TUGAS INDIVIDU
RESENSI BUKU
Disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Perspektif Sejarah
Dosen Pengampu : Prof.
Dr. Wasino, M.Hum
Disusun
Oleh
Sri
Lestari ( 0301512006 )
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
RESENSI
BUKU
MEMETAKAN
MASA DEPAN, MENGAJARKAN MASA LALU
Judul
Buku : Berpikir Historis
Judul Asli : Historical Thinking and other Unnatural
Acts Charting the Future of Teaching The Past
Penerjemah : Masri Maris
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun
Terbit : 2006
Tebal
Buku : 381 halaman
Harga
Buku : Rp69.000,00
Sam
Wineburg adalah seorang professor jurusan Pendidikan di Stanford University, ia
juga menjadi professor jurusan Studi Kognitif dan professor jurusan Sejarah di
University of Washington, Seattle. Bukunya ini mengantarkannya untuk meraih
penghargaan dalam The Frederic W. Ness Book Award. Penghargaan ini diberikan
pada buku yang memberikan kontribusi terhadap
pemahaman dan peningkatan kualitas pendidikan liberal. Buku ini menambah
pengalaman kita dalam rangka berpikir historis. Dengan belajar sejarah kita
dapat menempatkan diri kita sebagai salah satu bagian dari kehidupan ini yang
penuh tantangan, gejolak, perbedaan yang seharusnya kita sikapi dengan arif dan
bijaksana. Juga kita bisa belajar menghargai perbedaan pendapat, perbedaan
tafsir dalam sebuah sumber sejarah., bahkan kita pun bisa meragukan atas
tulisan sejarah yang sudah ada. Kita bisa menulis ulang sejarah yang obyektif
dan bebas prasangka.
Kaitannya dengan
sekarang guru harus mampu dalam membantu murid melihat masa lalu yang jauh itu
sebagai bagian dari persolan – persoalan penting yang kini terjadi. Dalam
melihat masa lalupun seharusnya tidak dengan ukuran pada masa kita sekarang.
Buku yang ditulis ini menggunakan pendekatan psikologi untuk mengetahui
pandangan siswa mengenai sejarah. Buku ini sebagai penyegar bagi sejarawan
atupun pelaku pengajaran sejarah di tiap unit pendidikan, hanya saja sayang
sekali contoh – contoh konteks yang ada ataupun peristiwa – peristiwa hanya
mengambil contoh dalam benua Amerika, padahal jika membicarakan masalah ras
banyak sekali contoh – contoh pada Negara lain. Tapi bagaimanapun sumbangan Sam
Wineburg dalam buku ini sangat besar, membuka cakrawala baru tentang perspektif
sejarah. Jika dibandingkan dengan karya sejenis seperti buku yang ditulis S.K Kochhar yang berjudul Teaching of History
ada beberapa persamaan pemikiran antara 2 penulis tersebut. Kochhar juga mengganggap
bahwa sejarah adalah unsur yang penting dalam ilmu – ilmu sosial. Dalam
tulisannya Kochhar mampu membuat sejarawan maupun guru dapat memikul tanggung
jawab yang baru denggan penuh percaya diri dan tanggung jawab. Buku Kochhar
juga menekankan pentingnya belajar sejarah seperti yang disampaikan Winneburg.
Kochhar juga menyampaikan beragam metode yang bisa diajarkan dalam pembelajaran
sejarah sehingga pelajaran sejarah benar – benar hidup dan tidak membosankan.
Kochhar juga menyampaikan bagaimana sejarah itu ditulis secara obyektif dan
ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Bapak sejarah kita Herodotus, yang berusaha
mengembalikan sejarah pada fitrahnya. Ia hanya memasukkan dalam bukunya
peristiwa – peristiwa yang kejujurannya benar – benar memuaskan hatinya;
sungguh menyakitkan ketika ia harus memisahkan kebenaran dari ketidakbenaran.
Herodotus mewariskan kepada kita sejarah yang ilmiah, abstrak, fokus pada
masalah, dan bersih dari unsur – unsur mitos dan kepentingan pribadi ataupun
politik golongan tertentu, hal ini sama apa yang telah menjadi pemikiran Wineburg.
Baiklah di bawah ini akan saya ulas buku
Sam Wineburg pada bab I dan bab IV..
BAB I
BERPIKIR SEJARAH DAN PERILAKU TIDAK
WAJAR LAINNYA
Pada bab ini Wineburg
mengawali pemikirannya dengan mengambil contoh mengenai perdebatan sejarah nasional di Amerika.
Sejarawan harus memilih tokoh mana yang harus ditulis dan mewakili dari sejarah nasional di
Amerika, apakah George Washington atau Bart Simpson. Jelas disini kepentingan
sudah masuk dalam penulisan sejarah. Mengenai sejarah sosial budaya pun ada
perdebatan juga dalam menyusun standar, sebagian ada yang ketakutan laten akan
keberagaman Amerika “ tempat muka – muka baru yang berdesak – desakan di atas
panggung sejarah yang merusak keserasian dan rasa aman menurut pengertian versi – versi yang lebih tua tentang masa
lalu. Dalam bahasa rumah minum yang cocok untuk melukiskan pertarungan semacam
itu, penyusun standar itu adalah penghianat bangsa, sedangkan penentangnya
adalah pendukung perbedaan ras. Di sini menunjukkan bahwa Amerika yang multi
ras tiap – tiap golongan mulai berebut pengaruh untuk tampil dalam tulisan
sejarah. Lalu muncul pemikiran sejarah yang bagaimana yang harus dipelajari,
apakah anak – anak sebaiknya belajar patriotisme, kepahlawanan, dan cita – cita
negara atau ketidak adilan, kekalahan, hipokrisi pemimpin, dan kelas – kelas
dominan. Apakah sejarah hanya merupakan slogan kepentingan saja. Kalau sejarah
dianggap humaniora maka mengajarkan kepada kita bahwa kita hendaknya menghindari
slogan, menghargai keanekaragaman, dan mencintai nuansa. Sejarah tidak hanya mengajarkan nama, menceritakan kisah
tapi untuk mencapai tujuannya yang
tertinggi yakni memberikan kepada kita “kemampuan mental yang tidak ternilai
yang kita namakan penilaian “.
Perdebatan – perdebatan yang ada hanya sebatas apa yang akan
diajarkan bukan “ mengapa kita belajar sejarah ?“ Sejarah telah menjadi pusat
perhatian tapi akarnya tidak dalam. Pembelajaran sejarah di sekolah menjadi
kurang bermakna, apalagi guru – guru banyak yang diajarkan metode – metode
pengajaran pada pelajaran ilmu pasti saja, untuk sejarah hanya perdebatan dalam
kebijakan nasional tapi di sekolah kedudukannya tidak begitu jelas, mengapa
sejarah perlu diajarkan di sekolah. Secara singkat Wineburg berpandangan bahwa
sejarah memiliki potensi, yang baru sebagian saja terwujud, untuk menjadikan
kita manusia yang berperikemanusiaan, hal yang tidak dapat dilakukan oleh semua
mata pelajaran yang lain dalam kurikulum di sekolah. Tiap generasi harus mengajukan
pertanyaan mengapa perlu mempelajari masa lalu?, mengingatkan dirinya sendiri,
mengapa sejarah dapat mempersatukan kita dan bukan memecah belah kita seperti
yang kita saksikan akhir – akhir ini. Wineburg berpendapat untuk mewujudkan
sejarah yang dewasa diperlukan mengarungi alam sejarah yang tidak rata,
kemampuan menyusuri wilayah bebatuan yang terbentang antara kutub akrab dengan
masa lalu dan kutub asing dengan masa lalu. Dengan menambatkan kisah diri kita
pada masa depan, masa lalu menjadi sebuah sumber yang bermakna dalam kehidupan
kita sehari – hari. Sejarah merupakan alat refleksi diri.
Mampu berpikir sejarah menurut Wineburg mengharuskan kita
berpikir dengan cara yang bertentangan dengan cara kita berpikir sehari – hari selama
ini, dan inilah salah satu sebab mengapa lebih mudah menghafal tanggal –
tanggal dan kejadian – kejadian daripada mengubah struktur dasar cara berpikir
kita yang kita gunakan untuk memahami makna masa lalu. Wineburg memberikan
beberpa contoh kongrit dalam pembelajaran sejarah yang tidak hanya menghafal
tanggal saja tapi lebih pada metakognisi. Salah seorang adalah Derek, ia
adalah murid sejarah yang berumur 17
tahun, ia ternyata memperoleh informasi yang berbeda dari apa yang diketahuinya
selama ini. Tafsiran Derek terhadap dokumen yang dibacanya, ia mulai mengalami
pertentangan tentang apa yang diketahui terhadap kenyataan yang ada dalam dokumen tersebut. Di sini dapat kita lihat
bahwa tujuan belajar sejarah seharusnya mengajarkan kepada kita apa yang tidak
dapat kita lihat, untuk memperkenalkan diri kita kepada penglihatan kita yang
kabur sejak kita lahir.
Berpikir sejarah mengharuskan kita mempertemukan dua
pandangan yang berbeda, pertama cara berpikir yang kita gunakan selama ini
adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan kedua jika kita tidak
berusaha menyingkirkan warisan itu mau tidak mau menggunakan “presentism” yang
membuat buntu pikiran kita sekarang yang melihat masa lalu dengan kacamata
sekarang. Dalam masa setengah abad terakhir ini terjadi perubahan – perubahan
besar yang terjadi dalam cara menulis sejarah, catatan sejarah tidaklagi
terbatas pada catatan mengenai peristiwa besar di bidang pemerintahan tetapi
sekarang juga mencakup kegiatan sehari – hari, seperti melahirkan anak dan
kegiatan orang sehari – hari dalam menyambung hidup. Penulisan sejarah yang
semacam ini seperti kerja keras, pengorbanan hidup yang dekat dengan kehidupan
kita sehari – hari bisa membuat pikiran kita lebih terbuka sekaligus menangkis
bahwa sejarah merupakan ilmu daya ingat . Wineburg mulai tertarik bagaimana
menulis ulang sejarah, ia juga mengungkap hal – hal yang harus dilakukan sejarawan
ketika menulis sejarah antara lain harus berkepala dingin, tidak memihak,
ilmiah, obyektif, tapi tidak melibatkan
dan menjadikan dirinya bagian dari kisah yang ditulisnya karena jika hal
ini tidak dikendalikan perasaan kita akan menghasilkan kisah yang berbeda dari kisah yang ingin kita ceritakan. Wineburg
mengambil contoh mengenai sosok Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang
ke 16. Banyak tafsiran mengenai tokoh ini. Ada yang berpandangan Lincoln tulus
dengan segala ucapannya dalam pidato tersebut tapi ada juga yang menafsirkan
Lincoln bahwa ia berbicara seperti itu dalam ranah politik agar ia dapat dipilih
lagi sebagai presiden nantinya. Di sini kita dituntut untuk tidak tergesa gesa
menilai masa lalu. Sejarah dalam kenyataanya
harus dipandang tidak hanya sebagai subyek tetapi juga sebagai cara berpikir. Hal ini sama
dengan apa yang diungkapkan Kocchar dalam bukunya “ Teaching of History “ Kedua
penulis ini ternyata banyak memiliki kesamaan pandang dalam melihat sejarah
Mempelajari sejarah sangat penting untuk kita pada zaman
sekarang ini ditengah berbagai persoalan keanekaragaman yang mendominasi agenda
nasional. Ketidakmampuan kita turut merasakan pengalaman orang lain tidak hanya
berlaku dalam kaitan masa lampau tapi
juga berlaku bagi kaitannya dengan masa kini. Diantara berbagai mata pelajaran
dalam kurikulum sekuler, sejarahlah yang paling baik mengajarkan budi pekerti
bidang yang sebelumnya diperuntukkan bagi teologi semata. Sikap rendah hati di
hadapan kemampuan kita yang terbatas untuk mengetahui, dan rasa takjub di
hadapan luasnya sejarah manusia.
BAB
IV
SEJARAH
SEBAGAI INGATAN NASIONAL
Sam Wineburg berpendapat bahwa
budaya popular menyuguhkan kepada kita citra – citra umum yang menumpulkan
pikiran kita tentang kelas sejarah. Papan tulis yang penuh dengan coretan –
coretan tanpa arti, semua fakta dihafalkan cepat cepat dan kemudian dilupakan cepat
– cepat pula. Murid – murid duduk membisu dengan mata berkaca kaca, beberapa
mencatat tapi sebagian lagi menguap karena bosan. Winneburg berpendapat bahwa
guru harus menarik perhatian siswa dulu. Ia harus membantu para siswa melihat
masa lalu yang jauh itu sebagai kulit luar dari persoalan – persoalan penting
yang tetap ada hingga kini. Guru harus berani melakukan terobosan, melakukan
hal – hal yang luar dari biasanya untuk membangkitkan murid – murid pada kelas
sejarah. Wineburg menyampaikan contoh kongrit dalam pembelajaran sejarah
dengan berdiskusi yang dimulai
dengan permainan di luar kelas. Siswa
diajak mengaitkan peristiwa masa lalu dengan masa kini melalui permaian yang
dilakukan. Sehingga setelah permainan itu usai dan riuh, guru secara perlahan
masuk ke dalam alam pikiran siswa, mulai dari mengapa hingga bagaimana.
Akhirnya siswa mulai tertarik diawali dengan perdebatan yang hangat, suasana
belajar menjadi benar – benar hidup dengan adanya perdebatan itu. Guru
mengaitkan hal tersebut dengan materi pelajaran bahwa system hukum di Amerika
disusun melalui perdebatan yang panjang dan kompromi seperti yang telah
dilakukan anak – anak dalam permainan tadi. Permainan yang dilakukan anak –
anak tadi berlangsung riuh bahkan kacau, guru membiarkan saja kejadian alami
tersebut terjadi, dan menarik analogi dengan peristiwa Amerika pada masa itu
yang sedang mengalami krisis seperti apa yang disebut dengan “ Critical Period”
periode yang ditandai dengan keragu - raguan dalam mengambil keputusan, tidak
adanya tindakan, dan rasa tidak puas yang semakin besar seperti hal – hal yang
baru saja dialami siswa – siswa dalam permainan anak – anak tadi, sehingga anak
– anak seperti mengalami peristiwa sendiri dan lebih bermakna. Di sini sejarah
memberikan fungsi luhurnya, tidak hanya mengingat tanggal saja tapi makna di
balik peristiwa itu yang dapat kita petik dalam kehidupan sehari – hari. Bagi
anak – anak pengetahuan sekolah dan pengetahuan dari pengalaman sehari – hari tidak terpisah satu sama lain.
Guru sejarah harus mampu menciptakan suasana tempat pendidikan sebagai suatu
proses berdebat, berdiskusi, mengajukan pertanyaan, maka anak – anak ini dapat
beranjak dari bermain ke kemampuan mengungkapkan pendapat mereka sendiri. Wineburg
juga memberi contoh skenario pembelajaran dengan memanggil pakar ataupun saksi
hidup pada saat peristiwa sejarah itu terjadi ke dalam kelas. Sejarah merupakan
pengalaman yang memanusiakan yang membuat pemikiran murid lebih bernuansa,
sementara mendorong mereka untuk menolak jawaban – jawaban mudah seperti
tanggal dan tempat kejadian penting saja, tapi lebih mengapa peristiwa itu
terjadi dan apakah kita mampu memetik pelajaran dari peristiwa tersebut.
Diskusi dalam kelas seperti itu mau
tidak mau akan menyentuh persoalan – persoalan penilaian, konflik, dan
ketegangan yang menjadi cirri masyarakat bebas. Inilah yang dimaksud sekolah
bukan tempat berlatih bagi demokrasi tapi tempat demokrasi diperagakan.
Wineburg mengungkapkan ketika
masyarakat terus digoncang oleh berbagai masalah sosial tempat sejarah dalam
kurikulum tetap goyah. Sejarah selalu diminta untuk membela diri di tengah –
tengah desakan untuk mengajarkan “ pendidikan lingkungan,” “pendidikan jasa “ “
pendidikan perdamaian” dan banyak lagi pesaing – pesaing yang lain. Buku ini
sangat penting sekali sebagai referensi bagi guru – guru sejarah maupun ilmu
sosial yang lain dan juga para pejabat Negara yang penuh dengan berbagai
kepentingan politik, karena dapat memberikan arti yang lebih mendalam mengenai
pembelajaran sejarah dan bagaimana cara mengajarkan sejarah dengan baik sehingga membawa manfaat yang signifikan
pula pada siswa sebagai salah satu bagian dari warga Negara dalam menghadapi
tantangan jaman dengan cara MEMETAKAN MASA DEPAN , MENGAJARKAN MASA LALU
Bagus resensinya, mohon izin copy ya bu untuk tugas kuliah saya. Terima kasih.
BalasHapus