Jumat, 24 Mei 2013

EKSPLOITASI MANGROVE SBG KEGIATAN EKONOMI TAK BERMORAL

EKSPLOITASI DAN KERUSAKAN MANGROVE ( Kegiatan Ekonomi Kurang Bermoral ) A.Kondisi Umum Mangrove di Indonesia Wilayah Pesisir adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat sifat laut seperti pasang surut, angin la dan perembesan air asin Sedangkan ke arah lautwilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi proses alami yang terjadi di daerah daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri et al., 2004) Sedangkan menurut UU Nomor 27 tahun 2007 wilayah pesisir dan pulau pulau kecil,wpesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Kekayaan sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia antara lain berupa bentangan garis pantai sepanjang 95.151km, 13.466pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (http://nationalgeographic.co.id ). Ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu, padang lamun, sumberdaya nirhayati dan plasma nutfah serta jasa –jasalingkungan pesisir berupa panorama alam pesisir untuk pariwisata, pelabuhan dan pemukiman perkotaan merupakan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnyan(Dahuriet al2004 Pasal 33 ayat 3 UUD 1945) menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Selain itu, lingkungan hidup harus dikelola 2 sedemikian rupa sehingga dapat menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan (Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2009 ). Permasalahan yang muncul di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah antara lain abrasi/erosi, akresi, pencemaran dan kerusakan ekosistem mangrove yangmenyebabkan penurunan kualitas lingkungan ekosistem (Puryono, 2009). Pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah mengalami abrasi sekitar 7–10 m per tahun akibat rusaknyajalur hijau mangrove (Kusmana dan Onrizal, 1998).Kerusakan wilayah pesisir di Kota Semarangdan Kabupaten Demakterutamaterjadi karena abrasi yang disebabkan oleh perubahan pola arus akibat bangunan masifyang menjorok ke lautyang menyebabkan berkurangnya hutan mangrove(Hadi, 2009) Luas hutan mangrovedi Semarang befluktuasi dari tahun 2002 seluas 52,4 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003) menjadi 135,38 ha pada tahun 2003 (Dinas Kelautan dan Perikanan 2008) dan 87,44 ha pada tahun 2006 (Departemen Kehutanan, 2006) . Pada tahun 2008 mangrove di Semarang menjadi seluas 93,56 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2008) dan berdasarkan pantauan Dinas Kelautan dan Perikanan (2011) luas mangrove di Semarang 94,39. Luas abrasi di Kota Semarang pada tahun 2002 seluas 15,7 ha, meningkat menjadi seluas 92 ha pada tahun 2007 . Pada tahun 2009 abrasi seluas 231,76 ha yang meliputi Tugu seluas 57,87 ha, Kecamatan Semarang Barat seluas 5,1 ha, Kecamatan Semarang Utara seluas 15,32 ha, serta Kecamatan Genuk seluas 153,47 ha ( Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, 2009). Luas abrasi mengalami peningkatan menjadi 342,67 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011). Jika kita melihat contoh di lingkungan lain misalnya provinsi Irian Jaya merupakan daerah yang memiliki hutan mangrove terluas di Indonesia yaitu, 1.326.900 ha atau 35,18% luas total hutan mangrove Indonesia, diikuti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Riau, dan Maluku. Dibandingkan dengan total luas hutan Indonesia adalah 119.418.200 ha, maka luas mangrove ini hanya 3,16% saja dari luas areal berhutan di Indonesia. Kondisi hutan mangrove di Kalimantan Timur, salah satu daerah terluas yang masih menyisakan hutan mangrove, kini sangat memprihatinkan. Daerah ini seperti sedang berlomba 'mengejar kerusakan' di daerah lain. Berdasarkan laporan dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, kondisi hutan mangrove di daerah ini sudah sangat memprihatinkan. Penyebabnya degradasi yang paling serius adalah maraknya pembukaan tambak udang dan ikan bandeng. Berkurangnya secara drastis kawasan hutan bakau ini rata-rata juga disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan yang terjadi salah satunya yaitu reklamasi pantai.Sementara, menurut menteri negara Lingkungan Hidup Ir. Sarwono Kusumaatmadja, kini Indonesia memiliki 2,5 juta ha hutan mangrove. Sebelum perang dunia luasnya masih 3 juta ha dan sekitar 11 juta ha hutan mangrove sudah hilang. Kerusakan dan kehilangan hutan mangrove terlihat di sepanjang garis pantai Indonesia yang panjangnya 81.000 km. Sekitar 70 persen-nya rusak lingkungannya, antara lain karena berkurangnya areal hutan mangrove, abrasi pantai, dan kerusakan terumbu karang. Berdasarkan penelitian Puslitbang Oseanologi LIPI di sembilan kota pantai di Indonesia, antara lain Jakarta dan Surabaya, terjadi kenaikan permukaan air laut rata-rata 0,5 milimeter per tahun atau dalam 15 tahun mencapai 90 milimeter. Hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dan labil, karena merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Habitat mangrove berperan penting sebagai tempat berpijaknya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil .Untuk penghijauan atau reboisasi hutan mangrove yang rusak, Menteri LH telah mengeluarkan buku hijau tentang kebijaksanaan dan strategi nasional pengelolaan lingkungan hidup dalam PJPT II 1994/1995 - 2019/2020, Tujuannya untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi lindung, fungsi pelestarian, dan fungsi produksi Keistimewaan Kawasan Hutan Bakau. Ekosistem hutan bakau bersifat kompleks, dinamis dan labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya, selain dipenuhi oleh vegetasi pohon bakau, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanahnya termasuk tanah perkembangan muda yang memiliki kandungan liat tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Bersifat dinamis karena hutan bakau dapat tumbuh dan berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuhnya. Sedangkan dikatakan labil karena mudah rusak dan sukar untuk pulih kembali seperti sediakala. Ekosistem hutan bakau memiliki fungsi ekologis, ekonomi dan sosial yang penting di dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan bakau di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas yang cukup signifikan. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi bakau yang dapat terealisasi jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis bakau sebenarnya telah dimulai sejak tahun sembilan puluhan. Data penanaman bakau oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru terealisasi seluas 7.890 hektar, akan tetapi tingkat keberhasilannya masih rendah. Di samping itu, masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove. Padahal, hutan bakau memiliki fungsi ekonomi yang begitu besar. Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove, di beberapa daerah seperti Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah. Pada Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan bakau di Bandar Lampung, ternyata di Pulau Madura diperoleh Total Economic Value (TEV) hutan bakau sebesar empat puluh sembilan triliun rupiah dan untuk Irian Jaya sebanyak tiga ratus dua puluh sembilan triliun rupiah, sedangkan untuk total keseluruhan Indonesia mencapai delapan ratus dua puluh triliun rupiah. Manfaat Mangrove Manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya adalah kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kayu bakar, membuat arang, pulp dll. Selain itu hutan mangrove juga merupakan 'pengekspor' bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian biota akuatik. Menurut pakar lingkungan Alikodra, hutan bakau amat penting menjaga kelestarian alam. Di samping sebagai tempat pemijahan bagi beberapa jenis ikan dan udang, hutan bakau melindungi pantai dari bahaya abrasi dan erosi serta mencegah intrusi air laut ke daratan. Juga berfungsi menjernihkan air laut dari sedimen sehingga keindahan terumbu karang dapat dinikmati. Dengan kondisi luas hutan mangrove yang berkurang, maka tak ada pilihan lain -- upaya pelestarian perlu segera digalakkan. Banyak negara maju menunjukkan perhatian yang serius terhadap pelestarian hutan mangrovenya. Jepang, misalnya, negara industri maju yang sudah tak punya lagi hutan mangrove. Negeri ini kini berupaya serius melestarikan hutan mangrovenya. Jepang bekerjasama dengan Indonesia membantu pelestarian hutan mangrove di kawasan Selatan Bali dan Lombok. Rehabilitasi Mangrove Dengan rehabilitasi hutan mangrove, diharapkan fungsi pengaturan tata air dapat ditingkatkan, polusi dan intrusi air laut dapat dicegah, pantai dilindungi dari abrasi, banjir, dan habitat biota laut bisa dipertahankan. Namun untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak dibutuhkan waktu lama. Menurut pakar mangrove Marcel Silvius dari Asian Wetland Beaureu (AWB), "Perlu waktu sepuluh sampai dua puluh tahun untuk memulihkan kondisi hutan mangrove yang rusak." Upaya rehabilitasi hutan mangrove telah dilakukan di Lampung dengan pola ABRI manunggal reboisasi (AMR), bekerjasama dengan perusahaan tambak udang swasta PT Centra Pertiwi Bratasena (CPB), di pantai Timur Lampung. Atau usaha rehabilitasi hutan mangrove oleh masyarakat Sinjai Timur, Sulawesi Selatan yang membuat Menteri LH Sarwono terkesan. Dalam 10 tahun masyarakat Sinjai Timur berhasil menanam kembali hutan mangrove seluas 600 ha. Humanisasi Hutan Bakau Untuk masyarakat sendiri yang kini sudah tinggal di kawasan pesisir ada beberapa tahap dalam merealisasikan langkah strategis peningkatan mutu kawasan hutan bakau yaitu , sebagai berikut: Tahap rehabilitasi Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengatasi kerusakan kawasan hutan bakau di Kota Makassar adalah tahap rehabilitasi. Tahap ini dimulai dengan mengklasifikasikan tingkat kerusakan kawasan hutan bakau di setiap tempat. Kawasan yang mengalami kerusakan kategori ringan ditangani dengan cara rehabilitasi sederhana, seperti perawatan terhadap pohon-pohon yang mulai rusak dan dilanjutkan dengan pengawasan secara intensif hingga pohon-pohon tersebut tumbuh besar. Sedangkan pohon-pohon yang masih dalam kondisi baik dilakukan pemeliharaan sehingga tidak ikut mati. Namun terhadap kawasan hutan bakau yang mengalami kerusakan dengan kategori berat perlu ditangani dengan cara-cara ekstra. Kawasan hutan bakau kategori ini adalah kawasan yang hampir seluruh pohon bakaunya telah rusak ataupun telah mati. Hanya tersisa beberapa pohon saja di kawasan kategori rusak berat ini. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk menanganinya adalah proses reboisasi (penanaman kembali). Proses reboisasi dilakukan untuk memperbaiki lahan-lahan yang pohon bakaunya telah mati. Agar menghasilkan pohon-pohon bakau yang berkualitas prima, dibutuhkan teknik-teknik khusus pada tahap ini. Belajar dari proses reboisasi kawasan hutan bakau yang dilakukan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, proses ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Pertama, lahan yang akan ditanami pohon-pohon bakau haruslah bermaterial lumpur. Material lumpur kaya akan zat hara yang dapat membantu pohon bakau untuk tumbuh dengan baik. Selain itu, kondisi ombak laut juga diperhatikan. Ombak laut yang deras tidak baik untuk pertumbuhan awal pohon mangrove. Kalaupun ombak laut disekitar kawasan tersebut cukup besar harus diantispasi dengan teknik-teknik tertentu. Selanjutnya proses penanaman pohon bakau. Sebaiknya teknik penanaman pohon bakau mangikuti model nasional penanaman bakau dengan sistem rumpun berjarak yang pertama kali diterapkan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jarak per rumpun adalah satu meter. Satu rumpun berisi 550 batang dengan panjang 50 batang dan lebar 11 batang. Ada beberapa tahapan. Pertama, memilih persemaian bakau, mencari bibit yang sehat berdaun dua sampai enam. Kedua, tahap prakondisi. Dengan kadar garam antara 30 dan 35 ppm selama 7-10 hari. Pada waktu persemaian, disiram air tawar sehingga kadar garam rendah. bakau ini akan ditanam dengan kadar garam tinggi. Tahap ketiga, penanaman rapat per rumpun berjumlah 550 batang, 50 batang (panjang) dan 11 batang (lebar) dengan kedalaman 20-25 cm. Dalam empat tahun, tinggi bakau itu mencapai tiga meter. Tinggi Mangrove maksimal empat meter sampai lima meter. Teknik berumpun berfungsi untuk memperkokoh pohon, selain menjerat hara (lumpur) dan tanda ada kegiatan sehingga nelayan tidak menebar jaring di sana. Selain itu dilakukan pula pemagaran di luar lokasi penanaman bakau dengan besi bekel berjarak 4 meter, disisip bambu rangkap setiap meternya, lalu diberi jejaring. Fungsinya untuk menahan sampah agar tidak masuk ke lokasi penanaman bakau. Tahap berikutnya, dilakukan pengawasan intensif selama tiga sampai enam bulan terhadap pagar dan bibit bakau yang ditanam. Jika tercabut, akan ditanami lagi. Pengawasan dilakukan sampai akarnya mencengkeram, antara tiga hingga enam bulan. Apabila akarnya telah benar-benar mencengkram tanah dengan baik barulah tingkat pengawasan dapat dikurangi. Saat itu pohon bakau telah siap untuk dibiarkan hidup. Tinggal diperhatikan dan sesekali dilakukan perawatan terhadap pohon-pohon yang terlihat mulai rusak. Tahap Humanisasi Setelah kawasan hutan bakau yang telah direhabilitasi tadi telah rimbun, langkah selanjutnya adalah tahap humanisasi. Yang dimaksud dengan proses humanisasi kawasan hutan bakau adalah menghidupkan daerah hutan bakau agar kelestariannya tetap terjaga. Kawasan hutan bakau akan lebih hidup jika kawasan tersebut lebih tersentuh dan diakrabi oleh masyarakat. Proses humanisasi ini akan menghilangkan kesan yang selama ini melekat pada kawasan hutan bakau. Selama ini kawasan hutan bakau selalu dianggap kawasan yang asing, menakutkan dan tidak cocok untuk beraktifitas bagi masyarakat. Kesan-kesan tersebut harus dihilangkan agar kawasan hutan bakau dapat bermanfaat lebih bagi masyarakat. Proses humanisasi kawasan hutan bakau dilakukan dengan cara penataan kawasan hutan bakau secara terpadu. Kawasan hutan bakau tidak hanya difungsikan sebagai penahan abrasi pantai tapi juga dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan masyarakat yang nantinya tentu saja akan memberikan pengahasilan bagi Kota Makassar ataupun bagi masyarakat itu sendiri. Ada beberapa desain penataan kawasan hutan bakau yang dapat diterapkan pada tahap humanisasi kawasan hutan bakau ini. Kawasan hutan bakau dapat pula difungsikan sebagai kawasan wisata hutan bakau, laboratorium penelitian ilmiah khususnya dibidang pengembangan kawasan hutan bakau, juga sebagai sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan bakau tersebut. Model pengembangan kawasan wisata hutan bakau telah dikembangkan dibeberapa daerah di Indonesia, misalnya di Kota Surabaya, Jawa Timur dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Kota Makassar sebagai salah satu kota yang memiliki kawasan pesisir terbesar dan terpenting di Indonesia seharus mencontoh daerah-daerah yang telah berhasil mengembangkan kawasan wisata hutan bakau tersebut.Jika telah berhasil mengembangkan kawasan wisata hutan bakau, bentuk pemanfaatn lain dari kawasan hutan bakau terpadu, yaitu kawasan penelitian dan pendidikan hutan bakau juga dapat dikembangkan. Kawasan hutan bakau yang sehat akan menjadi laboratorium yang sangat baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di kawasan tersebut para peneliti dapat meneliti berbagai hal. Mulai dari vegetasi hutan bakau itu sendiri, hingga kehidupan berbagai habitat hewan yang hidup di dalamnya. Selain itu kawasan hutan bakau terpadu dapat pula dijadikan sebagai sebuah sarana pendidikan bagi para pelajar. Setiap sekolah, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat mengadakan kunjungan rutin ke kawasan hutan bakau. Hal ini dilakukan agar para siswa bisa lebih mengenal arti pentingnya pemeliharaan kawasan hutan bakau. Secara tidak langsung hal ini dapat menumbuhkan rasa mencintai lingkungan sejak dini pada masing-masing siswa. Diharapkan dengan beberapa langkah peningkatan mutu (proses humanisasi) kawasan hutan bakau di Kota Makassar tersebut, dapat menjadi langkah penting yang dapat menyelamatkan kelangsungan kawasan hijau Kota Makassar. Selain itu, hal yang lebih penting lagi adalah untuk terus memberikan kehidupan yang bermutu kepada generasi dimasa yang akan datang, anak-cucu kita. Mengapa Materi Eksploitasi Bakau Layak Masuk dalam Kurikulum 2013 ? Argumen saya adalah dengan melihat begitu parahnya kondisi kerusakan yang terjadi di kawasan hutan bakau (kawasan hutan pesisir) di Indonesia saat ini, saya mengusulkan untuk melaksanakan langkah-langkah strategis yang dapat memperbaiki hal tersebut. Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut kondisi kawasan hutan bakau di Indonesia akan dapat diperbaiki sesegera mungkin. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan materi ini ke dalam mata pelajaran IPS. Agar anak didik sejak awal mengerti bahwa eksploitasi berlebihan dalam melakukan tindakan ekonomi membawa dampak pada berbagai sisi yang lain tak hanya sisi ekonomis saja tapi juga ekologi, sosial, dan budaya. Hal ini dilakukan agar peserta didik nantinya dalam kehidupan nyatanya dapat menghargai betapa pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam, tak hanya mengejar faktor ekonomis belaka. Dan dengan alam yang seimbang pula saya rasa nantinya justru membawa dampak ekonomis jangka panjang yang baik pula dan lebih maksimal. Juga dampak – dampak di bidang yang lain baik itu ekologi, dan sosial kultural. Sehingga nantinya diharapkan muncul anak bangsa yang berwawasan lingkungan dalam melakukan tindakan ekonomi. Diharapkan peserta didik nantinya juga menjadi lebih bijak dan arif dalam memanfaatkan kekayaan alam. Saya mengambil materi mengenai kerusakan bakau karena kita tahu bahwa negara Indonesia mempunyai garis panjang yang amat panjang, perairan Indonesia juga lebih luas dibandingkan dengan luas daratannya. Sehingga kesimbangan wilayah pesisir harus dijaga dengan baik. Bakau sebagai sabuk pengaman alami wilayah pesisir banyak yang telah rusak oleh oknum -oknum yang melakukan tindakan ekonomi yang tidak didasari dengan landasan moral lyang baik. Materi ini sesuai dengan Kopetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang ada di kelas VII. Di dalam Kompetensi 3 dinyatakan bahwa siswa diharapkan mampu memahami pengetahuan ( faktual, konseptual, prosedural ) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,budaya terkait fenomena , kejadian tampak mata. Di dalam Kompetensi Dasar 3.4 juga disebutkan bahwa siswa diharapkan memahami pengertian dinamika interaksi manusia dan lingkungan alam, sosial budaya, dan ekonomi. Fenomena air laut masuk ke darat atau rob sudah sangat mengganggu aktifitas sehari-hari. Hal tersebut diakibatkan dari eksploitasi yang berebihan pada kawasan pesisir di masa lampau, berupa penebangan hutan mangrove yang tidak terkontrol.Materi ini cukup tepat karena pada kenyataannya hutan bakau di Indonesia banyak yang rusak karena kelalaian manusia dalam menjalankan tindakan ekonomi yang profitable. Mereka lupa bahwa keseimbangan dengan alam harus tetap ada dan dijaga. Memang dalam menjalankan tindakan ekonomi keuntungan menjadi hal yang utama. Tapi bagaimana juga jika hanya itu yang dikejar tanpa memperhatikan lingkungan. Alam juga tak bisa memberikan lebih bagi manusia jika ia sendiri telah dirusak. Juga pemerintah harus tegas dalam menjalankan aturannya. Jangan sampai kawasan pesisir karena menguntungkan pihak tertentu ijin dengan mudah diberikan untuk membangun pabrik di pesisir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar