Kamis, 09 Mei 2013

teori dan prinsip ips dalam sejarah


Nama                                    : Sri Lestari
Prodi                                     : Pend IPS
NIM                                       : 0301512006
Mata Kuliah                        : Teori dan Prinsip IPS
Soal :
IPS dalam konteks sejarah di satu sisi sejarah sebagai ilmu dituntut untuk menjelaskan kejadian peristiwa masa lalu dengan seobyektif mungkin, tapi di sisi lain jika hal itu dijelaskan secara obyektif, rasional , empirik terkadang tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari pihak tertentu. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Ilustrasi tulisan sejarah tentang kontroversi ajaran dan kematian Syekh Siti Jenar
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar dan ajarannya yang dianggap sesat. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya. Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak tapi tidak ditanggapi oleh Syekh Siti Jenar. Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
ANALISIS
                Penulisan sejarah tentang ajaran Syekh Siti Jenar  selama ini banyak mengandung subyektifitas. Syekh Siti Jenar digambarkan oleh beberapa sejarawan sebagai tokoh penyebar aliran sesat. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
1.            Analisa peristiwa sejarah tersebut
Dari peristiwa tersebut tampak adanya konflik antara kelompok walisongo dan kelompok Syek Siti Jenar. Padahal sebenarnya ada kesamaan nilai yng sama pada tataran ontologisnya yaitu nilai kebenaran, kemanusiaan, keharmonisan. Tidak terdapat toleransi oleh Walisongo terhadap ajaran Syekh Siti Jenar. Wali songo mencoba mencari pengaruh dan menundukkan kelompok Syekh Siti Jenar. Di sini tidak ada dialog yang terjadi adu otot, wali songo menganggap ajaran Jenar sesat maka harus dihukum mati. Hal ini ada dominasi di mana siapa yang kuat maka akan menjadi yang benar, di sini dominasi ini ada di pihak Walisongo sehingga walisongo menjadi pihak yang benar. Pengikut Walisongo secara kuantitas lebih besar, sehingga kebenaran di sini adalah kebenaran menurut mayoritas. Padahal kebenaran mayoritas belum tentu baik. . Ada dua subyek di sini. Walisongo sebagai subyek A menjadi subyek yang subyektif karena menganggap ajaran yang lain sesat. Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai subyek B mencoba menjadi subyek yang obyektif tak mempermasalahkan ajaran walisongo. Meskipun demikian tetap ada pertentangan antara kedua subyek tersebut dan muncul ketidakharmonisan, jalan parahnya di sini lewat pembunuhan yang akan dilakukan pihak kesultanan Demak yang didukung oleh Walisongo. Hal ini menunjukkan tindakan yang tidak sejalan dengan moral. Logikanya jika ada ajaran/ aliran / agama yang lain ataupun baru ada 3 kemungkinan yaitu pertama melebur / kompromi, kedua menerima, dan ketiga menolak. Di sini yang terjadi pada subyek A adalah yang ketiga yaitu menolak. Di sini terlihat epistemologis yang berbeda antara ke dua subyek tersebut. Padahal sebenarnya pada tataran ontologis yang mereka perjuangkan sama yaitu nilai kemanusiaan . Seharusnya nilai kemanusiaan ini diterjemahkan secara obyektif oleh ke dua subyek tadi sehingga menjadi kebaikan untuk semua manusia, jangan diklaim secara subyektif. Jadi kedua subyek tadi seharusnya boleh berbeda dalam tataran epistemologisnya tapi nilai – nilai dalam tataran ontologis jangan ditinggalkan, agar membawa aksiologis yang positif pula.
2.            Subyektifitas Ilmuwan Sejarah
Dalam beberapa tulisan sejarah, banyak sejarawan yang juga menulis bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran yang sesat dalam tulisannya. Penulis sejarahpun telah menjadi subyek yang subyektif. Padahal sejarah sebagai ilmu dituntut mempunyai kadar ilmiah, maka ilmu sejarahpun juga harus melalui prosedur metodologi yang ilmiah pula. Yaitu melalui proses induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Sebagai ilmu maka filsafat menjiwai filsafat sejarah. Dimana apa yang benar dan baik menurut filsafat maka baik dan benar menurut ilmu sejarah. Nilai ontologis yang ingin dicapai oleh sejarawan adalah nilai kebenaran atas apa yang menjadi fakta sejarah, nilai kebenaran itu harus diaktualisasikan oleh sejarawan dalam menulis cerita sejarah. Sehingga diharapkan sejarawan tidak berperilaku menyimpang dari kebenaran dalam menulis sejarah tentang Syekh Siti Jenar dalam contoh tersebut. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
a.            Pada tataran ontologis



               
Keterangan : X 1 = kebenaran
                X 2 = kebaikan
                X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
                Pada tataran ontologis ini bahwa penulisan sejarah harusnya benar ya benar, baik ya baik. Sehingga dalam tatanan ini bersifat non emosional, netral, bebas nilai. Sejarawan ingin mencapai nilai kebenaran dalam tulisannya. Ajaran Syekh Siti Jenar harus ditulis dengan benar tanpa prasangka. Ajaran yang diajarkan Siti Jenar adalah budi pekerti luhur sehingga sangat mengandung nilai kemanusiaan. Maka hal ini secara ontologis benar dan baik .
b.            Pada tataran epistemologis
Pada tataran ini bisa terjadi dua hal sebagai berikut :
1.

Keterangan : X 1 = kebenaran
                                    X 2 = kebaikan
                                    X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Bisa dijelaskan bahwa X 1 masih sama dengan X 2. Artinya apa yang benar ya benar dan apa yang baik ya baik.  Dalam tataran epistemologis masih tetap sama yaitu bahwa sejarawan untuk mencapai kebenaran ajaran Syekh Siti Jenar ditulis apa adanya , seobyektif mungkin tanpa membelokkan kebenaran ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Sehingga bahwa ajaran budi pekerti yang disampaikan Siti Jenar tetap menjadi benar dan baik dalam tulisannya tanpa direduksi sedikitpun. Tanpa ada kepentingan yang bermain di dalamnya
2.
.
Keterangan : X 1 = kebenaran
                                    X 2 = kebaikan
                                    X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Dari gambar di atas bisa dijelaskan bahwa X1 ≠ X2.  Di sini penulisan sejarah oleh sejarawan bisa benar tapi tidak baik, atau sebaliknya baik tapi tidak benar. Untuk contoh peristiwa tersebut sejarawan dalam tataran epistemologisnya telah menjadi subyek yang subyektif yang bisa membelokkan kebenaran. Menulis bahwa ajaran Siti Jenar sesat.  Hal ini terkait dengan pemahaman para sejarawan terhadap makna kebenaran ataupun kebaikan. Juga dikarenakan  ada faktor kepentingan / aksiden  yang bisa membelokkan kebenaran sebagai contoh adanya relasi, status sejarawan sendiri sebagai umat Islam , faktor mayoritas / kuantitas, sehingga faktor – faktor kepentingan inilah yang telah mereduksi kebenaran. Faktor kepentingan dari sejarawan telah membiaskan kebenaran yang substansial. Sejarawan barangkali telah terbelenggu nilai – nilai praksis yang bisa mereduksi kebenaran.
c.             Pada tataran aksiologis
Pada tataran ini nilai guna ilmu sejarah itu menjadi berarti. Terkadang epistemologi yang negatif  bisa menghsilkan aksiologis yang positif maupun negatif. Mengingat filsafat merumuskan kebenaran didasarkan pada hasil perenungan mendalam manusia secara logis maka kebenaranya bersifat utopia (idealitas), sehingga belum tentu dapat di temui dalam kehidupan nyata .Agar dapat di ketahui  sejauh manakah realita itu mendekatkan realitas. Maka upaya penerapan idealitas harus selalu mempertimbangkan realita yang ada. Kita harus mengetahui kebaikan-kebaikan dan juga kelemahan-kelemahan dari realita yang sedang kita hadapi. Lalu kita merumuskan langkah-langkah yang di perlukan bagi upaya perbaikan tersebut dengan mengingat pada sumber daya yang di miliki dan tantangan-tantangan yang di hadapi. Tantangan-tantangan itu harus di perhitungkan secara masak-masak agar usaha menegakkan kebenaran itu tidak menimbulkan gejolak yang tidak terkendali dengan dampak pecahnya kekerasan yang bertolak belakang dengan misi kebenaran: damai, sejahtera, adil, dan bebas. Pada kasus ini sejarawan tidak bersikap obyektif, rasional, dan empirik dalam menulis tentang Siti Jenar dan ajarannya. Jika ajaran Siti Jenar ditulis seobyektif mungkin sejarawan khawatir maka kemurniaan Islam akan porak poranda. Dan lagi sejarawan tak mampu melawan penguasa yang mayoritas beragama muslim. Penguasa baik di tingkat mikro maupun makro mempunyai peranan yang vital dalam kerangka penulisan sejarah di Indonesia. Maka penguasapun telah pula menjadi subyek yang subyektif pula dalam memandang tulisan sejarah. Kultur Indonesia yang mayoritas Islam tidak akan pernah suka dengan berbagai aliran yang dianggap menyimpang sedikitpun. Mengingat salah satu fungsi sejarah adalah edukatif, bisa jadi sejarah yang obyektif dianggap tidak mendidik kerohaniaan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Kalau tolak ukurnya budaya dan agama sebagai salah satu wujud budaya maka bisa terjadi bahwa yang benar belum tentu baik.
Memang sebagai ilmu sejarah harus melalui prosedur ilmiah yang dimulai dari proses induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Proses induksi dalam metode penelitian sejarah dimulai dengan mengumpulkan berbagai fakta dan sumber sejarah. Sejarawan harus mengumpulkan bukti – bukti sejarah maupun sumber sejarah yang ada di lapangan. Kemudian masuk dalam tahapan deduksi. Dari sumber – sumber sejarah yang pasif tersebut harus ditafsirkan oleh sejarawan sehingga menghasilkan fakta sejarah. Penafsiran ini bisa didasarkan pada teori – teori yang telah ada sebelumnya.  Sehingga nantinya bisa dihasilkan sebuah hipotesis atas apa yang akan menjadi intepretasi sejarawan dalam tulisan sejarahnya nanti. Kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi yaitu analisis model dan pembuktian untuk mencari kebenaran sejarah. Fakta – fakta yang telah diperoleh tadi dihubung  - hubungkan melalui penafsiran sejarawan kemudian disentesakan baru ditulis dalam bentuk narasi. Yang terjadi pada contoh di atas memang sejarawan telah melalui proses induksi dengan baik, tapi hanya sebatas mengumpulkan sumber – sumber. Tapi dalam ilmu sejarah sumber – sumber yang pasif tersebut harus diintepretasi oleh sejarawan. Di sinilah sejarah mulai menjadi kurang ilmiah, karena dalam proses penafsiran sumber sejarah subyektifitas sejarawan bermain di dalamnya sesuai dengan kepentingannya. Pada tahap ini seorang sejarawan seringkali melakukan kesalahan. Kepentingan sejarawanan pada kasus ini memang ingin membuat aliran agamanya yang paling benar . Juga ketakutan akan pengaruh aliran lain yang bisa merebut pengaruh dari para anggota kelompoknya sendiri. Ketakutan jika kelompoknya beralih aliran jika mengetahui ajaran siti jenar yang sebenarnya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan Sumber – sumber sejarah yang diperoleh sejarawan dalam hal ini seperti serat, pupuh, tulisan peninggalan ajaran Siti Jenar telah diintepretasikan lain dan subyektif menurut sejarawan tersebut demi sebuah kepentingan tertentu sehingga tulisan sejarah yang dihasilkan menjadi tidak ilmiah.


DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad. 2010. Filsafat ilmu. Jogyakarta : Pustaka Pelajar
Budi, Iman. 2010. Nasihat hidup orang jawa. Jogyakarta : Diva Press
Kencana, Inu. 2010. Pengantar filsafat. Bandung : PT Refika Aditama
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan sejarah. Jogyakarta : Tiara Wacana
Munir, Abdul. 2003. Syekh Siti Jenar: Membuka pintu makrifat. Jogyakarta : Kreasi Wacana
Tebba, Sudirman. 2003. Syaikh Siti Jenar : Surga dan neraka terletak pada diri manusia.
                Bandung : Pustaka Hidayah




Tidak ada komentar:

Posting Komentar