Nama :
Sri Lestari
Prodi :
Pend IPS
NIM :
0301512006
Mata Kuliah :
Teori dan Prinsip IPS
Soal :
IPS dalam konteks sejarah di satu sisi sejarah sebagai ilmu
dituntut untuk menjelaskan kejadian peristiwa masa lalu dengan seobyektif
mungkin, tapi di sisi lain jika hal itu dijelaskan secara obyektif, rasional ,
empirik terkadang tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari pihak tertentu.
Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Ilustrasi tulisan sejarah tentang kontroversi ajaran dan
kematian Syekh Siti Jenar
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal
kematian Syekh Siti Jenar dan ajarannya yang dianggap sesat. Ajarannya yang
amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di
sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada
pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging
atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden
Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya. Dari sisi agama Islam, Walisongo
yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus
berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini
membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera
datang menghadap ke Kesultanan Demak tapi tidak ditanggapi oleh Syekh Siti
Jenar. Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi
Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka,
berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa
Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran
Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
ANALISIS
Penulisan
sejarah tentang ajaran Syekh Siti Jenar
selama ini banyak mengandung subyektifitas. Syekh Siti Jenar digambarkan
oleh beberapa sejarawan sebagai tokoh penyebar aliran sesat. Hal ini bisa
dijelaskan sebagai berikut :
1. Analisa
peristiwa sejarah tersebut
Dari peristiwa tersebut tampak adanya konflik antara
kelompok walisongo dan kelompok Syek Siti Jenar. Padahal sebenarnya ada
kesamaan nilai yng sama pada tataran ontologisnya yaitu nilai kebenaran,
kemanusiaan, keharmonisan. Tidak terdapat toleransi oleh Walisongo terhadap
ajaran Syekh Siti Jenar. Wali songo mencoba mencari pengaruh dan menundukkan
kelompok Syekh Siti Jenar. Di sini tidak ada dialog yang terjadi adu otot, wali
songo menganggap ajaran Jenar sesat maka harus dihukum mati. Hal ini ada
dominasi di mana siapa yang kuat maka akan menjadi yang benar, di sini dominasi
ini ada di pihak Walisongo sehingga walisongo menjadi pihak yang benar.
Pengikut Walisongo secara kuantitas lebih besar, sehingga kebenaran di sini
adalah kebenaran menurut mayoritas. Padahal kebenaran mayoritas belum tentu
baik. . Ada dua subyek di sini. Walisongo sebagai subyek A menjadi subyek yang
subyektif karena menganggap ajaran yang lain sesat. Sedangkan Syekh Siti Jenar
sebagai subyek B mencoba menjadi subyek yang obyektif tak mempermasalahkan
ajaran walisongo. Meskipun demikian tetap ada pertentangan antara kedua subyek
tersebut dan muncul ketidakharmonisan, jalan parahnya di sini lewat pembunuhan
yang akan dilakukan pihak kesultanan Demak yang didukung oleh Walisongo. Hal
ini menunjukkan tindakan yang tidak sejalan dengan moral. Logikanya jika ada
ajaran/ aliran / agama yang lain ataupun baru ada 3 kemungkinan yaitu pertama
melebur / kompromi, kedua menerima, dan ketiga menolak. Di sini yang terjadi
pada subyek A adalah yang ketiga yaitu menolak. Di sini terlihat epistemologis
yang berbeda antara ke dua subyek tersebut. Padahal sebenarnya pada tataran
ontologis yang mereka perjuangkan sama yaitu nilai kemanusiaan . Seharusnya
nilai kemanusiaan ini diterjemahkan secara obyektif oleh ke dua subyek tadi
sehingga menjadi kebaikan untuk semua manusia, jangan diklaim secara subyektif.
Jadi kedua subyek tadi seharusnya boleh berbeda dalam tataran epistemologisnya
tapi nilai – nilai dalam tataran ontologis jangan ditinggalkan, agar membawa
aksiologis yang positif pula.
2. Subyektifitas
Ilmuwan Sejarah
Dalam beberapa tulisan sejarah, banyak sejarawan yang juga
menulis bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran yang sesat dalam
tulisannya. Penulis sejarahpun telah menjadi subyek yang subyektif. Padahal
sejarah sebagai ilmu dituntut mempunyai kadar ilmiah, maka ilmu sejarahpun juga
harus melalui prosedur metodologi yang ilmiah pula. Yaitu melalui proses
induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Sebagai ilmu maka filsafat
menjiwai filsafat sejarah. Dimana apa yang benar dan baik menurut filsafat maka
baik dan benar menurut ilmu sejarah. Nilai ontologis yang ingin dicapai oleh
sejarawan adalah nilai kebenaran atas apa yang menjadi fakta sejarah, nilai
kebenaran itu harus diaktualisasikan oleh sejarawan dalam menulis cerita
sejarah. Sehingga diharapkan sejarawan tidak berperilaku menyimpang dari
kebenaran dalam menulis sejarah tentang Syekh Siti Jenar dalam contoh tersebut.
Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
a. Pada
tataran ontologis
Keterangan : X 1 = kebenaran
X 2 =
kebaikan
X 3 =
wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Pada tataran
ontologis ini bahwa penulisan sejarah harusnya benar ya benar, baik ya baik.
Sehingga dalam tatanan ini bersifat non emosional, netral, bebas nilai.
Sejarawan ingin mencapai nilai kebenaran dalam tulisannya. Ajaran Syekh Siti
Jenar harus ditulis dengan benar tanpa prasangka. Ajaran yang diajarkan Siti
Jenar adalah budi pekerti luhur sehingga sangat mengandung nilai kemanusiaan.
Maka hal ini secara ontologis benar dan baik .
b. Pada
tataran epistemologis
Pada tataran ini bisa terjadi dua hal sebagai berikut :
1.
Keterangan : X 1 = kebenaran
X 2 = kebaikan
X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Bisa dijelaskan bahwa X 1 masih sama dengan X 2. Artinya apa
yang benar ya benar dan apa yang baik ya baik.
Dalam tataran epistemologis masih tetap sama yaitu bahwa sejarawan untuk
mencapai kebenaran ajaran Syekh Siti Jenar ditulis apa adanya , seobyektif
mungkin tanpa membelokkan kebenaran ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti
Jenar. Sehingga bahwa ajaran budi pekerti yang disampaikan Siti Jenar tetap
menjadi benar dan baik dalam tulisannya tanpa direduksi sedikitpun. Tanpa ada
kepentingan yang bermain di dalamnya
2.
.
Keterangan : X 1 = kebenaran
X 2 = kebaikan
X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Dari gambar di atas bisa dijelaskan bahwa X1 ≠ X2. Di sini penulisan sejarah oleh sejarawan bisa
benar tapi tidak baik, atau sebaliknya baik tapi tidak benar. Untuk contoh
peristiwa tersebut sejarawan dalam tataran epistemologisnya telah menjadi
subyek yang subyektif yang bisa membelokkan kebenaran. Menulis bahwa ajaran
Siti Jenar sesat. Hal ini terkait dengan
pemahaman para sejarawan terhadap makna kebenaran ataupun kebaikan. Juga
dikarenakan ada faktor kepentingan /
aksiden yang bisa membelokkan kebenaran
sebagai contoh adanya relasi, status sejarawan sendiri sebagai umat Islam ,
faktor mayoritas / kuantitas, sehingga faktor – faktor kepentingan inilah yang
telah mereduksi kebenaran. Faktor kepentingan dari sejarawan telah membiaskan
kebenaran yang substansial. Sejarawan barangkali telah terbelenggu nilai –
nilai praksis yang bisa mereduksi kebenaran.
c. Pada
tataran aksiologis
Pada tataran ini nilai guna ilmu sejarah itu menjadi
berarti. Terkadang epistemologi yang negatif
bisa menghsilkan aksiologis yang positif maupun negatif. Mengingat
filsafat merumuskan kebenaran didasarkan pada hasil perenungan mendalam manusia
secara logis maka kebenaranya bersifat utopia (idealitas), sehingga belum tentu
dapat di temui dalam kehidupan nyata .Agar dapat di ketahui sejauh manakah realita itu mendekatkan
realitas. Maka upaya penerapan idealitas harus selalu mempertimbangkan realita
yang ada. Kita harus mengetahui kebaikan-kebaikan dan juga kelemahan-kelemahan
dari realita yang sedang kita hadapi. Lalu kita merumuskan langkah-langkah yang
di perlukan bagi upaya perbaikan tersebut dengan mengingat pada sumber daya
yang di miliki dan tantangan-tantangan yang di hadapi. Tantangan-tantangan itu
harus di perhitungkan secara masak-masak agar usaha menegakkan kebenaran itu
tidak menimbulkan gejolak yang tidak terkendali dengan dampak pecahnya
kekerasan yang bertolak belakang dengan misi kebenaran: damai, sejahtera, adil,
dan bebas. Pada kasus ini sejarawan tidak bersikap obyektif, rasional, dan
empirik dalam menulis tentang Siti Jenar dan ajarannya. Jika ajaran Siti Jenar
ditulis seobyektif mungkin sejarawan khawatir maka kemurniaan Islam akan porak
poranda. Dan lagi sejarawan tak mampu melawan penguasa yang mayoritas beragama
muslim. Penguasa baik di tingkat mikro maupun makro mempunyai peranan yang
vital dalam kerangka penulisan sejarah di Indonesia. Maka penguasapun telah
pula menjadi subyek yang subyektif pula dalam memandang tulisan sejarah. Kultur
Indonesia yang mayoritas Islam tidak akan pernah suka dengan berbagai aliran
yang dianggap menyimpang sedikitpun. Mengingat salah satu fungsi sejarah adalah
edukatif, bisa jadi sejarah yang obyektif dianggap tidak mendidik kerohaniaan
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Kalau tolak ukurnya budaya dan
agama sebagai salah satu wujud budaya maka bisa terjadi bahwa yang benar belum
tentu baik.
Memang sebagai ilmu sejarah harus melalui prosedur ilmiah
yang dimulai dari proses induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Proses
induksi dalam metode penelitian sejarah dimulai dengan mengumpulkan berbagai
fakta dan sumber sejarah. Sejarawan harus mengumpulkan bukti – bukti sejarah
maupun sumber sejarah yang ada di lapangan. Kemudian masuk dalam tahapan
deduksi. Dari sumber – sumber sejarah yang pasif tersebut harus ditafsirkan
oleh sejarawan sehingga menghasilkan fakta sejarah. Penafsiran ini bisa
didasarkan pada teori – teori yang telah ada sebelumnya. Sehingga nantinya bisa dihasilkan sebuah
hipotesis atas apa yang akan menjadi intepretasi sejarawan dalam tulisan
sejarahnya nanti. Kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi yaitu analisis
model dan pembuktian untuk mencari kebenaran sejarah. Fakta – fakta yang telah
diperoleh tadi dihubung - hubungkan
melalui penafsiran sejarawan kemudian disentesakan baru ditulis dalam bentuk
narasi. Yang terjadi pada contoh di atas memang sejarawan telah melalui proses
induksi dengan baik, tapi hanya sebatas mengumpulkan sumber – sumber. Tapi
dalam ilmu sejarah sumber – sumber yang pasif tersebut harus diintepretasi oleh
sejarawan. Di sinilah sejarah mulai menjadi kurang ilmiah, karena dalam proses
penafsiran sumber sejarah subyektifitas sejarawan bermain di dalamnya sesuai
dengan kepentingannya. Pada tahap ini seorang sejarawan seringkali melakukan
kesalahan. Kepentingan sejarawanan pada kasus ini memang ingin membuat aliran
agamanya yang paling benar . Juga ketakutan akan pengaruh aliran lain yang bisa
merebut pengaruh dari para anggota kelompoknya sendiri. Ketakutan jika
kelompoknya beralih aliran jika mengetahui ajaran siti jenar yang sebenarnya
yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan Sumber – sumber sejarah yang diperoleh
sejarawan dalam hal ini seperti serat, pupuh, tulisan peninggalan ajaran Siti
Jenar telah diintepretasikan lain dan subyektif menurut sejarawan tersebut demi
sebuah kepentingan tertentu sehingga tulisan sejarah yang dihasilkan menjadi
tidak ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad. 2010. Filsafat ilmu. Jogyakarta : Pustaka
Pelajar
Budi, Iman. 2010. Nasihat hidup orang jawa. Jogyakarta :
Diva Press
Kencana, Inu. 2010. Pengantar filsafat. Bandung : PT Refika
Aditama
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan sejarah. Jogyakarta : Tiara
Wacana
Munir, Abdul. 2003. Syekh Siti Jenar: Membuka pintu
makrifat. Jogyakarta : Kreasi Wacana
Tebba, Sudirman. 2003. Syaikh Siti Jenar : Surga dan neraka
terletak pada diri manusia.
Bandung
: Pustaka Hidayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar