Kamis, 09 Mei 2013

relevansi teori van peurson dengan budaya indonesia


Nama                           : Sri Lestari
Prodi                           : Pend IPS
NIM                            : 0301512006
Mata Kuliah                : Teori dan Prinsip IPS
Soal :
Apakah teori Van Peurson relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia ?
Analisis jawaban :
            C.A van Peursen ( 1976 ) mengatakan bahwa kebudayaan terdiri dari 3 dimensi yaitu mitis, ontologis, dan fungsional.
a. Tahap mitis
            Dalam cara pandang mitis hubungan antara manusia dan alam tidak setara. Alam dianggap sedemikian perkasa dan misterius karena dia memiliki roh para dewa sehingga manusia harus pandai – pandai berdamai dengan alam agar alam tidak marah atas ulah manusia. Pada dimensi ini manusia kerap memberikan kurban atau sesaji sebagai bentuk perngormatannya pada alam.
b. Tahap ontologis
            Dalam tahap ini manusia telah mengambil jarak terhadap kekuasaan gaib dari alam yang menguasainya. Manusia berusaha memperoleh pengertian mengenai daya – daya kekuatan yang menggerakkan alam. Dalam pemikiran ontologis yang dipentingkan adalah hakekat sesuatu apanya lewat jalan memperoleh pengetahuan dan mengakui apanya.
c. Tahap fungsionalis
            Pada tahap ini manusia sudah jauh dari alam. Bahkan alama tidak hanya sekedar dijadikan obyek, tetapi telah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya  nyaman. Tahap ini  ditandai dengan revolusi industri di dan manusia memperlakukan alam dengan mengeksplorasinya secara berlebihan.
Relevansi teori Van Peursen dengan kondisi masyarakat Indonesia:
            Menurut saya teori Peurson ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.  Pada jaman pra sejarah masyarakat Indonesia belum merupakan subyek ( individu ) yang bulat, tapi dilanda oleh gambaran – gambaran dan perasaan – perasaan yang ajaib, seolah – olah ia diresapi oleh roh – roh dan daya – daya dari luar. Ia terpesona oleh dunia ajaib, penuh teka – teki tentang kesuburan, hidup dan mati. Di Indonesia sebagai contoh adanya sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat di pantai yang bertujuan agar penguasa pantai tidak marah dan tidak memberikan bencana  pada masyarakat. Sehingga laut dan penguasanya perlu dipuja dan dipelihara. Di masyarakat pegunungan juga begitu, masyarakat memberikan sesajen  sebagai tanda terimakasih atas kesuburan yang diberikan dan juga diungkapkan sebagai perasaan persahabatan dan bujukan agar gunung tidak marah.  Contoh lain adalah adanya peristiwa banjir. Pada tahap mitis masyarakat Indonesia menganggap bahwa banjir terjadi dikarenakan kemurkaan alam dan kesalahannya lalu diarahkan pada manusia dan untuk menebus “ dosanya”  mereka membuat sesajen agar tidak murka lagi alam. Hal inilah yang disebut sebagai tahap berpikir mistis masyarakat Indonesia. Kepercayaan animisme dan dinamisme juga  salah satu contoh bahwa masyarakat Indonesia berada pada tahapan berpikir mistis. Mereka menyembah batu , pohon besar yang dianggap mempunyai roh dan harus bersahabat sehingga batu dan pohon tersebut tidak marah dan membawa bencana.
            Masyarakat Indonesia juga mengalami tahapan perkembangan kebudayaan ontologis. Masyarakat Indonesia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya agar dengan demikian lewat pengertian dapat dibuktikan adanya sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi. Di sini masyarakat  mulai mengendalikan alam.  Sebagai contoh dulu orang menganggap banjir karena alam murka , maka pada tahap ontologis ini masyarakat mulai berpikir bahwa banjir itu  adalah akibat hujan lebat yang tumpahan airnya tidak tertampung dan tidak tersalurkan oleh sungai – sungai yang ada.  Maka manusia tidak lagi membuat sesajen untuk mengatasi tapi mulai berpikir secara nalar untuk membuat dan memperbanyak waduk  dan tempat untuk penampungan dan resapan air. Begitupun dengan gunung, ketika terjadi letusan gunung manusia tidak lagi menganggap penunggu gunung sedang murka, tapi mulai menyelidiki dengan pengetahuan yang ada, adanya tekanan dari perut bumi menyebabkan gunung meletus. Akhirnya masyarakat Indonesia mulai mengenal alat untuk mengenali tanda – tanda gunung meletus agar korban tak  banyak berjatuhan sehingga tak hanya memberikan sesaji saja.
            Pada tahap fungsionalisme  manusia mulai mendayagunakan alam . Namun masyarakat Indonesia sering menyalahgunakan otoritas ini sehingga aksiologisnya menjadi negatif dari epistemologinya yang telah ditempuh.  Seharusnya melalui epistemologi yang benar  masyarakat Indonesia memiliki  kemampuan mengantisipasi  konsekuensi dari tindakannya yang manzalimi hukum alam sehingga aksiologisnya menjadi positif pula.  Bila hutan dijarah secara membabi buta  atau resapan air di rampas oleh tumbuhnya hutan beton alam akan bereaksi dalam bentuk longsor, banjir. Masyarakat Indonesia saat ini cenderung mengeksplorasi alam secara besar -  besaran, mereka seakan lupa bahwa hidup harus selaras dengan alam. Seakan pula  ada hal yang hilang di sini, yaitu kesadaran manusia untuk belajar dari alam dan memperlakukannya dengan baik. Sehingga aksiologisnya nanti kebudayaan masyarakat tidak mengarah pada kehancuran manusia itu sendiri.
            Namun pada masyarakat Indonesia sendiri pada jaman modern ini tahapan mitis masih nampak di beberapa daerah. Karena memang menurut Van Peursen bahwa tiga tahapan tadi bukan merupakan suatu tingkatan. Di Indonesia masih banyak dijumpai upacara sedekah laut, sedekah bumi, ruwatan, nyadran dimana pada ritual tersebut banyak mengandung simbol – simbol tertentu dan mengandung unsur mistis. Mereka melakukan itu sebagai tolak bala  agar mereka terhindar dari malapetaka. Mereka masih  percaya bahwa gunung, laut, sungai punya penunggu sendiri meskipun dalam ritualnya sudah berkolaborasi dengan unsur – unsur dari agama tertentu. Menurut saya meski jika dipandang dari segi epistemologinya keliru  dari segi agama yg mereka anut,  ritual sedekah laut, sedekah bumi , maupun sedekah gunung tetap dilakukan masyarakat  karena menurut mereka membawa aksiologis yang positif dalam hidupnya. Hal inipun semakin menjadikan ritual yang kental unsur mistis  tersebut sulit ditinggalkan pada jaman modern seperti  sekarang ini  karena mereka takut akan membawa dampak aksiologis yang negatif dalam kehidupan mereka. Secara ontologis masyarakat yang masih beraliran mistis maupun modern sama yaitu mengandung nilai kesalarasan dengan alam, kemanusiaan. Tapi secara epistemologisnya tidak harus sama. Hal ini terkait dengan pemahaman seseorang ataupun kelompok masyarakat tertentu terhadap makna kebenaran / kebaikan. Bisa terjadi bahwa yang benar belum tentu baik tapi yang tidak benar bisa menjadi baik. Hal ini karena menggunakan tolak ukur budaya. Jadi yang terpenting ontolgisnya sama meskipun epistemologisnya berbeda. Bagi mereka khususnya masyarakat Jawa menjaga keselarasan  dan mempertahankan keseimbangan dengan alam itu penting.  Meskipun ajaran  - ajaran Jawa  yang diketengahkan bersifat lokal namun demikian tidak menutup kemungkinan nilai – nilai tersebut  berlaku universal, lokalitas yang menembus batas – batas sempit menuju universalitas. Seperti nilai – nilai budaya jawa sabar, nrima, rila, lan temen. Nilai lokal tapi mengandung nilai yg universal, mendapatkan kebenaran  substansial  yang sifatnya abstrak, umum, dan universal.
Moral merupakan objek yang dikaji/disoroti ,  artinya pola kebiasaan (adat-istiadat) yang terkait dengan perilaku baik dan benar. Sikap dan perilaku baik benar ini, harus substansial. Berlaku untuk semua manusia. Tanpa melihat perbedaannya.  Begitupun yang dilakukan masyarakat Jawa  yg ingin berperilaku baik dgn alam, tidak merusak alam, menjaga keseimbangan dengan alam itu merupakan sikap dan perilaku yang baik berupa nilai universal dan norma universal.
Meskipun manusia dikenai unsur budaya tertentu, maka di dalam mengaktualisasi nilai moral dan norma moral itu, disesuaikan dengan budayanya sendiri hal ini berarti budaya setempat seperti  masyarakat Jawa yangg hingga kini tetap melakukan sesaji untuk laut maupun gunung yg dimaksudkan untuk menjaga keselarasan dengan alam. Sesaji di sini merupakan adat lokal. Meskipun hanya dilakukan oleh sedikit masyarakat secara kuantitas tapi tidak mengurangi makna secara kualitas dalam menjalankan nilai – nilai maupun moral yang universal tersebut di tingkat lokal. Demikian analisis yang bisa saya sampaikan mengenai tahapan kebudayaan yang disampaikan oleh Van Peursen dan relevansinya dengan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Daeng, Hans. 2000. Manusia, kebudayaan dan. Tinjauan antropologis. Jogyakarta :
            Pustaka Pelajar IKAPI
Dyson. 1999. Ilmu budaya dasar.  Surabaya : CV Mitra Media Karya Anak Bangsa
Jatman, Darmanto. 2000. Psikologi jawa. Jogyakarta :  Bentang
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam budaya jawa.  Jogyakarta : Hanindita
Peursen, c.a.van. 1974. Strategi kebudayaan. Jogyakarta : yayasan Kanisius
Purwadi dan Dwiyanto Joko. 2009. Filsafat jawa, ajaran hidup yang berdasarkan nilai kebijakan
            Tradisional. Jogyakarta : Panji Pustaka
Rachmatullah Asep. 2011. Filsafat hidup orang jawa.  Jogyakarta : Siasat Pustaka
Nama                           : Sri Lestari
Prodi                           : Pend IPS
NIM                            : 0301512006
Mata Kuliah                : Teori dan Prinsip IPS
Soal :
IPS dalam konteks sejarah di satu sisi sejarah sebagai ilmu dituntut untuk menjelaskan kejadian peristiwa masa lalu dengan seobyektif mungkin, tapi di sisi lain jika hal itu dijelaskan secara obyektif, rasional , empirik terkadang tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari pihak tertentu. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Ilustrasi tulisan sejarah tentang kontroversi ajaran dan kematian Syekh Siti Jenar
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar dan ajarannya yang dianggap sesat. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya. Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak tapi tidak ditanggapi oleh Syekh Siti Jenar. Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
ANALISIS
          Penulisan sejarah tentang ajaran Syekh Siti Jenar  selama ini banyak mengandung subyektifitas. Syekh Siti Jenar digambarkan oleh beberapa sejarawan sebagai tokoh penyebar aliran sesat. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
1.        Analisa peristiwa sejarah tersebut
Dari peristiwa tersebut tampak adanya konflik antara kelompok walisongo dan kelompok Syek Siti Jenar. Padahal sebenarnya ada kesamaan nilai yng sama pada tataran ontologisnya yaitu nilai kebenaran, kemanusiaan, keharmonisan. Tidak terdapat toleransi oleh Walisongo terhadap ajaran Syekh Siti Jenar. Wali songo mencoba mencari pengaruh dan menundukkan kelompok Syekh Siti Jenar. Di sini tidak ada dialog yang terjadi adu otot, wali songo menganggap ajaran Jenar sesat maka harus dihukum mati. Hal ini ada dominasi di mana siapa yang kuat maka akan menjadi yang benar, di sini dominasi ini ada di pihak Walisongo sehingga walisongo menjadi pihak yang benar. Pengikut Walisongo secara kuantitas lebih besar, sehingga kebenaran di sini adalah kebenaran menurut mayoritas. Padahal kebenaran mayoritas belum tentu baik. . Ada dua subyek di sini. Walisongo sebagai subyek A menjadi subyek yang subyektif karena menganggap ajaran yang lain sesat. Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai subyek B mencoba menjadi subyek yang obyektif tak mempermasalahkan ajaran walisongo. Meskipun demikian tetap ada pertentangan antara kedua subyek tersebut dan muncul ketidakharmonisan, jalan parahnya di sini lewat pembunuhan yang akan dilakukan pihak kesultanan Demak yang didukung oleh Walisongo. Hal ini menunjukkan tindakan yang tidak sejalan dengan moral. Logikanya jika ada ajaran/ aliran / agama yang lain ataupun baru ada 3 kemungkinan yaitu pertama melebur / kompromi, kedua menerima, dan ketiga menolak. Di sini yang terjadi pada subyek A adalah yang ketiga yaitu menolak. Di sini terlihat epistemologis yang berbeda antara ke dua subyek tersebut. Padahal sebenarnya pada tataran ontologis yang mereka perjuangkan sama yaitu nilai kemanusiaan . Seharusnya nilai kemanusiaan ini diterjemahkan secara obyektif oleh ke dua subyek tadi sehingga menjadi kebaikan untuk semua manusia, jangan diklaim secara subyektif. Jadi kedua subyek tadi seharusnya boleh berbeda dalam tataran epistemologisnya tapi nilai – nilai dalam tataran ontologis jangan ditinggalkan, agar membawa aksiologis yang positif pula.
2.        Subyektifitas Ilmuwan Sejarah
Dalam beberapa tulisan sejarah, banyak sejarawan yang juga menulis bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran yang sesat dalam tulisannya. Penulis sejarahpun telah menjadi subyek yang subyektif. Padahal sejarah sebagai ilmu dituntut mempunyai kadar ilmiah, maka ilmu sejarahpun juga harus melalui prosedur metodologi yang ilmiah pula. Yaitu melalui proses induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Sebagai ilmu maka filsafat menjiwai filsafat sejarah. Dimana apa yang benar dan baik menurut filsafat maka baik dan benar menurut ilmu sejarah. Nilai ontologis yang ingin dicapai oleh sejarawan adalah nilai kebenaran atas apa yang menjadi fakta sejarah, nilai kebenaran itu harus diaktualisasikan oleh sejarawan dalam menulis cerita sejarah. Sehingga diharapkan sejarawan tidak berperilaku menyimpang dari kebenaran dalam menulis sejarah tentang Syekh Siti Jenar dalam contoh tersebut. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
a.        Pada tataran ontologis
X 1  =  X 2

 

X3 3

                                          
Keterangan : X 1 = kebenaran
                     X 2 = kebaikan
                     X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
            Pada tataran ontologis ini bahwa penulisan sejarah harusnya benar ya benar, baik ya baik. Sehingga dalam tatanan ini bersifat non emosional, netral, bebas nilai. Sejarawan ingin mencapai nilai kebenaran dalam tulisannya. Ajaran Syekh Siti Jenar harus ditulis dengan benar tanpa prasangka. Ajaran yang diajarkan Siti Jenar adalah budi pekerti luhur sehingga sangat mengandung nilai kemanusiaan. Maka hal ini secara ontologis benar dan baik .
b.        Pada tataran epistemologis
Pada tataran ini bisa terjadi dua hal sebagai berikut :
1.
Keterangan : X 1 = kebenaran
                     X 2 = kebaikan
                     X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Bisa dijelaskan bahwa X 1 masih sama dengan X 2. Artinya apa yang benar ya benar dan apa yang baik ya baik.  Dalam tataran epistemologis masih tetap sama yaitu bahwa sejarawan untuk mencapai kebenaran ajaran Syekh Siti Jenar ditulis apa adanya , seobyektif mungkin tanpa membelokkan kebenaran ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Sehingga bahwa ajaran budi pekerti yang disampaikan Siti Jenar tetap menjadi benar dan baik dalam tulisannya tanpa direduksi sedikitpun. Tanpa ada kepentingan yang bermain di dalamnya
2.
.
Keterangan : X 1 = kebenaran
                      X 2 = kebaikan
                      X 3 = wilayah yang dicakup ( ilmu sejarah )
Dari gambar di atas bisa dijelaskan bahwa X1 ≠ X2.  Di sini penulisan sejarah oleh sejarawan bisa benar tapi tidak baik, atau sebaliknya baik tapi tidak benar. Untuk contoh peristiwa tersebut sejarawan dalam tataran epistemologisnya telah menjadi subyek yang subyektif yang bisa membelokkan kebenaran. Menulis bahwa ajaran Siti Jenar sesat.  Hal ini terkait dengan pemahaman para sejarawan terhadap makna kebenaran ataupun kebaikan. Juga dikarenakan  ada faktor kepentingan / aksiden  yang bisa membelokkan kebenaran sebagai contoh adanya relasi, status sejarawan sendiri sebagai umat Islam , faktor mayoritas / kuantitas, sehingga faktor – faktor kepentingan inilah yang telah mereduksi kebenaran. Faktor kepentingan dari sejarawan telah membiaskan kebenaran yang substansial. Sejarawan barangkali telah terbelenggu nilai – nilai praksis yang bisa mereduksi kebenaran.
c.    Pada tataran aksiologis
Pada tataran ini nilai guna ilmu sejarah itu menjadi berarti. Terkadang epistemologi yang negatif  bisa menghsilkan aksiologis yang positif maupun negatif. Mengingat filsafat merumuskan kebenaran didasarkan pada hasil perenungan mendalam manusia secara logis maka kebenaranya bersifat utopia (idealitas), sehingga belum tentu dapat di temui dalam kehidupan nyata .Agar dapat di ketahui  sejauh manakah realita itu mendekatkan realitas. Maka upaya penerapan idealitas harus selalu mempertimbangkan realita yang ada. Kita harus mengetahui kebaikan-kebaikan dan juga kelemahan-kelemahan dari realita yang sedang kita hadapi. Lalu kita merumuskan langkah-langkah yang di perlukan bagi upaya perbaikan tersebut dengan mengingat pada sumber daya yang di miliki dan tantangan-tantangan yang di hadapi. Tantangan-tantangan itu harus di perhitungkan secara masak-masak agar usaha menegakkan kebenaran itu tidak menimbulkan gejolak yang tidak terkendali dengan dampak pecahnya kekerasan yang bertolak belakang dengan misi kebenaran: damai, sejahtera, adil, dan bebas. Pada kasus ini sejarawan tidak bersikap obyektif, rasional, dan empirik dalam menulis tentang Siti Jenar dan ajarannya. Jika ajaran Siti Jenar ditulis seobyektif mungkin sejarawan khawatir maka kemurniaan Islam akan porak poranda. Dan lagi sejarawan tak mampu melawan penguasa yang mayoritas beragama muslim. Penguasa baik di tingkat mikro maupun makro mempunyai peranan yang vital dalam kerangka penulisan sejarah di Indonesia. Maka penguasapun telah pula menjadi subyek yang subyektif pula dalam memandang tulisan sejarah. Kultur Indonesia yang mayoritas Islam tidak akan pernah suka dengan berbagai aliran yang dianggap menyimpang sedikitpun. Mengingat salah satu fungsi sejarah adalah edukatif, bisa jadi sejarah yang obyektif dianggap tidak mendidik kerohaniaan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Kalau tolak ukurnya budaya dan agama sebagai salah satu wujud budaya maka bisa terjadi bahwa yang benar belum tentu baik.
Memang sebagai ilmu sejarah harus melalui prosedur ilmiah yang dimulai dari proses induksi, deduksi, hipotesis, dan verifikasi. Proses induksi dalam metode penelitian sejarah dimulai dengan mengumpulkan berbagai fakta dan sumber sejarah. Sejarawan harus mengumpulkan bukti – bukti sejarah maupun sumber sejarah yang ada di lapangan. Kemudian masuk dalam tahapan deduksi. Dari sumber – sumber sejarah yang pasif tersebut harus ditafsirkan oleh sejarawan sehingga menghasilkan fakta sejarah. Penafsiran ini bisa didasarkan pada teori – teori yang telah ada sebelumnya.  Sehingga nantinya bisa dihasilkan sebuah hipotesis atas apa yang akan menjadi intepretasi sejarawan dalam tulisan sejarahnya nanti. Kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi yaitu analisis model dan pembuktian untuk mencari kebenaran sejarah. Fakta – fakta yang telah diperoleh tadi dihubung  - hubungkan melalui penafsiran sejarawan kemudian disentesakan baru ditulis dalam bentuk narasi. Yang terjadi pada contoh di atas memang sejarawan telah melalui proses induksi dengan baik, tapi hanya sebatas mengumpulkan sumber – sumber. Tapi dalam ilmu sejarah sumber – sumber yang pasif tersebut harus diintepretasi oleh sejarawan. Di sinilah sejarah mulai menjadi kurang ilmiah, karena dalam proses penafsiran sumber sejarah subyektifitas sejarawan bermain di dalamnya sesuai dengan kepentingannya. Pada tahap ini seorang sejarawan seringkali melakukan kesalahan. Kepentingan sejarawanan pada kasus ini memang ingin membuat aliran agamanya yang paling benar . Juga ketakutan akan pengaruh aliran lain yang bisa merebut pengaruh dari para anggota kelompoknya sendiri. Ketakutan jika kelompoknya beralih aliran jika mengetahui ajaran siti jenar yang sebenarnya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan Sumber – sumber sejarah yang diperoleh sejarawan dalam hal ini seperti serat, pupuh, tulisan peninggalan ajaran Siti Jenar telah diintepretasikan lain dan subyektif menurut sejarawan tersebut demi sebuah kepentingan tertentu sehingga tulisan sejarah yang dihasilkan menjadi tidak ilmiah.


DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad. 2010. Filsafat ilmu. Jogyakarta : Pustaka Pelajar
Budi, Iman. 2010. Nasihat hidup orang jawa. Jogyakarta : Diva Press
Kencana, Inu. 2010. Pengantar filsafat. Bandung : PT Refika Aditama
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan sejarah. Jogyakarta : Tiara Wacana
Munir, Abdul. 2003. Syekh Siti Jenar: Membuka pintu makrifat. Jogyakarta : Kreasi Wacana
Tebba, Sudirman. 2003. Syaikh Siti Jenar : Surga dan neraka terletak pada diri manusia.
            Bandung : Pustaka Hidayah












TUGAS INDIVIDU
Untuk Memenuhi Mata Kuliah Perspektif Geografi





Oleh :
Nama         : Sri Lestari
   NIM          : 0301512006


PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013





Prodi                                 : Pend IPS
Mata Kuliah                      : Teori dan Prinsip IPS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar