ANATOMI ETNOMETODOLOGI
(HAROLD GARFINKEl )
A. Biografi Harold Garfinkel
Garfinkel dilahirkan di
Newark, New Jersey, pada 29 Oktober 1917. Ayahnya adalah pengusaha kecil yang
menjual barang-barang rumah tangga untuk keluarga imigran. Ayahnya ingin Garfinkel
belajar dagang, namun Garfinkel ingin masuk kuliah. Garfinkel kemudian
mengikuti kemauan ayahnya, tetapi dia juga ikut kuliah di Universitas Newark.
Karena kuliahnya kebanyakan diajar oleh lulusan dari Columbia, maka perkuliahan
itu sangat berkualitas dan teoritis, sebab para pengajar itu kurang pengalaman
praktis. Orientasi teoritis berikutnya dan orientasi spesifiknya bisa dirunut
kembali ke perkuliahan ini dan khususnya pada kuliah tentang “theory accounts”.
“Bagaimana” Anda membuat kolom dan angka dapat dijelaskan (kepada supervisor)?”
adalah pertanyaan besar menurut Garfinkel (Rawls, 2000) yang juga penting
adalah fakta bahwa Garfinkel bertemu dengan mahasiswa Yahudi lainnya di Newark
yang mengambil kuliah sosiolog dan kelak menjadi ilmuan sosial.
Garfinkel adalah sosiolog
yang dilahirkan di Newark, New Jersey, Amerika Serikat. Ia pernah bergabung
dengan angkatan perang AS ketika perang dunia ke dua, namun kemudian dia
mendapatkan gelar doktor pada tahun 1952 di Harvard University. Setelah lulus
pada 1939 Garfinkel menghabiskan musim panas di kamp kerja Quaker di Georgia.
Di sana dia mengetahui bahwa University of North Carolina memiliki program
sosiologi yang juga diorientasikan ke tindak lanjut proyek-proyek kerja publik
seperti yang dilakukan oleh Garfinkel memilih Guy Johnson sebagai penasihat
tesisnya dan minat Johnson pada relasi ras membuat Garfinkel memilih tesis
pembunuhan interrasial. Dia juga mengenal berbagai teori sosial, terutama
karya-karya fenomenolog dan The Structure of Social Action (1937) karya Talcott
Parsons. Sementara sebagian besar mahasiswa di North Carolina pada saat itu
tertarik pada statistika dan “sosiologi ilmiah”, Garfinkel lebih tertarik pada
teori, khususnya teori Florian Znaniecki tentang tindakan sosial dan arti penting
dari sudut pandang aktor. Garfinkel pada 1942 ikut wajib militer dan bergabung
dengan angkatan udara. Dia akhirnya diberi tugas pelatihan pasukan untuk
berperang dengan tank di Miami Beach. Garfinkel hanya mempunyai potret tank
dari majalah Life. Tank-tank sesungguhnya semuanya dipakai bertempur. Orang
yang senang dengan detail empiris konkret sebagai pengganti penjelasan teori
kini mengajar pasukan riil yang akan segera terjun untuk berperang dengan tank
khayalan di dalam situasi dimana hal-hal seperti kedekatan pasukan dengan tank
khayalan itu bisa menentukan hidup dan mati. Dampak dari pengembangan
pandangannya ini hanya dapat dilayangkan. Dia harus melatih pasukan untuk
melempar granat ke trek tank-tank khayalan; menembak tank-tank khayalan. Tugas
ini memberi problem baru bagi Garfinkel untuk memberikan penjelasan yang
memadai tentang tindakan dan akuntabilitas yang pernah dipelajarinya di North
Carolina sebagai isu teoritis. (Rawls, 2000). Ketika perang berakhir, Garfinkel
melanjutkan studi ke Harvard dan belajar kepada Talcott Parson. Sementara
Parsons menekankan pentingnya kategori abstrak dan generalisasi, Garfinkel
menjadi terkenal di bidang tersebut, hal ini lalu menjadi perdebatan hangat
dalam sosiologi. Akan tetapi, dia segera tertarik dengan demonstrasi empiris
dari arti penting orientasi empirisnya ketimbang memperdebatkannya secara
abstrak. Saat masih menempuh studi di Harvard, Garfinkel mengajar selama dua
tahun di Princeton, dan setelah memperoleh gelar doktornya dia pindah ke Ohio
State, dimana dia mendapat tugas proyek studi kepemimpinan di penerbangan dan
kapal selam. Riset itu diperpendek karena dananya dikurangi, tetapi kemudian
Garfinkel bergabung dengan proyek riset juri di Wichita, Kansas. Dalam
persiapan untuk pertemuan proyek pada pertemuan American Sociologial
Association tahun 1954, Garfinkel memakai istilah etnometodologi untuk
mendeskripsikan hal-hal yang menarik baginya tentang pertimbangan juri dan
kehidupan sosial pada umumnya. Pada musim gugur 1954 Garfinkel mendapat posisi
di UCLA, posisi yang dipegangnya sampai dia pensiun pada 1987. Sejak awal dia
menggunakan istilah etnometodologi dalam seminar-seminarnya. Sejumlah mahasiswa
tertarik dengan pendekatan Garfinkel dan menyebarluaskannya ke seluruh Amerika
Serikat dan akhirnya ke seluruh dunia. Yang paling menonjol adalah kelompok
sosiolog, terutama Harvey Sacks, Emanuel Schegloff dan Gail Jefferson, yang
karena terilhami oleh pendekatan Garfinkel, mengembangkan variasi
etnometodologi yang terpenting analisis percakapan (Ritzer, 2008).
B. Konteks Sosial
Pemikiran Garfinkle lahir
pada awal abad 20, yaitu sekitar tahun 1940-an dan baru dibukukan tahun 1967
dalam bukunya yang berjudul Studies in
Ethnometodology . Saat itu Amerika Serikat sedang gencar melakukan industrialisasi, tetapi saat
itu juga dunia sedang dilanda Perang Dunia ke satu dan ( 1914 – 1918 ) dan
Perang Dunia Kedua (1941- 1945). Pemikirannya tidak bisa
dilepaskan dari kondisi sosial pada saat itu.
Sebagaimana kita ketahui
konsep itu muncul tatkala Garfinkle yang juga murid Parson dan Szuhtz melihat waktu itu dunia sedang
dilanda perang besar. Setelah selesai
Perang Dunia Pertama, Amerika Serikat
mengalami depresi ekonomi yang sangat berat. Pada saat itu di Amerika Serikat
banyak terjadi persoalan sosial. Dari masalah pengangguran, tingginya
kriminalitas, prostitusi, munculnya
kasus-kasus perceraian di masyarakat, hingga banyaknya orang yang mengidap
depresi dan persoalan sosial lain yang mengidab masyarakat urban yang sekular.
Itulah problema masyarakat modern yang menjadi perhatian ilmuwan social pada
masa itu. Dia yang juga pada tahun 1942
mengikuti wajib militer begitu mengamati
kehidupan pribadi teman – temannya bagaimana mereka menentukan hidup dan mati dan ini sesuai dengan apa yang dipelajarinya dan dijelaskan pada tindakan dan
akuntabilitas yang pernah ia pelajari di North Carolina sebagai isu teoritis.
Di sini ia benar – benar melihat secara empiris segala kehidupan nyata.
Keadaan itu nampaknya
mendorong Garfinkel mengamati everyday
life kehidupan manusia, terutama mengenai
bagaimana individu itu melakukan percakapan. Ia mulai memusatkan
pemikirinnya pada persoalan bagaimana
berbagai struktur itu tercipta dalam
kehidupan sehari – hari. Dia tak tertarik pada fenomena seperti struktur itu
sendiri. Kemudian ia mengembangkan teori Psikologi sosial. Pada dasarnya dia
percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa memberikan solusi terhadap berbagai
persoalan . Saat itu Garfinkel berasumsi bahwa dunia nyata penuh dengan masalah (sesuai
dengan keadaan saat itu), dan individu mempunyai metode sendiri dalam
menyelesaikan kehidupan sehari – harinya. Pada kondisi saat Itu Amerika yang
pasca perang dunia II memasuki masa urbanisasi dan industrialisasi banyak
membawa masalah dalam kehidupan berbagai individu. Tapi ia melihat bahwa
dunia sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus
menerus. Menurutnya, individu berusaha
dengan akal sehatnya untuk terus menciptakan jalan keluar dari permasalahan
yang ada. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya studi Etnometodologi. Etnometodologi merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan
akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan yang dengannya masyarakat
biasa dapat memahami, mencari tahu, dan
bertindak berdasarkan situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri.
Teori Garfinkel lahir dari latar belakang konteks sosial pada
masa itu dimana Blumer ingin membantu
merasionalkan eksploitasi, imperialisme domestik dan internasional, serta
ketimpangan sosial yang dipandang dari segi aktor sebagi aktor yang bertindak
atas dasar kesadarannya sendiri. Dengan
demikian, liberalisme politik sosiolog awal ini mengandung implikasi
konservatif yang sangat besar. Beberapa faktor yang berperan penting dalam
perkembangan teori Garfinkel adalah pada
konteks sosial industrialisasi dan urbanisasi yang banyak dialami masyarakat
Amerika pada masa itu. Ia melukiskan beberapa konteks dasar yang mendorong
bangunan teori yang menyangkut perubahan sosial. Menurutnya, sosiologi
merupakan respon moral dan intelektual terhadap masalah kehidupan dan terhadap
pemikiran lembaga dan keyakinan orang Amerikaâ. Garfinkel seperti juga Blumer sebagai
Sosiolog Amerika lebih cenderung mengarah pada upaya studi ilmiah
terhadap proses-proses sosial jangka pendek daripada membuat interpretasi
perubahan historis jangka panjang. Teorinya bersifat menerangkan bagi
masyarakat yang tengah menjalani proses industrialisasi dan juga urbanisasi
dimana hubungan antar subyek menjadi penuh makna. Interaksi yang terjadi
diantara mereka penuh dengan makna simbol. Perubahan sosial terjadi sangat
cepat . Komunikasi antar individu juga intens
sehingga juga membutuhkan pemecahan berdasarkan kajian tertentu secara tepat . Urbanisasi dan
industrialisasi membawa dampak pada individu secara mendalam dalam berbagai
konteks kehidupannya, dimana manusia sebagai individu menjadi sangat dinamis
dalam berinteraksi sesamanya ataupun dengan struktur makro masyarakat.
C. Pemikiran Yang Mempengaruhi
Teori Garfinkel
Sebagai suatu pendekatan,
etnometodologi bermula dari filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh
Husserl. Fenomenologi transendental dibedakan dari fenomenologi eksistensial.
Persamaan keduanya terdapat pada perhatian mereka yang bertemu mengenai
kesadaran (consciousness). Pada dasarnya, usaha fenomenologis adalah
menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk
atau muncul, tanpa memperhatikan benar atau salahnya kesadaran tersebut.
Pandangan ini sekaligus menjadi salah satu landasan etnometodologi. Landasan
kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang natural attitude. Oleh
Husserl, natural attitude disebut juga commonsense reality. Melalui konsep ini,
Ego berada dalam situasi tertentu menggunakan penalaran yang bersifat praktis,
seperti dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, konsepsi Schutz bahwa interaksi
sosial merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini kemudian
membangkitkan permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana interpretive
procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial.
Selanjutnya, ide-ide ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli
sosiologi, yang selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada
intinya, idenya menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses
interaksi sosial.
Harold Garfinkel
dipertengahan tahun 1950-an, memperkenalkan istilah etnometodologi dalam bidang
penelitian sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari sosiologi
fenomenologi. Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini
sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social
Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi
etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari
etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia
inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita
berinteraksi. Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari realitas-realitas
yang sangat berganda dimana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang
utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common
sense. Realitas seperti inilah yang diterima secara taken for granted dimana
mengesampingkan keragu-raguan, kecuali realitas yang dipermasalahkan.
Pembahasan realitas common sense Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif
melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi
riset-riset etnometodologi lainnya. Yang dimaksud realitas sosial oleh Schutz
adalah “keseluruhan objek dan kejadian-kejadian di dunia kultural dan sosial,
yang dihidupkan oleh pikiran umum manusia yang hidup bersama dengan sejumlah
hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi sosial di
mana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan sejak permulaan (Poloma,
1994).
Sementara pengaruh
Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh
Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang
mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma
yang ada dalam masyarakat dimana seorang individu hidup. Motivasi aktor
tersebut menyatu dengan model model normatif yang ditetapkan dalam sebuah
masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri.
Asumsi Parsons ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari
Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan
sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan
pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat
(common sense). Istilah etnometodologi menjadi populer ditahun 1960 sampai
dengan 1970-an dan sekarang semakin meluas diterima sebagai metode ilmiah. Para
peneliti dari aliran ini mulai memperlihatkan praktik interpretif guna
membuktikan bahwa objektivitas dunia dicapai dan dikelola secara lokal dengan
merujuk kepada sumber daya sosial secara luas (sosial dan kultural) yang
menghubungkan apa yang disebut oleh Garfinkel sebagai ‘seni’ dengan struktur
interpretif yang sudah mapan. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West
Coast.
D. Pertanyaan dalam Teori
Metode kualitatif
memiliki beberapa varian berdasarkan landasan teoritiknya yaitu, fenomenologi,
interaksionisme simbolik, etnometodologi dan etnografi. Keempat varian ini
memiliki sebuah kesamaan dasar yaitu memberikan tekanan pada pengalaman
individu atau subjek dalam menjalani dunia keseharian mereka. Paper ini secara
khusus akan mendiskusikan etnometodogi dalam khasanah penelitian ilmu sosial
yaitu penelitian kualitatif. Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang
praktek sosial keseharian yang diterima secara taken for granted berdasarkan
akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan
tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada
UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh
profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an (Poloma: 1994 : 281).
Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap
pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang
kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori,
proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami
kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung.
Etnometodologi bukanlah
metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk
pada mata pelajaran yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang
bagaimana individu menciptakan dan kehidupannya sehari-hari. Subyek etnometodologi
bukanlah anggota suku-suku terasing melainkan orang-orang dalam berbagai macam
situasi pada masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana
orang-orang melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat
mereka (Moleong, 2001).
Bernard Raho (2008),
dalam bukunya yang berjudul Teori Sosiologi Modern menyebutkan bahwa
etnometodologi sebagaimana halnya dengan interaksionisme simbolik dan
fenomenologi adalah sebuah teori yang bernaung di bawah paradigma definisi
sosial. Dalam bentuk aslinya, teori ini sebetulnya merupakan kritik terhadap
aliran-aliran utama sosiologi yang
menurut Garfinkel terlalu memaksakan kategori-kategori sosial kepada orang
biasa. Sosiologi-sosiologi konvensional melukiskan kembali apa yang dilakukan
oleh orang-orang biasa dan menganggap penjelasan mereka tidak sempurna.
Misalkan struktur sosial, merupakan konsep yang sebenarnya berangkat dari
kesadaran orang akan struktur dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri diluar
sana.
Selanjutnya Raho
menjelaskan, etnnometodologi menganjurkan sebuah pendekatan yang mengajak
sosiolog untuk membuat investigasi atau
menemukan bagaimana orang – orang biasa sebagai bagian dari anggota
masyarakat mengkonstruksi dunia sosial
mereka.
Harold Garfinkel dapat dimasukkan
pada sosiolog humanis seperti halnya Blumer yang sangat menjunjung tinggi
kemanusiaan sebagai subyek. Namun Garfinkel lebih menekankan pada studi tentang
etnometodologi, yaitu metode studi yang digunakan untuk menguraikan dan
meneliti aktifitas mereka sendiri tanpa reduksi subyektif peneliti.
Etnometodologi berusaha menemukan esensi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari, karena itu metode yang dipakai adalah partisipan observasi.
Pertanyaan yang
diajukan oleh Garfinkel adalah Apakah tindakan manusia dipandang rasional dalam
menyelesaikan masalah kehidupan sehari –
harinya, Apakah menggunakan penalaran
praktis atau dengan logika formula yang sudah ada dalam struktur tertentu ?
Garfinkel justru menentang konsep dasar
sosiologi mengenai keteraturan, karena keteraturan tersebut melalui proses yang
panjang multi kompleks yang justru tak teratur. Contohnya dalam percakapan, ada perbedaan antara apa yang
benar-benar diucapkan dengan apa yang diperbincangkan. Garfinkel dengan teori
tindakan sosial mengatakan bahwa seseorang didalam menetapkan sesuatu apakah
tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang
sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense).
Ia tak sependapat dengan teoritisi
sosial konvensional yang menganggap bahwa aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali
kemampuannya atau tak punya kebebasan
untuk membuat pertimbangan. Ia menolak anggapan bahwa aktor “ sebagai si
tolol “ yang tak punya pertimbangan dalam melakukan tindakannya. Menurutnya obyektivitas fakta sosia sebagai
prestasi anggota. Keteraturan dalam struktur
adalah prestasi anggota sebagai produk metodologis anggota. Realitas
obyektif fakta sosial adalah fenomena fundamental sosiologi karena merupakan
produk masyarakat setempat yang
diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus menerus, prestasi praktis,
selalu, hanya, pasti, menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar,
menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda ( Garfinkel 1991 : 11 ). Penjelasan adalah cara aktor melakukan sesuatu seperti mengkritik,
mendiskripsikan, serta mengidealkan situasi tertentu.
Tujuan studi
institusional etnometodologi adalah memahami cara orang, dalam setting
institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam
institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan
formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di
dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya
untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.
Sementara itu, analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci
struktur fundamental interaksi melalui percakapan.
Percakapan sebagai unsur dasar dalam
etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang
stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran
analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan
itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial. Tradisi
etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota
masyarakat tutur (speech community) mengorganisasi dan memahami kegiatan
mereka. Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan
pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau
pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko.
Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko
tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut.
Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan
pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif,
provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah
bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan
provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau
bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran
yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada
latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa
yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama
(responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah
mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua
(provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan
lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka
tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya
untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang
indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian
sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari
Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh
masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus
terjadi sedemikian.
Sesudah Grafinkel
muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya
Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D.
Lawrence Wieder. Di antara para pakar ini Jack Douglaslah yang paling lengkap
pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk
menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa
sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat
bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner harus
menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang
tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur
kesengajaan (Furchan, 1992 : 39). Di sini seorang koroner mengumpulkan
bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati
tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri
atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan
bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin
saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti
maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri
pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Pendekatan ini
sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh
diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini
tampaklah bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan
manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan
sosiologi konvensional sebagaimana yang telah disentil di bagian pengantar di
atas. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek
kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling
memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam
etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Furchan,
1992).
E. Proposisi Teori
Dalam menentukan proposisi
etnometodologi, Raho (2007) menyatakan terdapat dua asumsi yang menjadi acuan.
Dua asumsi tersebut yaitu; keteraturan sosial yang dipertahankan dengan memakai
teknik yang memberikan rasa (sense) terhadap aktor sehingga menghayati realitas
yang sama dan substansi dari realitas yang sama itu kurang penting dalam
memecahkan masalah keteraturan daripada penerimaan aktor akan sejumlah teknik
yang sama. Berdasarkan dua hal itu, maka proposisi etnometodologi dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Semakin aktor gagal menyetujui penggunaan
teknik interaktif semacam tindakan refleksif, semakin besar kemungkinan
interaksi akan terganggu dan kemungkinan keteraturan sosial dapat dipertahankan
juga semakin kecil.
2. Semakin interaksi beralih kepada visi
realitas yang berbeda dan diterima begitu saja (taken for granted), semakin
besar kemungkinan interaksi terganggu dan kecil kemungkinan keteraturan sosial
dapat dipertahankan.
F. Jenis Realitas
Garfinkel menganggap
fakta sosial sebagai fenomena sosiologi yang fundamental. Objektivitas fakta
sosial dianggap merupakan prestasi anggota, yakni sebagai hasil aktivitas
metodologis anggota. Salah satu pendirian utama Garfinkel adalah bahwa mereka
dapat dijelaskan secara reflektif (Ritzer, 2008). Penjelasan merupakan cara
aktor mengungkapkan sesuatu, seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan
mengidealisasikan situasi tertentu. Perhatian etnometodologis disini adalah
menganalisa penjelasan actor dan bagaimana penjelasan itu disampaikan. Kebanyakan
dari interaksi manusia bersifat refleksif. Manusia menafsirkan bahasa isyarat,
kata-kata, ucapan dan informasi lainnya dari satu sama lain sedemikian rupa
dengan maksud untuk tetap mempertahankan pandangan tertentu mengenai realitas.
Tindakan dalam percakapan
tak hanya verbal saja tapi yang non verbal seperti “keragu – raguan, gaduh,
tersedu – sedu, mendehem, tertawa, berpantun dan rentetan tindakan non verbal
lainnya berkaitan erat dengan rentetan
aktivitas dan makna tindakan. Bisa jadi apa
yang dikatakan pada waktu tertentu
tak sesuai dengan relaitas yang ada. Tindakan non verbal ini yang bisa
membantu dalam menganalisa realitas yang sesungguhnya sedang dibangun antar
aktor. Bahkan bukti-bukti yang berlawanan diinterpretasikan secara refleksif
guna mempertahankan kepercayaan atau pengetahuan tertentu. Misalnya ketika kita
mengucapkan selamat pagi kepada seseorang dan orang itu menjawab dengan jawaban
yang sama, kita tidak sadar bahwa kedua belah pihak sedang mellakukan pekerjaan
refleksif. Tetapi ketika orang lain itu cemberut dan tidak membalas sapaan
kita, barulah kita sadar bahwa kita sedang membangun suatu realitas sosial
tertentu namun gagal. Kita mungkin berusaha meneguhkan kembali dunia salam
menyalam sebagaimana perisiwa tersebut dengan berusaha memberikan penjelasan
yang seolah-olah membenarkan reaksi tidak tepat dengan mengatakan mungkin dia
tidak mendengar suara saya atau mungkin sedang sakit sehingga keteraturan
sosial tetap terjaga.
Konsep tentang
refleksitas ini memusatkan perhatian pada bagaimana orang-orang yang berada di
dalam interaksi bertindak atau berusaha untuk mempertahankan asumsi bahwa
mereka diarahkan oleh realitas simbolik
atau tak nampak
G. Lingkungan Realitas Sosial
Ritzer menyatakan bahwa
etnometodologi sebagai salah satu perspektif
mikro yang paling menentukan dalam sosiologi pun telah menunjukkan
tanda-tanda keterbukaannya untuk bersintesis dan berintegrasi. Sejalan dengan
pemikiran ritzer, Heritage (1984), menyebutkan bahwa etnometodologi jelas bukan makrososiologi dalam arti yang dimaksud
Durkheim, tetapi penganutnya pun tidak sebagai mikrososiologi. Dengan demikian
meskipun pakar etnometodologi menolak memperlakukan aktor sebagai si tolol yang
memberi pertimbangan, namun mereka tak yakin bahwa aktor mempunyai kesadaran
diri dan perhitungan. Pada akhirnya, pakar etnometodologi tidak tertarik pada
struktur mikro dan struktur makro. Mereka memusatkan perhatian pada praktik
cerdik yang menghasilkan pemahaman terhadap tentang kedua jenis struktur itu.
Jadi yang diperhatikan Garinkel dan pakar etnometodologi lainnya adalah cara
baru dalam memahami struktur obyektif baik makro maupun mikro yang sejak lama
sudah menjadi sasaran perhatian sosiologi (Maynard dan Clayman, 1991). Tapi
menurut perspektif saya realitas sosial yang menjadi obyek kajian
etnometodologi adalah realitas mikro
karena memusatkan individu sebagai obyek kajiannya
Pusat perhatian
etnometodologi adalah organisasi kehidupan sehari-hari atau masyarakat biasa
yang abadi. Atau, cara baru dalam memahami struktur objektif baik mikro maupun
makro yang sejak lama menjadi perhatian sosiologi. Etnometodologi memusatkan
kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan
pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada prilaku nyata. Setiap
masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir,
memiliki steriotipe dan ideologi khusus, termasuk ras, kelas sosial dan gender.
Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideologi yang sangat
populis.
H. Aktor
Seseorang didalam
menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu
didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam
masyarakat (common sense). Kita merupakan para aktor di atas panggung sosial,
menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya sekaligus dunia alam, bukan sebagai
suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar subjektif, artinya sebagai suatu dunia
yang umum untuk kita semua yang dibentangkan dihadapan kita atau yang secara
potensial dapat dinikmati oleh siapa saja dari kita. Dan ini berimplikasi pada
komunikasi dan bahasa. Etnometodologi menggangap aktor sebagai aktor yang otonom karena tindakan aktor tidak
dipengaruhi struktur yang ada. Aktor dipandang sebagai individu bebas yang rasional yang dalam menyelesaikan
masalah sehari – harinya cenderung menggunakan penalaran yang praktis bukan
logika formula yang ada dalam struktur itu sendiri. Aktor mempunyai kebebasan
dalam memilih pertimbangan untuk melakukan tindakannya tanpa harus dipaksa atau
ditentukan oleh struktur dan pranata sosial.
I. Penjelasan yang Ditawarkan
Realitas sosial
dihasilkan ‘dari dalam’ melalui prosedur interpretif para anggotanya. Kondisi
sosial para anggota bersifat selfgenerating. Sifat ini menunjukkan dua sifat
penting dari arti yang berhasil diungkap oleh peneliti. Pertama, arti
sebelumnya yang bersifat indeks, yaitu arti yang tergantung pada konteks. Dalam
arti, objek dan kejadian memiliki arti yang ambigu atau tidak tentu, tanpa
konteks yang jelas. Hanya melalui penggunaannya yang bergantung pada situasi di
dalam percakapan dan interaksi, objek dan kejadian menjadi berarti secara
konkrit. Kedua, kondisi-kondisi yang memberikan konteks bagi arti itu sendiri
bersifat selfgenerating. Kegiatan-kegiatan interpretif berlangsung secara
simultan di dalam dan di sekitar setting yang menjadi orientasinya dan yang
dideskripsikannya. Jadi, realitas yang dicapai secara sosial bersifat
reflektif.
Bentuk dan sosial budaya
masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang
peneliti, sebagaimana dalam etnografi baru (etnosains) bentuk tersebut dianggap
sebagai susunan yang terdapat dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut.
Tugas dan cara peneliti mengoreknya keluar lalu mendeskripsikannya adalah khas
metode dari etnosains (Spradley 2006). Penelusuran terhadap akar pemikiran
etnosains dalam antropologi bermula dari definisi kebudayaan yang dikemukakan
oleh Ward Goudenough. Menurutnya, budaya suatu masyarakat terdiri atas segala
sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat
berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat. Budaya adalah
satu bentuk hal-ihwal yang dimiliki manusia dalam pikirannya (mind), model yang
digunakan untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya
menginterpretasikan hal-ihwal tersebut. Definisi Goudenough ini banyak
dipengaruhi oleh kajian-kajian linguistik. Dalam perkembangan selanjutnya
definisi ini kemudian dioperasionalkan oleh pengikut antropologi kognitif dalam
penelitian-penelitian etnografinya dan merupakan cikal bakal dari etnomenologi.
Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik
dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda,
kejadian, perilaku, dan emosi. Karena itu, objek kajian antropologi (kognitif)
adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran (mind) manusia.
Etnometodologi adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun
1960-an. Pada awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu
menyebar ke beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya
di Inggris dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008), bahwa pentingnya
etnometodologi disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan
epistemologi. Etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi
tradisonal. Kedua, etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une
perspective de recherche) dan suatu sikap intelektual baru.
J. Metodologi
Etnometodologi sebagai
Metode Penelitian Kualitatif menggunakan metode
intepretatif. Memiliki Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi
sebagai model penelitian kualitatif. Etnometodologi memiliki keunggulan dalam
mendekati kehidupan empirik, dalam hal ini ada program penekanan yang
diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model
interaktif antara peneliti dan actor sosial (observasi partisipasi).
Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari.
Pengambilan data dengan in-depth interview, akan menggali semua masalah
kehidupan sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka. Setiap wacana
percakapam dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari
di kalangan masyarakat lokal (Ritzer, 2008)
Dalam sudut pandang kita,
hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. Tipe yang pertama
adalah studi etnometodologi tentang setting institusional dan analisis
percakapan. Studi sosiologi konvensional tentang setting institusional
memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formalnya dan prosedur resmi
untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Mereka menggunakan
institusi untuk menyelesaikan tugas dan menciptakan institusi itu sendiri.
Orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan
sehari-hari, tetapi juga untuk mengahsilkan institusi. Sedangkan analisis
percakapan berusaha memahami secara rinci struktur fundamental interaksi
melalui percakapan. Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan
aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis
(Zimmerman, 1988). Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang
dikatakan dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang
membatasi percakapan.
Ritzer (1996), menggambarkan sejumlah
variasi kerja etnometodologi diantaranya :
1. Studi etnometodologi berlatar
belakang analisis institutional (studies of institutional setting). Studi
etnometodologi yang pertama kali dilakukan terjadi dalam setting ‘sambil lalu’
dan non-institutional, seperti di rumah. Kemudian, studi etnometodologi
berkembang untuk mempelajari praktik-praktik keseharian dalam setting
institutional yang lebih luas, seperti di pengadilan, klinik medis dan kantor
polisi. Tujuan studi semacam ini untuk memahami cara masyarakat dalam setting
tersebut melakukan tugas-tugas resminya dalam proses pembentukan institusi.
2. Studi etnometodologi menaruh
perhatian pada analisis percakapan (conversation analysis), dengan tujuan untuk
memahami secara detail struktur fundamental dari interaksi percakapan.
Ritzer (1996) merangkum dasar-dasar
analisis percakapan ke dalam lima premis, yaitu:
a. Analisis percakapan mensyaratkan
adanya kumpulan dan analisis data yang detail. Data ini tidak hanya meliputi
kata-kata tetapi juga keraguraguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa,
perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan
perbuatan percakapan aktor yang terlibat;
b. Detail percakapan harus dianggap
sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh
etnometodologi, tetapi oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri;
c. Interaksi umumnya dan percakapan
khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan
para actor akan dilibatkan;
d. Landasan fundamental dari percakapan
adalah organisasi yang sequential.
e. Keterikatannya dengan interaksi
percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Peneliti dalam etnometodologi
tampaknya akan menjadi sosok partisan yang baik, penulis yang jujur, dan
fasilitator yang bersahabat. Logika akademis yang dimiliki peneliti dalam
etnometodologi akan diuji dengan pengalaman antarsubjek dalam proses dialog
sehingga logika akademis akan berbaur dengan common sense masyarakat lokal.
Metode etnometodologi menyiratkan sejumlah harapan yang wajar. Sekalipun metode
ini tidak memiliki hubungan langsung dengan pembangunan teori baru, tetapi cara
kerjanya dalam mengupas peran actor sosial akan cukup menyibak kekenyalan data
sosial. Cara para aktor sosial menjalankan tugasnya dapat menjelaskan tempat
mereka hidup, belajar menghadapi masalah, memilih alternatif, dan melaksanakan
pilihannya secara konsisten.
Dalam metode etnometodologi, data
dalam penelitian sosial adalah berupa tindakan aktor sosial yang meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit atau dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi
tetap diakui dan dapat dikerjakan (percakapan melalui telepon, gelak tawa,
tepuk tangan, pernyataan interaktif sampai pada formulasi ucapan). Sementara
itu dikenal lima prinsip dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman
(1978), yakni:
1) Pengumpulan dan analisis data yang
sangat rinci tentang percakapan
2) Aspek-aspek kecil percakapan tidak
hanya diatur oleh ahli etnometodologi akan tetapi pada mulanya oleh aktor
sendiri
3) Interaksi dan percakapan bersifat
stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari actor
4) Kerangka percakapan fundamental
adalah organisasi yang teratur
5) Rangkaian interaksi percakapan
dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.
Secara metodologis, analisis
percakapan berupaya mempelajari percakapan dalam dalam konteks yang wajar,
sering menggunakan alat perekam. Asumsi dasar analisis percakapan terdiri dari:
1) Percakapan adalah landasan dari
bentuk bentuk hubungan antar personal
2) Merupakan bentuk interaksi yang
paling mudah meresap; dan
3) Percakapan terdiri dari matriks
prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.
Di dalam etnometodologi,
peneliti yang ‘berasal dari luar’ harus dapat bersatu dan terlibat langsung
dalam proses penelitian bersama-sama dengan ‘para aktor sosial setempat’.
Peneliti harus bisa melebur di dalam komunitas masyarakat yang diteliti, dan
karenannya harus sanggup berada bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti
dalam satu bejana sosial yang kompleks. Hal yang lebih ditekankan dalam
etnometodologi adalah peristiwa terjadi secara wajar di masyarakat. Dalam
peristiwa itu berlangsung pola interaksi yang dapat dibaca dan diinterpretasi
secara eksplisit. Pola interaksi yang dimaksud adalah interaksi orang-perorang
(aktor sosial) dan interaksi antara orang dengan lingkungannya (institusi dan
alam). Peneliti dan para aktor sosial akan terlibat didalam interaksi dan
diskusi yang intens untuk merumuskan masalah yang dihadapi (Ritzer, 2008).
K. Mazhab
Dari beberapa uraian
sebelumnya dan dengan melihat metodologinya
jelas bahwa Harold Garfinkel dalam
mengembangkan teori-teorinya berada pada
mazhab Cartesian karena dalam kajiannya mengandalkan rasio /
kesadaran ( rasionalisme ) dan
menganggap kebenaran dari subyek.
L. Bias atau Keberpihakan Teori
Kemunculan metode etnometodologi
sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi
konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Peneliti
konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori proposisi dan kategori yang
membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi
dimana kenyataan social tersebut berlangsung. Etnometodologi ditujukan untuk
meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yaitu
sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi asumsi yang berada di
baliknya dan arti yang dimengerti bersama.
Para sosiolog memandang
etnometodologi terlalu memusatkan perhatian pada masalah sepele dan mengabaikan
masalah yang sangat penting yang dihadapi masyarakat kini. Atkinson (1988),
mengemukakan bahwa etnometodologi terus menyambut campuran ketidakpahaman dan
permusuhan yang tak dapat disangkal yang perlu diperhitungkan apabila
menyangkut teori, metode, dan tindakan empiris penelitian sosiologi. Ia yakin
bahwa etnometodologi telah melupakan akar fenomenologisnya dan mengurangi
perhatiannya terhadap kesadaran dan proses kognitif. Etnometodologi lebih
memusatkan perhatian pada ciri struktur percakapan itu sendiri.
Etnometodologi mendapat kritik dari
Pollner karena kehilangan refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas mengarah
pada pandangan bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas
pakar etnometodologi. Etnometodologi berada berada di pinggiran sosiologi.
Artinya, ketika keberadaannya semakin diterima, pakar etnometodologi cenderung
mengabaikan kebutuhan menganalisis karya mereka. Akibatnya, etnometodologi
terancam bahaya kehilangan kemampuan menganalisis dan mengkritik dirinya
sendiri dan hanya menjadi bidang lain dari teori yang sudah mapan saja.
Menurut Raho (2007), bahwa dalam
mengembangkan dan memperluas ide-ide, etnometodologi mengemukakan pandangan yang berbeda tentang
dunia. Sehingga, ia bisa menjadi paradigma alternatif dalam sosiologi. Namun
untuk melihat pandangan yang berbeda tersebut dari konsep yang telah ada perlu
menghubungkan antara etnometodologi dengan akar-akar intelektualnya.
Pertama, Jika interaksionisme
simbolik menekankan proses penciptaan makna, namun mengakui adanya keberadaan
dunia eksternal yang bersifat obyektif dalam bentuk norma, nilai, peran, dan
struktur sosial. Akan tetapi etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana
interaksi menciptakan diantara para aktor perasaan akan dunia faktual yang
berada di luar sana. Kedua, Sedangkan analisis dramaturgi yang digagas oleh
Erving Goffman, menekankan betapa pentingnya proses manajemen kesan dan tidak
peduli dengan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dari aksi tersebut.
Analisis ini berpusat pada bentuk interaksi itu sendiri dan bukannya pada
struktur-struktur yang diciptakan, dipertahankan, atau diubah. Contohnya,
Goffman tertarik membuat analisa tentang bagaimana aktor mengesahkan konsep
tentang dirinya, membenarkan tindakan-tindakannya melalui isyarat, bagaimana mereka
menjaga jarak dengan penonton, atau bagaimana memanipulasi untuk memperlancar
keadaan. Meskipun etnometodologi setuju dengan konsep Goffman tentang teknik
yang dilakukan aktor untuk menciptakan kesan dalam dunia sosial, tetapi minat
etnometodologi bukanlah tentang manajemen kesan individu, melainkan bagaimana
aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Ketiga, Harus diakui
bahwa banyak konsep etnometodologi yang diambil dari fenomenologi konsep
Husserl dan Schutz. Namun etnometodologi menyesuaikan analisis fenomenologi
dengan isu tentang bagaimana keteraturan sosial dipertahankan dengan
praktek-praktek yang biasa dilakukan aktor untuk menciptakan sense bahwa mereka
menghayati dunia kehidupan sehari-hari yang sama.
L. Kelebihan dan Kelemahan
Etnometodologi
Metode etnometodologi menurut
Heritage (1984), memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode lainnya,
diantaranya :
1. Longitudinal: sebagai suatu metode
observasi yang sedang berlangsung, etnometodologi dapat merekam perubahan
perubahan apa yang terjadi, dan tidak harus menyandarkan diri pada ingatan
partisipan seperti rekaman dalam penelitian survey cross sectional.
2. Baik prilaku nonverbal maupun
verbal, keduanya dipelajari oleh etnometodologi.
3) Etnometodologi memberikan satu pemahaman
tentang bagaimana narasumber menyadari atau merasa benar-benar dalam keadaan
sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana mereka
menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi peneliti
dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh penelitian
survey
4) Etnometodologi memberikan satu
pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat
koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehatnya.
Akan tetapi etnometodologi juga
memiliki kelemahan diantaranya:
1. Produk etnometodologi bukan
merupakan pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari produk-produk
sosial. Misalnya dalam melakukan penelitian tidak seharusnya meneliti tentang
sikap etnis tertentu dengan menggunakan etnometodologi, meskipun bias
menggunakannya untuk mempelajari proses terjadinya atau berasalnya sikap tadi.
2. Sikap masyarakat dalam skala luas
lebih cocok diteliti dengan menggunakan metode survey dibandingkan dengan
etnometodologi. Disamping itu, memang sikap adalah produk yang hanya baik jika
diteliti dengan menggunakan metode penelitian survey, atau metode lain yang
bukan etnometodologi.
Pada tataran teoretis, Harold
Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim tentang fakta
sosial, baginya “aktor-sosial” bersifat menentukan dan tidak pernah dibatasi
oleh struktur dan pranata sosial. Dalam pemikiran etnometodologi, para sosiolog
yang menitikberatkan pada fakta sosial itu disebut sebagai “kesepakatan
si-dungu” (judgment-dopes), sebab kalangan etnometodologi melihat fakta sosial
sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologi anggota, bersifat
lokal dan dihasilkan secara endogenous untuk mengatasi masalahnya sendiri
(George Ritzer 1996, Denzin 1994).
DAFTAR PUSTAKA
Coulon, A. 2008. Cetakan Ketiga.
Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Diterbitkan atas kerjasama Kelompok Kajian
Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge Mataram.
Furchan, Arief, 1992. Pengantar
Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Heritage, John. 1984. Garfinkel and
Ethnometodologi. Cambridge: Polity Press.
Irawan, Prasetya, 2006. Penelitian
Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP UI.
Maynard, Douglas W, Clayman, Steven.
1991. “The Diversity of Ethnometodology”., Annual review of Sosiology
17:385-418.
Moleong, Lexy J, 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Poloma, Margaret M, 1994. Sosiologi
Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Raho, Bernard, 2007. Teori sosiologi
Modern. Edisi pertama. Jakarta: Prestasi
Pustaka
Ritzer & Goodman, 2010. Teori
Sosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Kencana.
Salim, Agus, 2006. Teori &
Paradigma : Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Spradley, J.P. 2007. Edisi Kedua.
Metode Etnografi. (diterjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Zimmerman, Don, 1978. Etnometodology,
American Sociologist13: 5-15.
Diposkan oleh Jadid Khadavi di 22.12
Kirimkan Ini lewat
EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama
Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya
Foto Saya
Jadid Khadavi
Saya ini hanyalah orang yang suka belajar dari lingkungan
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
►
2012 (3)
▼
2011 (3)
▼
Oktober (2)
SD ABC Little Hajj 2011
Anatomi Etnometodologi
►
Juni (1)
Pengikut
Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh
Blogger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar