma alternatif dalam sosiologi. Namun untuk melihat pandangan yang berbeda tersebut dari konsep yang telah ada perlu menghubungkan antara etnometodologi dengan akar-akar intelektualnya.
Pertama, Jika interaksionisme simbolik menekankan proses penciptaan makna, namun mengakui adanya keberadaan dunia eksternal yang bersifat obyektif dalam bentuk norma, nilai, peran, dan struktur sosial. Akan tetapi etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana interaksi menciptakan diantara para aktor perasaan akan dunia faktual yang berada di luar sana. Kedua, Sedangkan analisis dramaturgi yang digagas oleh Erving Goffman, menekankan betapa pentingnya proses manajemen kesan dan tidak peduli dengan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dari aksi tersebut. Analisis ini berpusat pada bentuk interaksi itu sendiri dan bukannya pada struktur-struktur yang diciptakan, dipertahankan, atau diubah. Contohnya, Goffman tertarik membuat analisa tentang bagaimana aktor mengesahkan konsep tentang dirinya, membenarkan tindakan-tindakannya melalui isyarat, bagaimana mereka menjaga jarak dengan penonton, atau bagaimana memanipulasi untuk memperlancar keadaan. Meskipun etnometodologi setuju dengan konsep Goffman tentang teknik yang dilakukan aktor untuk menciptakan kesan dalam dunia sosial, tetapi minat etnometodologi bukanlah tentang manajemen kesan individu, melainkan bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Ketiga, Harus diakui bahwa banyak konsep etnometodologi yang diambil dari fenomenologi konsep Husserl dan Schutz. Namun etnometodologi menyesuaikan analisis fenomenologi dengan isu tentang bagaimana keteraturan sosial dipertahankan dengan praktek-praktek yang biasa dilakukan aktor untuk menciptakan sense bahwa mereka menghayati dunia kehidupan sehari-hari yang sama.
L.    Kelebihan dan Kelemahan Etnometodologi
Metode etnometodologi menurut Heritage (1984), memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode lainnya, diantaranya :
1. Longitudinal: sebagai suatu metode observasi yang sedang berlangsung, etnometodologi dapat merekam perubahan perubahan apa yang terjadi, dan tidak harus menyandarkan diri pada ingatan partisipan seperti rekaman dalam penelitian survey cross sectional.
2. Baik prilaku nonverbal maupun verbal, keduanya dipelajari oleh etnometodologi.
3) Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang bagaimana narasumber menyadari atau merasa benar-benar dalam keadaan sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana mereka menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi peneliti dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh penelitian survey
4) Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehatnya.
Akan tetapi etnometodologi juga memiliki kelemahan diantaranya:
1. Produk etnometodologi bukan merupakan pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari produk-produk sosial. Misalnya dalam melakukan penelitian tidak seharusnya meneliti tentang sikap etnis tertentu dengan menggunakan etnometodologi, meskipun bias menggunakannya untuk mempelajari proses terjadinya atau berasalnya sikap tadi.
2. Sikap masyarakat dalam skala luas lebih cocok diteliti dengan menggunakan metode survey dibandingkan dengan etnometodologi. Disamping itu, memang sikap adalah produk yang hanya baik jika diteliti dengan menggunakan metode penelitian survey, atau metode lain yang bukan etnometodologi.

Pada tataran teoretis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim tentang fakta sosial, baginya “aktor-sosial” bersifat menentukan dan tidak pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial. Dalam pemikiran etnometodologi, para sosiolog yang menitikberatkan pada fakta sosial itu disebut sebagai “kesepakatan si-dungu” (judgment-dopes), sebab kalangan etnometodologi melihat fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologi anggota, bersifat lokal dan dihasilkan secara endogenous untuk mengatasi masalahnya sendiri (George Ritzer 1996, Denzin 1994).













DAFTAR PUSTAKA

Coulon, A. 2008. Cetakan Ketiga. Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Diterbitkan atas kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge Mataram.
Furchan, Arief, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Heritage, John. 1984. Garfinkel and Ethnometodologi. Cambridge: Polity Press.
Irawan, Prasetya, 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI.  
Maynard, Douglas W, Clayman, Steven. 1991. “The Diversity of Ethnometodology”., Annual review of Sosiology 17:385-418.                            
Moleong, Lexy J, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Poloma, Margaret M, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Raho, Bernard, 2007. Teori sosiologi Modern. Edisi pertama. Jakarta: Prestasi  Pustaka
Ritzer & Goodman, 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Kencana.
Salim, Agus, 2006. Teori & Paradigma : Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Spradley, J.P. 2007. Edisi Kedua. Metode Etnografi. (diterjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Zimmerman, Don, 1978. Etnometodology, American Sociologist13: 5-15.


Diposkan oleh Jadid Khadavi di 22.12
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya
Foto Saya

Jadid Khadavi
    Saya ini hanyalah orang yang suka belajar dari lingkungan

Lihat profil lengkapku
           
Arsip Blog

      2012 (3)

      2011 (3)
          Oktober (2)
            SD ABC Little Hajj 2011
            Anatomi Etnometodologi
          Juni (1)

Pengikut
           
Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar