Nama : Sri Lestari
Prodi : Pend IPS
NIM : 0301512006
Mata
Kuliah : Teori dan Prinsip
IPS
Soal
:
Apakah
teori Van Peurson relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia ?
Analisis
jawaban :
C.A van Peursen ( 1976 ) mengatakan
bahwa kebudayaan terdiri dari 3 dimensi yaitu mitis, ontologis, dan fungsional.
a.
Tahap mitis
Dalam cara pandang mitis hubungan
antara manusia dan alam tidak setara. Alam dianggap sedemikian perkasa dan
misterius karena dia memiliki roh para dewa sehingga manusia harus pandai – pandai
berdamai dengan alam agar alam tidak marah atas ulah manusia. Pada dimensi ini
manusia kerap memberikan kurban atau sesaji sebagai bentuk perngormatannya pada
alam.
b.
Tahap ontologis
Dalam tahap ini manusia telah
mengambil jarak terhadap kekuasaan gaib dari alam yang menguasainya. Manusia
berusaha memperoleh pengertian mengenai daya – daya kekuatan yang menggerakkan
alam. Dalam pemikiran ontologis yang dipentingkan adalah hakekat sesuatu apanya
lewat jalan memperoleh pengetahuan dan mengakui apanya.
c.
Tahap fungsionalis
Pada tahap ini manusia sudah jauh
dari alam. Bahkan alama tidak hanya sekedar dijadikan obyek, tetapi telah
menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya nyaman. Tahap ini ditandai dengan revolusi industri di dan manusia
memperlakukan alam dengan mengeksplorasinya secara berlebihan.
Relevansi
teori Van Peursen dengan kondisi masyarakat Indonesia:
Menurut saya teori Peurson ini
sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pada jaman pra sejarah masyarakat Indonesia
belum merupakan subyek ( individu ) yang bulat, tapi dilanda oleh gambaran –
gambaran dan perasaan – perasaan yang ajaib, seolah – olah ia diresapi oleh roh
– roh dan daya – daya dari luar. Ia terpesona oleh dunia ajaib, penuh teka –
teki tentang kesuburan, hidup dan mati. Di Indonesia sebagai contoh adanya
sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat di pantai yang bertujuan agar
penguasa pantai tidak marah dan tidak memberikan bencana pada masyarakat. Sehingga laut dan
penguasanya perlu dipuja dan dipelihara. Di masyarakat pegunungan juga begitu,
masyarakat memberikan sesajen sebagai
tanda terimakasih atas kesuburan yang diberikan dan juga diungkapkan sebagai
perasaan persahabatan dan bujukan agar gunung tidak marah. Contoh lain adalah adanya peristiwa banjir.
Pada tahap mitis masyarakat Indonesia menganggap bahwa banjir terjadi
dikarenakan kemurkaan alam dan kesalahannya lalu diarahkan pada manusia dan
untuk menebus “ dosanya” mereka membuat
sesajen agar tidak murka lagi alam. Hal inilah yang disebut sebagai tahap
berpikir mistis masyarakat Indonesia. Kepercayaan animisme dan dinamisme
juga salah satu contoh bahwa masyarakat
Indonesia berada pada tahapan berpikir mistis. Mereka menyembah batu , pohon
besar yang dianggap mempunyai roh dan harus bersahabat sehingga batu dan pohon
tersebut tidak marah dan membawa bencana.
Masyarakat Indonesia juga mengalami
tahapan perkembangan kebudayaan ontologis. Masyarakat Indonesia mulai mengambil
jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya agar dengan demikian lewat
pengertian dapat dibuktikan adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi. Di sini
masyarakat mulai mengendalikan
alam. Sebagai contoh dulu orang
menganggap banjir karena alam murka , maka pada tahap ontologis ini masyarakat
mulai berpikir bahwa banjir itu adalah
akibat hujan lebat yang tumpahan airnya tidak tertampung dan tidak tersalurkan
oleh sungai – sungai yang ada. Maka
manusia tidak lagi membuat sesajen untuk mengatasi tapi mulai berpikir secara
nalar untuk membuat dan memperbanyak waduk dan tempat untuk penampungan dan resapan air.
Begitupun dengan gunung, ketika terjadi letusan gunung manusia tidak lagi
menganggap penunggu gunung sedang murka, tapi mulai menyelidiki dengan
pengetahuan yang ada, adanya tekanan dari perut bumi menyebabkan gunung
meletus. Akhirnya masyarakat Indonesia mulai mengenal alat untuk mengenali
tanda – tanda gunung meletus agar korban tak
banyak berjatuhan sehingga tak hanya memberikan sesaji saja.
Pada tahap fungsionalisme manusia mulai mendayagunakan alam . Namun
masyarakat Indonesia sering menyalahgunakan otoritas ini sehingga aksiologisnya
menjadi negatif dari epistemologinya yang telah ditempuh. Seharusnya melalui epistemologi yang
benar masyarakat Indonesia memiliki kemampuan mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya yang manzalimi
hukum alam sehingga aksiologisnya menjadi positif pula. Bila hutan dijarah secara membabi buta atau resapan air di rampas oleh tumbuhnya
hutan beton alam akan bereaksi dalam bentuk longsor, banjir. Masyarakat
Indonesia saat ini cenderung mengeksplorasi alam secara besar - besaran, mereka seakan lupa bahwa hidup harus
selaras dengan alam. Seakan pula ada hal
yang hilang di sini, yaitu kesadaran manusia untuk belajar dari alam dan
memperlakukannya dengan baik. Sehingga aksiologisnya nanti kebudayaan
masyarakat tidak mengarah pada kehancuran manusia itu sendiri.
Namun pada masyarakat Indonesia
sendiri pada jaman modern ini tahapan mitis masih nampak di beberapa daerah.
Karena memang menurut Van Peursen bahwa tiga tahapan tadi bukan merupakan suatu
tingkatan. Di Indonesia masih banyak dijumpai upacara sedekah laut, sedekah
bumi, ruwatan, nyadran dimana pada ritual tersebut banyak mengandung simbol –
simbol tertentu dan mengandung unsur mistis. Mereka melakukan itu sebagai tolak
bala agar mereka terhindar dari
malapetaka. Mereka masih percaya bahwa
gunung, laut, sungai punya penunggu sendiri meskipun dalam ritualnya sudah
berkolaborasi dengan unsur – unsur dari agama tertentu. Menurut saya meski jika
dipandang dari segi epistemologinya keliru dari segi agama yg mereka anut, ritual sedekah laut, sedekah bumi , maupun
sedekah gunung tetap dilakukan masyarakat
karena menurut mereka membawa aksiologis yang positif dalam hidupnya.
Hal inipun semakin menjadikan ritual yang kental unsur mistis tersebut sulit ditinggalkan pada jaman modern
seperti sekarang ini karena mereka takut akan membawa dampak
aksiologis yang negatif dalam kehidupan mereka. Secara ontologis masyarakat
yang masih beraliran mistis maupun modern sama yaitu mengandung nilai
kesalarasan dengan alam, kemanusiaan. Tapi secara epistemologisnya tidak harus
sama. Hal ini terkait dengan pemahaman seseorang ataupun kelompok masyarakat
tertentu terhadap makna kebenaran / kebaikan. Bisa terjadi bahwa yang benar
belum tentu baik tapi yang tidak benar bisa menjadi baik. Hal ini karena
menggunakan tolak ukur budaya. Jadi yang terpenting ontolgisnya sama meskipun
epistemologisnya berbeda. Bagi mereka khususnya masyarakat Jawa menjaga
keselarasan dan mempertahankan
keseimbangan dengan alam itu penting.
Meskipun ajaran - ajaran Jawa yang diketengahkan bersifat lokal namun
demikian tidak menutup kemungkinan nilai – nilai tersebut berlaku universal, lokalitas yang menembus
batas – batas sempit menuju universalitas. Seperti nilai – nilai budaya jawa
sabar, nrima, rila, lan temen. Nilai lokal tapi mengandung nilai yg universal, mendapatkan
kebenaran substansial yang sifatnya abstrak, umum, dan universal.
Moral
merupakan objek yang dikaji/disoroti , artinya pola kebiasaan (adat-istiadat) yang
terkait dengan perilaku baik dan benar. Sikap dan perilaku baik benar ini,
harus substansial. Berlaku untuk semua manusia. Tanpa melihat perbedaannya. Begitupun yang dilakukan masyarakat Jawa yg ingin berperilaku baik dgn alam, tidak
merusak alam, menjaga keseimbangan dengan alam itu merupakan sikap dan perilaku
yang baik berupa nilai universal dan norma universal.
Meskipun
manusia dikenai unsur budaya tertentu, maka di dalam mengaktualisasi nilai
moral dan norma moral itu, disesuaikan dengan budayanya sendiri hal ini berarti
budaya setempat seperti masyarakat Jawa
yangg hingga kini tetap melakukan sesaji untuk laut maupun gunung yg
dimaksudkan untuk menjaga keselarasan dengan alam. Sesaji di sini merupakan
adat lokal. Meskipun hanya dilakukan oleh sedikit masyarakat secara kuantitas
tapi tidak mengurangi makna secara kualitas dalam menjalankan nilai – nilai
maupun moral yang universal tersebut di tingkat lokal. Demikian analisis yang
bisa saya sampaikan mengenai tahapan kebudayaan yang disampaikan oleh Van
Peursen dan relevansinya dengan masyarakat Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Daeng,
Hans. 2000. Manusia, kebudayaan dan.
Tinjauan antropologis. Jogyakarta :
Pustaka Pelajar IKAPI
Dyson.
1999. Ilmu budaya dasar. Surabaya : CV Mitra Media Karya Anak Bangsa
Jatman,
Darmanto. 2000. Psikologi jawa.
Jogyakarta : Bentang
Herusatoto,
Budiono. 1984. Simbolisme dalam budaya
jawa. Jogyakarta : Hanindita
Peursen,
c.a.van. 1974. Strategi kebudayaan.
Jogyakarta : yayasan Kanisius
Purwadi
dan Dwiyanto Joko. 2009. Filsafat jawa,
ajaran hidup yang berdasarkan nilai kebijakan
Tradisional. Jogyakarta : Panji
Pustaka
Rachmatullah
Asep. 2011. Filsafat hidup orang jawa. Jogyakarta : Siasat Pustaka
Nama : Sri Lestari
Prodi : Pend IPS
NIM : 0301512006
Mata
Kuliah : Teori dan Prinsip
IPS
Soal :
IPS dalam konteks
sejarah di satu sisi sejarah sebagai ilmu dituntut untuk menjelaskan kejadian
peristiwa masa lalu dengan seobyektif mungkin, tapi di sisi lain jika hal itu
dijelaskan secara obyektif, rasional , empirik terkadang tidak mendapatkan
tanggapan yang positif dari pihak tertentu. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Ilustrasi tulisan
sejarah tentang kontroversi ajaran dan kematian Syekh Siti Jenar
Kontroversi
yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar dan
ajarannya yang dianggap sesat. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah
membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan
Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu
murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan
elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak
khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di
kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi
Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak tapi tidak
ditanggapi oleh Syekh Siti Jenar. Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk
menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang
kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana
Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
ANALISIS
Penulisan sejarah tentang ajaran Syekh
Siti Jenar selama ini banyak mengandung
subyektifitas. Syekh Siti Jenar digambarkan oleh beberapa sejarawan sebagai
tokoh penyebar aliran sesat. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
1.
Analisa
peristiwa sejarah tersebut
Dari peristiwa
tersebut tampak adanya konflik antara kelompok walisongo dan kelompok Syek Siti
Jenar. Padahal sebenarnya ada kesamaan nilai yng sama pada tataran ontologisnya
yaitu nilai kebenaran, kemanusiaan, keharmonisan. Tidak terdapat toleransi oleh
Walisongo terhadap ajaran Syekh Siti Jenar. Wali songo mencoba mencari pengaruh
dan menundukkan kelompok Syekh Siti Jenar. Di sini tidak ada dialog yang
terjadi adu otot, wali songo menganggap ajaran Jenar sesat maka harus dihukum
mati. Hal ini ada dominasi di mana siapa yang kuat maka akan menjadi yang
benar, di sini dominasi ini ada di pihak Walisongo sehingga walisongo menjadi
pihak yang benar. Pengikut Walisongo secara kuantitas lebih besar, sehingga
kebenaran di sini adalah kebenaran menurut mayoritas. Padahal kebenaran
mayoritas belum tentu baik. . Ada dua subyek di sini. Walisongo sebagai subyek
A menjadi subyek yang subyektif karena menganggap ajaran yang lain sesat.
Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai subyek B mencoba menjadi subyek yang
obyektif tak mempermasalahkan ajaran walisongo. Meskipun demikian tetap ada
pertentangan antara kedua subyek tersebut dan muncul ketidakharmonisan, jalan
parahnya di sini lewat pembunuhan yang akan dilakukan pihak kesultanan Demak
yang didukung oleh Walisongo. Hal ini menunjukkan tindakan yang tidak sejalan
dengan moral. Logikanya jika ada ajaran/ aliran / agama yang lain ataupun baru
ada 3 kemungkinan yaitu pertama melebur / kompromi, kedua menerima, dan ketiga
menolak. Di sini yang terjadi pada subyek A adalah yang ketiga yaitu menolak.
Di sini terlihat epistemologis yang berbeda antara ke dua subyek tersebut.
Padahal sebenarnya pada tataran ontologis yang mereka perjuangkan sama yaitu
nilai kemanusiaan . Seharusnya nilai kemanusiaan ini diterjemahkan secara
obyektif oleh ke dua subyek tadi sehingga menjadi kebaikan untuk semua manusia,
jangan diklaim secara subyektif. Jadi kedua subyek tadi seharusnya boleh
berbeda dalam tataran epistemologisnya tapi nilai – nilai dalam tataran
ontologis jangan ditinggalkan, agar membawa aksiologis yang positif pula.
2.
Subyektifitas
Ilmuwan Sejarah
Dalam beberapa
tulisan sejarah, banyak sejarawan yang juga menulis bahwa ajaran Syekh Siti
Jenar merupakan ajaran yang sesat dalam tulisannya. Penulis sejarahpun telah
menjadi subyek yang subyektif. Padahal sejarah sebagai ilmu dituntut mempunyai
kadar ilmiah, maka ilmu sejarahpun juga harus melalui prosedur metodologi yang
ilmiah pula. Yaitu melalui proses induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi.
Sebagai ilmu maka filsafat menjiwai filsafat sejarah. Dimana apa yang benar dan
baik menurut filsafat maka baik dan benar menurut ilmu sejarah. Nilai ontologis
yang ingin dicapai oleh sejarawan adalah nilai kebenaran atas apa yang menjadi
fakta sejarah, nilai kebenaran itu harus diaktualisasikan oleh sejarawan dalam
menulis cerita sejarah. Sehingga diharapkan sejarawan tidak berperilaku
menyimpang dari kebenaran dalam menulis sejarah tentang Syekh Siti Jenar dalam
contoh tersebut. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
a.
Pada
tataran ontologis
X 1 = X 2
|
X3
|
Keterangan : X 1 = kebenaran
X 2 = kebaikan
X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Pada tataran ontologis ini bahwa
penulisan sejarah harusnya benar ya benar, baik ya baik. Sehingga dalam tatanan
ini bersifat non emosional, netral, bebas nilai. Sejarawan ingin mencapai nilai
kebenaran dalam tulisannya. Ajaran Syekh Siti Jenar harus ditulis dengan benar
tanpa prasangka. Ajaran yang diajarkan Siti Jenar adalah budi pekerti luhur
sehingga sangat mengandung nilai kemanusiaan. Maka hal ini secara ontologis
benar dan baik .
b.
Pada
tataran epistemologis
Pada tataran ini bisa
terjadi dua hal sebagai berikut :
1.
Keterangan : X 1 =
kebenaran
X 2 = kebaikan
X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Bisa dijelaskan
bahwa X 1 masih sama dengan X 2. Artinya apa yang benar ya benar dan apa yang
baik ya baik. Dalam tataran
epistemologis masih tetap sama yaitu bahwa sejarawan untuk mencapai kebenaran
ajaran Syekh Siti Jenar ditulis apa adanya , seobyektif mungkin tanpa
membelokkan kebenaran ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Sehingga
bahwa ajaran budi pekerti yang disampaikan Siti Jenar tetap menjadi benar dan
baik dalam tulisannya tanpa direduksi sedikitpun. Tanpa ada kepentingan yang
bermain di dalamnya
2.
Keterangan
: X 1 = kebenaran
X 2 = kebaikan
X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Dari
gambar di atas bisa dijelaskan bahwa X1 ≠ X2.
Di sini penulisan sejarah oleh sejarawan bisa benar tapi tidak baik,
atau sebaliknya baik tapi tidak benar. Untuk contoh peristiwa tersebut
sejarawan dalam tataran epistemologisnya telah menjadi subyek yang subyektif
yang bisa membelokkan kebenaran. Menulis bahwa ajaran Siti Jenar sesat. Hal ini terkait dengan pemahaman para
sejarawan terhadap makna kebenaran ataupun kebaikan. Juga dikarenakan ada faktor kepentingan / aksiden yang bisa membelokkan kebenaran sebagai
contoh adanya relasi, status sejarawan sendiri sebagai umat Islam , faktor
mayoritas / kuantitas, sehingga faktor – faktor kepentingan inilah yang telah
mereduksi kebenaran. Faktor kepentingan dari sejarawan telah membiaskan
kebenaran yang substansial. Sejarawan barangkali telah terbelenggu nilai –
nilai praksis yang bisa mereduksi kebenaran.
c. Pada
tataran aksiologis
Pada tataran ini
nilai guna ilmu sejarah itu menjadi berarti. Terkadang
epistemologi yang negatif bisa
menghsilkan aksiologis yang positif maupun negatif. Mengingat filsafat
merumuskan kebenaran didasarkan pada hasil perenungan mendalam manusia secara
logis maka kebenaranya bersifat utopia (idealitas), sehingga belum tentu dapat
di temui dalam kehidupan nyata .Agar dapat di ketahui sejauh manakah realita itu mendekatkan
realitas. Maka upaya penerapan idealitas harus selalu mempertimbangkan realita
yang ada. Kita harus mengetahui kebaikan-kebaikan dan juga kelemahan-kelemahan
dari realita yang sedang kita hadapi. Lalu kita merumuskan langkah-langkah yang
di perlukan bagi upaya perbaikan tersebut dengan mengingat pada sumber daya
yang di miliki dan tantangan-tantangan yang di hadapi. Tantangan-tantangan itu
harus di perhitungkan secara masak-masak agar usaha menegakkan kebenaran itu
tidak menimbulkan gejolak yang tidak terkendali dengan dampak pecahnya
kekerasan yang bertolak belakang dengan misi kebenaran: damai, sejahtera, adil,
dan bebas. Pada kasus ini sejarawan tidak bersikap obyektif, rasional, dan
empirik dalam menulis tentang Siti Jenar dan ajarannya. Jika ajaran Siti Jenar
ditulis seobyektif mungkin sejarawan khawatir maka kemurniaan Islam akan porak
poranda. Dan lagi sejarawan tak mampu melawan penguasa yang mayoritas beragama
muslim. Penguasa baik di tingkat mikro maupun makro mempunyai peranan yang vital
dalam kerangka penulisan sejarah di Indonesia. Maka penguasapun telah pula
menjadi subyek yang subyektif pula dalam memandang tulisan sejarah. Kultur
Indonesia yang mayoritas Islam tidak akan pernah suka dengan berbagai aliran
yang dianggap menyimpang sedikitpun. Mengingat salah satu fungsi sejarah adalah
edukatif, bisa jadi sejarah yang obyektif dianggap tidak mendidik kerohaniaan
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Kalau tolak ukurnya budaya dan
agama sebagai salah satu wujud budaya maka bisa terjadi bahwa yang benar belum
tentu baik.
Memang sebagai
ilmu sejarah harus melalui prosedur ilmiah yang dimulai dari proses induksi,
deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Proses induksi dalam metode penelitian
sejarah dimulai dengan mengumpulkan berbagai fakta dan sumber sejarah.
Sejarawan harus mengumpulkan bukti – bukti sejarah maupun sumber sejarah yang
ada di lapangan. Kemudian masuk dalam tahapan deduksi. Dari sumber – sumber
sejarah yang pasif tersebut harus ditafsirkan oleh sejarawan sehingga menghasilkan
fakta sejarah. Penafsiran ini bisa didasarkan pada teori – teori yang telah ada
sebelumnya. Sehingga nantinya bisa
dihasilkan sebuah hipotesis atas apa yang akan menjadi intepretasi sejarawan
dalam tulisan sejarahnya nanti. Kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi
yaitu analisis model dan pembuktian untuk mencari kebenaran sejarah. Fakta –
fakta yang telah diperoleh tadi dihubung
- hubungkan melalui penafsiran sejarawan kemudian disentesakan baru
ditulis dalam bentuk narasi. Yang terjadi pada contoh di atas memang sejarawan
telah melalui proses induksi dengan baik, tapi hanya sebatas mengumpulkan
sumber – sumber. Tapi dalam ilmu sejarah sumber – sumber yang pasif tersebut
harus diintepretasi oleh sejarawan. Di sinilah sejarah mulai menjadi kurang
ilmiah, karena dalam proses penafsiran sumber sejarah subyektifitas sejarawan
bermain di dalamnya sesuai dengan kepentingannya. Pada tahap ini seorang
sejarawan seringkali melakukan kesalahan. Kepentingan sejarawanan pada kasus
ini memang ingin membuat aliran agamanya yang paling benar . Juga ketakutan
akan pengaruh aliran lain yang bisa merebut pengaruh dari para anggota
kelompoknya sendiri. Ketakutan jika kelompoknya beralih aliran jika mengetahui
ajaran siti jenar yang sebenarnya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan Sumber
– sumber sejarah yang diperoleh sejarawan dalam hal ini seperti serat, pupuh,
tulisan peninggalan ajaran Siti Jenar telah diintepretasikan lain dan subyektif
menurut sejarawan tersebut demi sebuah kepentingan tertentu sehingga tulisan
sejarah yang dihasilkan menjadi tidak ilmiah.
DAFTAR
PUSTAKA
Adib, Muhammad. 2010. Filsafat ilmu. Jogyakarta : Pustaka
Pelajar
Budi, Iman. 2010. Nasihat hidup orang jawa. Jogyakarta :
Diva Press
Kencana, Inu. 2010. Pengantar filsafat. Bandung : PT Refika
Aditama
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan sejarah. Jogyakarta : Tiara
Wacana
Munir, Abdul. 2003. Syekh Siti Jenar: Membuka pintu makrifat.
Jogyakarta : Kreasi Wacana
Tebba, Sudirman. 2003. Syaikh Siti Jenar : Surga dan neraka
terletak pada diri manusia.
Bandung
: Pustaka Hidayah
TUGAS INDIVIDU
Untuk Memenuhi Mata Kuliah Perspektif Geografi
Oleh :
Nama :
Sri Lestari
NIM :
0301512006
PROGRAM
PASCA SARJANA
PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
Prodi : Pend IPS
Mata
Kuliah : Teori dan
Prinsip IPS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar