Kamis, 09 Mei 2013

RESENSI SAM WINNEBURG


TUGAS INDIVIDU
RESENSI BUKU
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perspektif Sejarah
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Wasino, M.Hum


Disusun Oleh
Sri Lestari ( 0301512006 )


PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
RESENSI BUKU
MEMETAKAN MASA DEPAN, MENGAJARKAN MASA LALU

Judul Buku           :  Berpikir Historis
Judul Asli      : Historical Thinking and other Unnatural Acts Charting the Future of  Teaching  The Past
Penerjemah          : Masri Maris
Penerbit              : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit       : 2006
Tebal Buku         : 381 halaman
Harga Buku        : Rp69.000,00

            Sam Wineburg adalah seorang professor jurusan Pendidikan di Stanford University, ia juga menjadi professor jurusan Studi Kognitif dan professor jurusan Sejarah di University of Washington, Seattle. Bukunya ini mengantarkannya untuk meraih penghargaan dalam The Frederic W. Ness Book Award. Penghargaan ini diberikan pada buku yang memberikan kontribusi terhadap  pemahaman dan peningkatan kualitas pendidikan liberal. Buku ini menambah pengalaman kita dalam rangka berpikir historis. Dengan belajar sejarah kita dapat menempatkan diri kita sebagai salah satu bagian dari kehidupan ini yang penuh tantangan, gejolak, perbedaan yang seharusnya kita sikapi dengan arif dan bijaksana. Juga kita bisa belajar menghargai perbedaan pendapat, perbedaan tafsir dalam sebuah sumber sejarah., bahkan kita pun bisa meragukan atas tulisan sejarah yang sudah ada. Kita bisa menulis ulang sejarah yang obyektif dan bebas prasangka.
Kaitannya dengan sekarang guru harus mampu dalam membantu murid melihat masa lalu yang jauh itu sebagai bagian dari persolan – persoalan penting yang kini terjadi. Dalam melihat masa lalupun seharusnya tidak dengan ukuran pada masa kita sekarang. Buku yang ditulis ini menggunakan pendekatan psikologi untuk mengetahui pandangan siswa mengenai sejarah. Buku ini sebagai penyegar bagi sejarawan atupun pelaku pengajaran sejarah di tiap unit pendidikan, hanya saja sayang sekali contoh – contoh konteks yang ada ataupun peristiwa – peristiwa hanya mengambil contoh dalam benua Amerika, padahal jika membicarakan masalah ras banyak sekali contoh – contoh pada Negara lain. Tapi bagaimanapun sumbangan Sam Wineburg dalam buku ini sangat besar, membuka cakrawala baru tentang perspektif sejarah. Jika dibandingkan dengan karya sejenis seperti buku yang ditulis  S.K Kochhar yang berjudul Teaching of History ada beberapa persamaan pemikiran antara 2 penulis tersebut. Kochhar juga mengganggap bahwa sejarah adalah unsur yang penting dalam ilmu – ilmu sosial. Dalam tulisannya Kochhar mampu membuat sejarawan maupun guru dapat memikul tanggung jawab yang baru denggan penuh percaya diri dan tanggung jawab. Buku Kochhar juga menekankan pentingnya belajar sejarah seperti yang disampaikan Winneburg. Kochhar juga menyampaikan beragam metode yang bisa diajarkan dalam pembelajaran sejarah sehingga pelajaran sejarah benar – benar hidup dan tidak membosankan. Kochhar juga menyampaikan bagaimana sejarah itu ditulis secara obyektif dan ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Bapak sejarah kita Herodotus, yang berusaha mengembalikan sejarah pada fitrahnya. Ia hanya memasukkan dalam bukunya peristiwa – peristiwa yang kejujurannya benar – benar memuaskan hatinya; sungguh menyakitkan ketika ia harus memisahkan kebenaran dari ketidakbenaran. Herodotus mewariskan kepada kita sejarah yang ilmiah, abstrak, fokus pada masalah, dan bersih dari unsur – unsur mitos dan kepentingan pribadi ataupun politik golongan tertentu, hal ini sama apa yang telah menjadi pemikiran Wineburg. Baiklah di bawah ini akan saya  ulas buku Sam Wineburg pada bab I dan bab IV..

BAB I
BERPIKIR SEJARAH DAN PERILAKU TIDAK WAJAR LAINNYA
Pada bab ini Wineburg mengawali pemikirannya dengan mengambil contoh mengenai perdebatan sejarah nasional di Amerika. Sejarawan harus memilih tokoh mana yang harus ditulis  dan mewakili dari sejarah nasional di Amerika, apakah George Washington atau Bart Simpson. Jelas disini kepentingan sudah masuk dalam penulisan sejarah. Mengenai sejarah sosial budaya pun ada perdebatan juga dalam menyusun standar, sebagian ada yang ketakutan laten akan keberagaman Amerika “ tempat muka – muka baru yang berdesak – desakan di atas panggung sejarah yang merusak keserasian dan rasa aman menurut pengertian  versi – versi yang lebih tua tentang masa lalu. Dalam bahasa rumah minum yang cocok untuk melukiskan pertarungan semacam itu, penyusun standar itu adalah penghianat bangsa, sedangkan penentangnya adalah pendukung perbedaan ras. Di sini menunjukkan bahwa Amerika yang multi ras tiap – tiap golongan mulai berebut pengaruh untuk tampil dalam tulisan sejarah. Lalu muncul pemikiran sejarah yang bagaimana yang harus dipelajari, apakah anak – anak sebaiknya belajar patriotisme, kepahlawanan, dan cita – cita negara atau ketidak adilan, kekalahan, hipokrisi pemimpin, dan kelas – kelas dominan. Apakah sejarah hanya merupakan slogan kepentingan saja. Kalau sejarah dianggap humaniora maka mengajarkan kepada kita bahwa kita hendaknya menghindari slogan, menghargai keanekaragaman, dan mencintai nuansa. Sejarah tidak  hanya mengajarkan nama, menceritakan kisah tapi  untuk mencapai tujuannya yang tertinggi yakni memberikan kepada kita “kemampuan mental yang tidak ternilai yang kita namakan penilaian “.
Perdebatan – perdebatan yang ada hanya sebatas apa yang akan diajarkan bukan “ mengapa kita belajar sejarah ?“ Sejarah telah menjadi pusat perhatian tapi akarnya tidak dalam. Pembelajaran sejarah di sekolah menjadi kurang bermakna, apalagi guru – guru banyak yang diajarkan metode – metode pengajaran pada pelajaran ilmu pasti saja, untuk sejarah hanya perdebatan dalam kebijakan nasional tapi di sekolah kedudukannya tidak begitu jelas, mengapa sejarah perlu diajarkan di sekolah. Secara singkat Wineburg berpandangan bahwa sejarah memiliki potensi, yang baru sebagian saja terwujud, untuk menjadikan kita manusia yang berperikemanusiaan, hal yang tidak dapat dilakukan oleh semua mata pelajaran yang lain dalam kurikulum di sekolah. Tiap generasi harus mengajukan pertanyaan mengapa perlu mempelajari masa lalu?, mengingatkan dirinya sendiri, mengapa sejarah dapat mempersatukan kita dan bukan memecah belah kita seperti yang kita saksikan akhir – akhir ini. Wineburg berpendapat untuk mewujudkan sejarah yang dewasa diperlukan mengarungi alam sejarah yang tidak rata, kemampuan menyusuri wilayah bebatuan yang terbentang antara kutub akrab dengan masa lalu dan kutub asing dengan masa lalu. Dengan menambatkan kisah diri kita pada masa depan, masa lalu menjadi sebuah sumber yang bermakna dalam kehidupan kita sehari – hari. Sejarah merupakan alat refleksi diri.
Mampu berpikir sejarah menurut Wineburg mengharuskan kita berpikir dengan cara yang bertentangan dengan cara kita berpikir sehari – hari selama ini, dan inilah salah satu sebab mengapa lebih mudah menghafal tanggal – tanggal dan kejadian – kejadian daripada mengubah struktur dasar cara berpikir kita yang kita gunakan untuk memahami makna masa lalu. Wineburg memberikan beberpa contoh kongrit dalam pembelajaran sejarah yang tidak hanya menghafal tanggal saja tapi lebih pada metakognisi. Salah seorang adalah Derek, ia adalah  murid sejarah yang berumur 17 tahun, ia ternyata memperoleh informasi yang berbeda dari apa yang diketahuinya selama ini. Tafsiran Derek terhadap dokumen yang dibacanya, ia mulai mengalami pertentangan tentang apa yang diketahui terhadap kenyataan yang ada dalam  dokumen tersebut. Di sini dapat kita lihat bahwa tujuan belajar sejarah seharusnya mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk memperkenalkan diri kita kepada penglihatan kita yang kabur sejak kita lahir.
Berpikir sejarah mengharuskan kita mempertemukan dua pandangan yang berbeda, pertama cara berpikir yang kita gunakan selama ini adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan kedua jika kita tidak berusaha menyingkirkan warisan itu mau tidak mau menggunakan “presentism” yang membuat buntu pikiran kita sekarang yang melihat masa lalu dengan kacamata sekarang. Dalam masa setengah abad terakhir ini terjadi perubahan – perubahan besar yang terjadi dalam cara menulis sejarah, catatan sejarah tidaklagi terbatas pada catatan mengenai peristiwa besar di bidang pemerintahan tetapi sekarang juga mencakup kegiatan sehari – hari, seperti melahirkan anak dan kegiatan orang sehari – hari dalam menyambung hidup. Penulisan sejarah yang semacam ini seperti kerja keras, pengorbanan hidup yang dekat dengan kehidupan kita sehari – hari bisa membuat pikiran kita lebih terbuka sekaligus menangkis bahwa sejarah merupakan ilmu daya ingat . Wineburg mulai tertarik bagaimana menulis ulang sejarah, ia juga mengungkap hal – hal yang harus dilakukan sejarawan ketika menulis sejarah antara lain harus berkepala dingin, tidak memihak, ilmiah, obyektif, tapi tidak melibatkan  dan menjadikan dirinya bagian dari kisah yang ditulisnya karena jika hal ini tidak dikendalikan perasaan kita akan menghasilkan kisah yang berbeda  dari kisah yang ingin kita ceritakan. Wineburg mengambil contoh mengenai sosok Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang ke 16. Banyak tafsiran mengenai tokoh ini. Ada yang berpandangan Lincoln tulus dengan segala ucapannya dalam pidato tersebut tapi ada juga yang menafsirkan Lincoln bahwa ia berbicara seperti itu dalam ranah politik agar ia dapat dipilih lagi sebagai presiden nantinya. Di sini kita dituntut untuk tidak tergesa gesa menilai masa lalu. Sejarah dalam kenyataanya  harus dipandang tidak hanya sebagai subyek tetapi  juga sebagai cara berpikir. Hal ini sama dengan apa yang diungkapkan Kocchar dalam bukunya “ Teaching of History “ Kedua penulis ini ternyata banyak memiliki kesamaan pandang dalam melihat sejarah
Mempelajari sejarah sangat penting untuk kita pada zaman sekarang ini ditengah berbagai persoalan keanekaragaman yang mendominasi agenda nasional. Ketidakmampuan kita turut merasakan pengalaman orang lain tidak hanya berlaku dalam kaitan masa lampau  tapi juga berlaku bagi kaitannya dengan masa kini. Diantara berbagai mata pelajaran dalam kurikulum sekuler, sejarahlah yang paling baik mengajarkan budi pekerti bidang yang sebelumnya diperuntukkan bagi teologi semata. Sikap rendah hati di hadapan kemampuan kita yang terbatas untuk mengetahui, dan rasa takjub di hadapan luasnya sejarah manusia.

BAB IV
SEJARAH SEBAGAI INGATAN NASIONAL
            Sam Wineburg berpendapat bahwa budaya popular menyuguhkan kepada kita citra – citra umum yang menumpulkan pikiran kita tentang kelas sejarah. Papan tulis yang penuh dengan coretan – coretan tanpa arti, semua fakta dihafalkan cepat cepat dan kemudian dilupakan cepat – cepat pula. Murid – murid duduk membisu dengan mata berkaca kaca, beberapa mencatat tapi sebagian lagi menguap karena bosan. Winneburg berpendapat bahwa guru harus menarik perhatian siswa dulu. Ia harus membantu para siswa melihat masa lalu yang jauh itu sebagai kulit luar dari persoalan – persoalan penting yang tetap ada hingga kini. Guru harus berani melakukan terobosan, melakukan hal – hal yang luar dari biasanya untuk membangkitkan murid – murid pada kelas sejarah. Wineburg menyampaikan contoh kongrit dalam pembelajaran sejarah dengan  berdiskusi yang dimulai dengan  permainan di luar kelas. Siswa diajak mengaitkan peristiwa masa lalu dengan masa kini melalui permaian yang dilakukan. Sehingga setelah permainan itu usai dan riuh, guru secara perlahan masuk ke dalam alam pikiran siswa, mulai dari mengapa hingga bagaimana. Akhirnya siswa mulai tertarik diawali dengan perdebatan yang hangat, suasana belajar menjadi benar – benar hidup dengan adanya perdebatan itu. Guru mengaitkan hal tersebut dengan materi pelajaran bahwa system hukum di Amerika disusun melalui perdebatan yang panjang dan kompromi seperti yang telah dilakukan anak – anak dalam permainan tadi. Permainan yang dilakukan anak – anak tadi berlangsung riuh bahkan kacau, guru membiarkan saja kejadian alami tersebut terjadi, dan menarik analogi dengan peristiwa Amerika pada masa itu yang sedang mengalami krisis seperti apa yang disebut dengan “ Critical Period” periode yang ditandai dengan keragu - raguan dalam mengambil keputusan, tidak adanya tindakan, dan rasa tidak puas yang semakin besar seperti hal – hal yang baru saja dialami siswa – siswa dalam permainan anak – anak tadi, sehingga anak – anak seperti mengalami peristiwa sendiri dan lebih bermakna. Di sini sejarah memberikan fungsi luhurnya, tidak hanya mengingat tanggal saja tapi makna di balik peristiwa itu yang dapat kita petik dalam kehidupan sehari – hari. Bagi anak – anak pengetahuan sekolah dan pengetahuan dari pengalaman  sehari – hari tidak terpisah satu sama lain. Guru sejarah harus mampu menciptakan suasana tempat pendidikan sebagai suatu proses berdebat, berdiskusi, mengajukan pertanyaan, maka anak – anak ini dapat beranjak dari bermain ke kemampuan mengungkapkan pendapat mereka sendiri. Wineburg juga memberi contoh skenario pembelajaran dengan memanggil pakar ataupun saksi hidup pada saat peristiwa sejarah itu terjadi ke dalam kelas. Sejarah merupakan pengalaman yang memanusiakan yang membuat pemikiran murid lebih bernuansa, sementara mendorong mereka untuk menolak jawaban – jawaban mudah seperti tanggal dan tempat kejadian penting saja, tapi lebih mengapa peristiwa itu terjadi dan apakah kita mampu memetik pelajaran dari peristiwa tersebut. Diskusi dalam kelas seperti itu mau  tidak mau akan menyentuh persoalan – persoalan penilaian, konflik, dan ketegangan yang menjadi cirri masyarakat bebas. Inilah yang dimaksud sekolah bukan tempat berlatih bagi demokrasi tapi tempat demokrasi diperagakan.
            Wineburg mengungkapkan ketika masyarakat terus digoncang oleh berbagai masalah sosial tempat sejarah dalam kurikulum tetap goyah. Sejarah selalu diminta untuk membela diri di tengah – tengah desakan untuk mengajarkan “ pendidikan lingkungan,” “pendidikan jasa “ “ pendidikan perdamaian” dan banyak lagi pesaing – pesaing yang lain. Buku ini sangat penting sekali sebagai referensi bagi guru – guru sejarah maupun ilmu sosial yang lain dan juga para pejabat Negara yang penuh dengan berbagai kepentingan politik, karena dapat memberikan arti yang lebih mendalam mengenai pembelajaran sejarah dan bagaimana cara mengajarkan sejarah dengan  baik sehingga membawa manfaat yang signifikan pula pada siswa sebagai salah satu bagian dari warga Negara dalam menghadapi tantangan jaman dengan cara  MEMETAKAN MASA DEPAN , MENGAJARKAN MASA LALU
             

1 komentar:

  1. Bagus resensinya, mohon izin copy ya bu untuk tugas kuliah saya. Terima kasih.

    BalasHapus