Kamis, 09 Mei 2013

PETANI GARAM DALAM JERATAN KAPITALISME


PENDAHULUAN
a.             Latar Belakang
Garam merupakan komoditi strategis sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat, tetapi dewasa ini kehidupan petani garam di berbagai daerah di Indonesia, dihadapkan pada situasi sulit. Banyak petani tidak dapat bertahan dengan pilihan usahanya, bahkan ada yang meninggalkan usahanya dan berpindah menekuni mata pencaharian lain. Problem yang dihadapi petani garam yang tampak kepermukaan, antara lain menyangkut harga, mutu garam yang sangat rendah, sampai membanjirnya garam impor. Jika dicermati dan dikaji lebih mendalam, terdapat problem yang mendasar yang dihadapi petani garam, yaitu beroperasinya sistem kapitalisme yang mengantarkan mereka pada kondisi yang terpuruk bahkan termarjinalkan. Sistem itu telah menjalani sejarah panjang yang diintroduksir oleh kolonialisme sejak negara -negara Eropa tumbuh dan berkembang menjadi negara industri, hingga dewasa ini telah menjadi kekuatan global yang mempengaruhi hampir semua segi kehidupan masyarakat. Kapitalisme yang selalu melandaskan pada cita -cita profit maximalization and cost minimalization, pada banyak kasus telah terbukti memberi kontribusi signifikan terhadap ketergantungan, keterpurukan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berbagai bangsa, utamanya di dunia ketiga (Taylor,1989), termasuk fenomena yang terjadi pada petani garam.
Terbangunnya kondisi yang marjinal atau terbelakang dalam pandangan kaum Marxian lebih disebabkan oleh adanya kontradiksi dari sistem kapitalisme, yaitu perampasan surplus. Keadaan demikian, sistem kapitalis melalui beroperasinya kapital telah menciptakan kemajuan ekonomi bagi sebagian kecil dan menciptakan keterbelakangan bagi sebagian besar masyarakat. Bahkan menurut Frank, perampasan surplus berkaitan dengan eksploitasi yang kemudian berdampak pada semakin meluasnya jaringan kapitalis. Diantara dunia kapitalis dengan metropolis nasional menuju pusat-pusat regional, berlangsung perampasan surplus oleh kekuatan kapitalis melalui praktek ekonomi yang eksploitatif. Pada jaringan berikutnya sebagian besar pemilik lahan atau pedagang merampas surplus dari petani kecil atau penyewa dan seringkali kemudian juga pada para pekerja tanpa tanah (Culley, 1977).
Berdasarkan latar tersebut, maka makalah  ini akan mengkaji lebih lanjut bagaimana sistem kapitalisme telah melakukan penetrasi terhadap komoditas garam sejak jaman VOC kolonial Belanda dan berlangsung terus hingga dewasa ini. Selain itu akan diungkap juga bagaimana sistem kapitalisme itu telah menyebabkan keterpurukan dan memarjinal-kan petani garam dengan mengangkat kasus petani garam di Rembang Jawa Tengah. Dengan begitu akan didapat gambaran jelas, bahwa problem petani garam tidak sekedar harga yang sering terjun bebas, melainkan terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang bercorak eksploitatif yang telah menjerat kehidupan mereka.

b.        Permasalahan
Berdasarkan latar belakang  di atas, maka permasalahan dapat dirumusakan sebagai berikut :
1.         Bagaimana latar belakang historis  munculnya sistem kapitalisme di Indonesia yang telah menjerat petani garam ?
2.         Bagaimana dampak sistem kapitalisme terhadap petani garam, khususnya petani garam di Rembang ?
3.         Bagaimana analisa  keterpurukan  petani garam di Rembang dipandang dari perspektif historis  ?






















PEMBAHASAN

A.           Munculnya Sistem Kapitalisme Monopolistik Kolonial Belanda
Kapitalisme menurut Weber, sebagai sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang karena orientasi yang menekankan pada pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Dalam pandangan Marx, orientasi kaum kapitalis dalam mengejar keuntungan itu pada dasarnya yang mendorong terjadinya penyerobotan surplus value yang mestinya menjadi hak para pekerja yang berproduksi. Melalui penyerobotan surplus value oleh kekuatan kapitalis ini terjadi akumulasi kapital yang berlanjut pada terbangunnya jaringan sistem kapitalisme yang semakin meluas menembus batas ruang dan waktu. Kapitalisme menurut pandangan Marx adalah suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturkan secara khusus, yang di dalamnya manusia diorganisir untuk memproduksi kebutuhan hidup, tetapi diasingkan dari produk yang dihasilkan. Bahkan Dobb mengemukakan bahwa kapitalisme merupakan satu sistem ekonomi yang didasarkan pada buruh upahan yang tidak memiliki kekuasaan atas alat produksi (Russel, 1989).
Menelisik makna yang terkandung dalam konsep sistem kapitalisme itu, maka unsur kompetisi antara individu maupun kelompok kapitalis menjadi determinan dalam proses akumulasi kapital yang menjadi unsur terpenting dari sistem kapitalisme. Ironisnya kapitalisme kontem-porer justru menunjukkan beroperasinya kapitalisme yang monopolistik sebagai lawan kompetitif. Konsep kapitalisme yang monopolistik adalah sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari korporasi perusahan raksasa yang men-dunia. Korporasi perusahaan raksasa dewasa ini dipandang sebagai mesin untuk me –maksimalkan keuntungan dan mengakumula-sikan modal minimal (Baran & Sweezy, 1970). Tampaknya perbedaan besar antara kompetitif dan kapitalisme monopoli adalah bahwa korporasi raksasa telah menempuh ruang waktu yang panjang melalui kapi-talisme individual dan penghitungan yang lebih rasional, keduanya berkaitan dengan skala yang lebihluas dari bekerjanya kor-porasi.  Kedua kunci ini menciptakan karak-teristik sikap dan model perilaku budaya tertentu, yang merupakan sesuatu yang penting dari penghindaran sistemik dari resiko dan suatu sikap hidup dan tantangan hidup.
VOC sebagai korporasi raksasa pada jamannya,  merupakan persekutuan/organisasi dagang pertama dari orang-orang Eropa (Belanda) yang wilayah operasional-nya multi-nasional. Sebagai sebuah organisasi dagang multi nasional, VOC memiliki jaringan organisasi dan birokrasi demikian luas ditandai dengan pendirian kantor cabang diberbagai tempat di dunia. Kantor-kantor cabang VOC tersebar diberbagai tempat penting dan strategis di Asia dan Afrika, antara lain di Tanjung Harapan (Afrika Selatan), Calcuta (India), Jepang, Macao (Cina), Malaka (Malasyia) dan Batavia (Indonesia) (Gaastra, 1981). Di Indonesia pada awalnya belum menerapkan sistem monopoli terhadap produksi dan perdagangan garam. VOC cenderung melanjutkan sistem tradisional yang sudah lama berjalan di dalam masyarakat pribumi. Sebagaimana bang-sawan Jawa, VOC juga menuntut penye-rahan wajib (contingenten) garam dari para petani penggarap dengan jumlah yang telah ditentukan. Di samping itu, VOC juga menyewakan kepada para pengusaha kaya dengan disertai aturan-aturan yang lebih mengikat dan tegas. Aturan itu antara lain bahwa di daerah –daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaan VOC (het rechtstreeksch bestuur van de Compagnie) dilarang membuka tambak garam baru (membuat industri garam baru) kecuali harus mendapatkan ijin VOC (Stibbe,1919:55).
Dengan peraturan tersebut, VOC dengan sendirinya mengontrol bahkan melakukan monopoli produksi dan perdagangan garam di daerah-daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaannya. Sistem yang dikembangkan VOC itu selain memunculkan usaha-usaha pembuatan garam (pabrik dan perusahaan berbagai skala), juga melahirkan kelas sosial baru, yaitu pachter (pemborong/penyewa). Selain itu dengan melihat volume perdagangan garam yang dilakukan oleh VOC, tampak VOC cenderung lebih memilih untuk menerima contingenten garam dari para petani garam daripada memborongkan kepada para pachter yang biasanya berasal dari orang Cina. Hal ini terjadi karena VOC sendiri memiliki peluang memperdagangkan garam di berbagai daerah di kepulauan Indonesia bahkan di kawasan lain di luarnya. Pada masa VOC garam yang berasal dari Rembang kebanyakan diperdagangkan di Batavia, dan selanjutnya sebagian juga diperdagangkan di Sumatra Barat yang mendatangkan keuntungan yang sangat bagus (Stockdale, 1811:41).
Namun demikian sejalan dengan keterlibatan VOC dalam persoalan politik dan mi liter baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang membutuhkan banyak uang cash maka menjelang akhir kebangkutannya VOC memiliki kecenderungan untuk menyewakan tambak-tambak garam kepada pachter agar memperoleh uang kontan. VOC bahkan juga menyewakan tanah partekelir (beserta penduduknya), menjual pajak borongan, menyewakan monopoli opium, dan se-bagainya (Cribb, 2000:139). Dengan adanya perkembangan ini para elite pribumi yang memiliki potensi ekonomi telah kehilangan kontrol atas produksi garam di pantai utara Jawa dan akhirnya kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam jatuh ke tangan penguasa kolonial dan pengusaha yang terdiri dari orang Cina (Knaap, 1991:127-157).
Sistem penyerahan wajib dan penyewaan monopoli garam yang juga diberlakukan oleh VOC di Rembang ini berlangsung hingga kebangkrutannya pada tahun 1799. Bahkan pada periode berikutnya sistem ini tetap berjalan hingga Jawa berada di bawah penjajahan Inggris yang berlangsung tahun 1811 - 1816. Sesuai dengan sifat pemerintahan Inggris yang lebih dijiwai oleh semangat liberalisme, Gubernur Jenderal Thomas Stamfort Raffles melihat bahwa monopoli garam yang disewakan kepada para pachter ini sangat merugikan penduduk pribumi dan sebaliknya memberikan keuntungan yang sangat besar kepada para pachter. Hal ini terjadi karena para pachter merasa sudah memborong produksi garam itu kepada VOC sehingga mereka melakukan eksploitasi dan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa banyak campur tangan lagi dari penguasa Belanda. Dalam hubungan inilah maka pada tanggal 15 Oktober 1813 Raffles mengeluarkan peraturan yang menghapuskan baik sistem contingenten maupun sistem penyewaan produksi dan perdagangan garam yang dilakukan oleh para pachter. Sebagai gantinya Raflles menempatkan industri garam sebagai peru-sahaan negara yang dipimpin super inten-dent. Perusahaan negara ini akan menerapkan sistem free labor (vrije arbeid) produksi garam. Demikian juga perdagangan dan distribusi garam dikelola perusahaan negara. Pertama-tama, Raffles menerapkan peraturan ini untuk daerah Jawa dan Madura serta Lampung. Jawa dan Madura yang pada masa VOC dan pemerintah kolonial Belanda diperlakukan sebagai daerah monopoli (monopoligebied) dibagi menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipimpin oleh seorang agen. Jadi tempat-tempat pembuatan garam berada di bawah kontrol agen-agen tersebut sesuai dengan pembagian daerah tugasnya. Namun demikian karena pemerintah interregnum Inggris hanya berlangsung sangat pendek, maka peraturan ini belum berjalan sepenuhnya ketika Ingris sudah harus meninggalkan pulau Jawa. Namun demikian kebijakan Raffles ini telah membuat para pachter garam mengalami kerugian besar (Stibbe, 1919:55). Satu hal yang menarik adalah bahwa meskipun kekuasaan atas pulau Jawa sudah dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1816, namun pemerintah kolonial Belanda tetap memanfaatkan kebijakan penghapusan sistempachter itu sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan pemerintah atas industri dan perdagangan garam di Jawa. Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial membutuhkan uang lebih besar dari sektor pengusahaan garam. Oleh karena itu peraturan yang dibuat oleh Inggris untuk sementara waktu tetap dilanjutkan.
Bahkan ada kecenderungan pemerintah kolonial Belanda justru memperkuat posisi peme -rintah dalam penguasaan industri dan perdagangan garam mengingat komoditi ini dapat memberikan pemasukan keuangan yang besar kepada pemerintah. Pada tahun 1818 misalnya, kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam di daerah -daerah dikuasakan kepada para residen. Namun demikian upaya ini tidak membuahkan hasil sebab banyak kepentingan pejabat lokal yang menyebabkan pemasukan pemerintah menjadi berkurang. Oleh sebab itu sistem yang telah diletakkan oleh Raffles kambali menjadi acuan dengan menyerahkan pengelolaan produksi dan distribusi garam kepada direksi dan dewan keuangan sebagaimana sebuah perusahaan modern (Gent, Penard & Rinkes, 1923:408 -410). Namun demikian seiring dengan silih bergantinya sistem eksploitasi kolonial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda peraturan-peraturan monopoli juga mengalami periode trial and error sesuai dengan kebijakan gubernur Jenderal yang sedang memerintah (Dick, 2002). Komisaris Jenderal Du Bus De Gesignes misalnya, pada tahun 1829 kembali berusaha menyewakan pengelolaan garam kepada pihak swasta untuk menutup kas keuangan Belanda yang mengalami defisit sebagai akibat dari Perang Diponegoro yang berlangsung tahun 1825 -1830 (Stibbe, 1919:55).
Baru pada tanggal 25 Februari 1882 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Bepalingen tot Verzekering vanhet Zoutmonopolie sebagai peraturan yang secara tegas mengatur mengenai monopoli produksi dan distribusi garam di Hindia Belanda/Indonesia (Indische Staatsblad No. 73, 1883). Aturan ini kemudian disempur -nakan pada tahun1921 (Staatsblad N0. 454), 1923 (Staatsblad No. 20), 1930 (Staatsblad No. 119), dan tahun 1931 (Staatsblad No. 168 dan 191). Aturan yang paling mendasar dari peraturan-peraturan ini adalah bahwa pembuatan garam, kecuali dengan ijin pemerintah atau milik pemerintah itu sendiri, dilarang di Jawa dan madura, di residensi Pantai Barat Sumatra, Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Palembang, Pantai Timur Sumatra, Bangka dan sekitarnya, Afdeling Borneo Barat, Afdeling Borneo Selatan dan Timur, dan Asistensi Residen Bilitung. Sementara itu produksi garam di Kuwu (Grobogan) tidak dikenakan aturan ini namun para produsen harus membayar pajak sebesar 50 cent per pikul (1pikul = 61,76 kg). Demikian juga kegiatan impor garam ke wilayah-wilayah yang disebutkan di atas juga dilarang, kecuali jika hal itu dilakukan oleh pemerintah. Aturan yang sama juga berlaku untuk perdagangan garam antar wilayah yang disebutkan itu. Di samping itu hanya pelabuhan-pelabuhan tertentu saja yang dapat digunakan sebagai pintu masuk atau keluar komoditi garam, di Jawa misalnya: pelabuhan Batavia, Cirebon, Tegal, Pe-kalongan, Semarang, Surabaya, dan Cilacap (Staatsblad 1905, No. 307). Dalam peraturan ini, badan pemerintah yang diberi wewenang untuk mengendalikan monopoli garam bukan lagi pejabat daerah (residen) namun seorang Kepala Dinas Monopoli Garam (Hoofd van den Dienst der Zoutregie) yang posisinya ditempatkan di bawah Direktur dari Departemen Perusahaan Negara (Departement van Gouvernements-bedrijven). Struktur manajemen ini berlaku sejak tahun 1915. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa pemerintah mengontrol dan memonopoli dengan ketat produksi dan distribusi serta lalu -lintas garam yang beredar di wilayah yang dikuasainya. Bahkan petugas monopoli garam diberi kuasa untuk menggeledah rumah yang dicurigai menjadi tempat penyimpanan garam illegal dan pelanggaran terhadap peraturan itu akan mendapatkan sangsi kurungan dan/atau didenda (Depar-tement van Binenlandsch Bestuur, 1932:43).
Untuk menjaga agar tidak terjadi manipulasi timbangan maka sejak tahun 1897 juga diupayakan untuk membuat garam briket (garam bata). Selain itu juga dibedakan antara garam yang digunakan untuk konsumsi dengan garam yang digunakan untuk bahan industri seperti untuk pengeringan pengawetan ikan. Garam untuk konsumsi berharga sekitar f 0,12/kg, sedangkan harga garam untuk industri adalah f 0,03/kg (Stibbe, 1919:866). Di satu sisi, monopoli negara ini mungkin dimaksudkan untuk melindungi penduduk pribumi dari berbagai praktek manipulasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh para pemodal swasta yang selama jaman VOC memperoleh keuntungan yang sangat besar dengan cara merugikan para konsumen tetapi di pihak lain kebijakan ini juga menjadi suatu penghalang bagi kaum pribumi yang ingin mengembangkan usaha di bidang pengusahaan dan perdagangan garam ini. Memang penduduk pribumi diijinkan untuk membuka usaha pembuatan garam namun harus mendapatkan ijin yang ketat dari pemerintah. Lagi pula para pembuat garam sudah diberi kuota produksi yang dapat mereka capai sehingga pendapatan mereka menjadi sangat terbatas. Selain itu pemerintah sudah menetapkan harga jual dan beli di berbagai wilayah di Hindia Belanda sehingga kebijakan ini kurang menarik dari segi usaha/bisnis dari pihak nonpemerintah. Setiap produksi garam tidak boleh dijual bebas di pasaran, tetapi harus dijual ke gudang - gudang pemerintah yang dikepalai oleh seorang pakhuismeester. Para pemodal Cina memang masih dapat membuka usaha pembuatan garam atas ijin pemerintah, namun tetap saja mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana sebelum tahun 1870 -an. Dengan cara demikian pemerintah kolonial Belanda melakukan penetrasi sistem kapitalisme monopolistik yang sangat ketat terhadap komiditas garam. Sebagai hasilnya pendapatan dari sektor industri dan perdagangan garam di Indonesia pada waktu itu memberi kontribusi signifikan terhadap keuangan pemerintah kolonial Belanda. Contohnya pada tahun 1902 pendapatan pemerintah dari monopoli garam mencapai f 9.456.466, tahun 1913 meningkat menjadi f 12.633.988,21 dan tahun 1922 meningkat lagi menjadi f 17.221.346,50 (Koloniaal Verslag, 1904:284; Koloniaal Verslag, 1915:264; Koloniaal Verslag, 1923:231). Hal itu belum termasuk monopoli garam di Bagan Si Api Api yang diperlakukan secara istimewa. Pada tahun 1905 misalnya, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan pemasukan sekitar f 325.000 dari industri garam dan industri lain yang terkait (Butcher, 1994:100). Meskipun tangan pemerintah begitu kuat menceng-keram industri dan perdagangan garam, namun apa yang disebut sebagai garam rakyat (bevolkingszout) juga tetap eksis. Sebagai contoh pada tahun 1938, produksi garam rakyat yang dijual di gudang garam Semarang mencapai 2.882.000 kg dengan nilai mencapai f 158.800. Produksi ini me -libatkan 6 sentra pengusahaan garam dengan tenaga berjumlah 1.563 orang (Indisch Verslag, 1939:298). Setelah Indonesia merdeka, produk garam tidak lagi menjadi komoditas strategis sumber pendapatan negara dan oleh karenanya pemerintah tidak lagi melakukan monopoli yang begitu ketat sebagaimana halnya pada masa kolonial. Bahkan pemerintah RI kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan monopoli dengan cara membubarkan PN Garam, karena setelah dievaluasi tidak dapat menghasilkan devisa justru membebani keuangan negara. Berdasarkan investigasi pada dasarnya persoalan yang dihadapi PN Garam sangat kompleks baik yang berkaitan dengan kelembagaan, organisasi dan teknologi (Sanders,1968). Selama produksi garam dalam mono-poli PN Garam tampaknya lebih menekankan pada pelaksanaan misi bagi terjaminnya pemerataan distribusi garam secara nasional dan kurang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang terintegrasi dalam sektor industri lainnya. Sebagai salah satu dampaknya adalah komoditas garam tidak memiliki organisasi dan birokrasi modern yang memberi akses memadai pada petani garam sebagai produsen langsung untuk dapat menikmati surplus dari produknya.
Dari kajian historis dapat diketahui, bahwa VOC-lah yang mengawali introduksi sistem ekonomi kapitalis pada komoditas garam. Pada jaman pra kolonial penguasa di pantai utara Jawa Tengah termasuk Rembang pernah menjadikan garam sebagai komoditas ekspor ke beberapa negara dalam kawasan Asia Tenggara, tetapi kondisi berubah pada masa kolonial di mana penguasa di Jawa kehilangan kontrol atas produksi garam di pantai utara Jawa dan kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam pada akhirnya jatuh ke tangan VOC, penguasa kolonial dan pengusaha yang terdiri dari orang-orang Cina (Knaap, 1991:127-157). Bahkan pada jaman kolonial, garam berkembang sebagai salah satu komoditas ekspor yang didominasi oleh penguasa dan pengusaha/pemodal. Hal itu antara lain ditandai oleh adanya kebijakan politik ekonomi garam yang tampak lebih berorientasi pada kepentingan penguasa dan pemodal dengan mengorbankan kepentingan produsen lokal penduduk pribumi ( Departemen Van Binnenlansch Bestuur, 1932; Kuntowijoyo, 1988).
Dengan adanya monopoli maupun dominasi penguasa dan pengusaha atas produksi garam, menjadikan produksi garam dalam penetrasi sistem kapitalisme. Dalam perspektif materialisme historis, kondisi yang demikian itu melahirkan formasi sosial yang didominasi oleh sebuah artikulasi dari dua cara berproduksi (mode of production), yaitu cara kapitalis dan non kapitalis di mana cara produksi kapitalis telah menjadi dominan atas yang lain. Hal itu antara lain tampak dari berkembangnya pengusahaan garam oleh pemerintah melalui perusahaan yang telah ditunjuk dan direkomendasikan (mendapat-kan hak sewa) di satu sisi dan terjadinya penurunan status sosial petani garam pada sisi yang lain di mana mereka cenderung hanya menjadi tenaga penggarap dan upahan dalam proses produksi garam. Kondisi yang demikian itu dalam perkembangan-nya dibeberapa daerah sentra garam seperti Madura mendorong timbulnya resistensi petani garam dalam bentuk protes terbuka yang sangat marak pada perempat pertama abad XX (de Jonge, 1993: 165-184). Setelah Indonesia merdeka keadaanya tidak banyak berubah, semula garam secara formal dalam monopoli pemerintah, tetapi praktek perdagangan garam masih dalam dominasi pegusaha/pedagang Cina dengan sistem kapitalisme. Para pedagang ini me-miliki kecenderungan mempermainkan harga, sehingga pada tingkat petani harga garam sangat fluktuatif. Sebagai contoh harga garam dapat mencapai 75 sampai 80 sen/kg, tetapi pada waktu lain yang tidak berselang lama berubah menjadi 2 sampai 8 sen/kg (Widodo, 2005). Terlebih dengan dicabutnya peraturan tentang monopoli garam oleh pemerintah RI pada tahun 1957 yang berdampak pada pembubaran PN Garam, maka kondisi petani garam semakin dalam tekanan kuat dari pemodal (kapitalis). Meski setelah pembubaran PN Garam pemerintah membentuk koperasi dan kemudian Perseroan Terbatas (PT) yang diberi hak sebagai penyalur dan penimbun garam untuk menggantikan peran pedagang Cina, tetapi prakteknya juga tidak berhasil membantu petani terutama dalam menstabilkan harga garam.
Dengan dibubarkannya PN Garam, pemerintah RI sejak Orde Baru hingga dewasa ini cenderung hanya mengatur tata niaga garam. Dalam hal ini kebijakan yang terkait dengan tata niaga garam cenderung berpihak pada kekuatan kapitalis terutama atas supra lokal dan dalam kooptasi kekuatan ekonomi global yang juga sangat kapitalistik. Paling aktual antara lain tercermin dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti UU No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pemben-tukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization), Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994, tentang Pengadaan garam Beryodium, Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 tentang Pengesahan Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produksi industri (termasuk garam), Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan, Penge-masan dan Pelabelan Garam Beryodium serta Perizinan, Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI No. 360/MPP/Kep/5/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Ketentuan Impor Garam. Kecenderungan aktual adalah garam tidak lagi menjadi komoditi ekspor yang pantas diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia dan oleh karena itu garam impor membanjir dan menggilas garam lokal produk petanikita.

B.       Kasus Keterpurukan Petani Garam di Rembang
Di kabupaten Rembang jumlah petani garam pemilik lahan pada tahun 1990 sebanyak 784 orang, tahun 2000 menurun menjadi 729 orang dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang. Peningkatan terjadi pada jumlah petani penggarap/buruh garap di mana pada tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang dan pada tahun 2005 menjadi 4.739 orang. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di kabupaten Rembang juga cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 4 perusahaan (Rembang Dalam Angka 1990, 2000 dan 2005). Padahal luas lahan garam relatif tidak berubah, yaitu 1.189,449 ha pada tahun 1990 (Jawa TengahDalam Angka, 1991), 1.184,965 ha pada tahun 2000 dan 1.184,965 ha pada tahun 2005 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang, 2005).
Petani garam di Kabupaten Rembang kesulitan menjual timbunan garam hasil panenan yang masih menumpuk di gudang. Selain harganya jatuh, permintaan pasar saat ini juga terhitung sepi. Padahal seharusnya musim hujan menjadi masa panen bagi petani garam di Kabupaten tersebut. Pada tahun 2012  garam kualitas I paling tinggi hanya Rp 380/Kg, dan kualitas II lebih rendah, sekitar Rp 300/Kg. Sepinya permintaan dari luar Jawa juga dikarenakan  beberapa pengusaha di Medan bisa mendatangkan garam langsung dari India Petani garam di Rembang juga menghadapi permasalahan tidak mampu melakukan penundaan penjualan kalau harga di pasaran sedang turun. Dilema lainnya, petani tidak bisa menunda penjualan hasil produksi karena keterbatasan tempat penyimpanan dan desakan kebutuhan sehari-hari. Bahkan pada 2004, harga garam juga pernah mencapai Rp 70/kilogram-Rp 80/kilogram. Sementara, garam berkualitas jelek harganya akan lebih rendah. Masa kejayaan petani garam Rembang berlangsung pada 1987. Pada saat itu harga garam cukup tinggi, sehingga petani bisa menikmati hasil panen mereka. Namun, setelah 1987, harga garam di kabupeten itu terus menurun. Bahkan, sampai sekarang pun harga garam masih rendah dan fluktuatif.
Salah satu perusahaan Garam, yaitu PT Garam, mengakui pihaknya saat ini menyerap garam petani di bawah harga ketentuan pemerintah. Garam K1 dibeli dengan harga Rp 600 per kg, sedangkan garam K2 seharga Rp 530 per kg. Hal ini karena pihaknya sulit membeli harga garam rakyat sesuai dengan ketentuan pemerintah, mengingat sejumlah importir produsen garam beryodium melakukan pembelian garam rakyat di bawah harga standar. Sementara itu, tidak ada penugasan dari pemerintah terhadap BUMN Garam tersebut untuk menyerap garam rakyat. Jika pemerintah serius ingin menyelamatkan harga garam petani, perlu ketegasan bagi seluruh importir produsen garam beryodium untuk wajib menyerap garam lokal sesuai harga patokan.
Guna menjamin kepastian harga garam ditingkat petani, telah ditetapkan regulasi mengenai harga garam. Berdasarkan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Nomor  02/DAGLU/PER/5/2011, harga pokok pembelian (HPP) garam ditetapkan Rp 750 per kilogram untuk garam kualitas super atau KW1 dan Rp 550 per kilogram untuk KW2.Namun saat ini tahun 2013 di Kabupaten Rembang tercatat harga garam KW1 bertahan di kisaran Rp 600 per kilogram dan Rp 450-Rp500 per kilogram untuk KW2.
Juga pemberlakuan Keputusan Menteri Perdagangan Nomer 58 tahun 2012 tentang pembatasan impor garam belum bisa menjamin  memperbaiki nasib petani.  Sejumlah petani garam di Rembang dan Madura mengaku belum merasakan dampak positif pembatasan impor itu. Untuk awal tahun 2013 memang belum terasa dampak kebijakan pengaturan impor garam tersebut.  Tetapi diharapkan pada panen akhir tahun 2013 akan ada perbaikan harga garam. Hal ini juga dikarenakan pasca dikeluarkan kebijakan Menteri Perdagangan itu sekitar 30 Juni 2012, perlu waktu untuk menghabiskan stok garam impor di Indonesia sebelumnya, yang diperkirakan mencapai 500 ribu ton lebih selama 2012. Nasib petani garam akan lebih baik, asal pemerintah juga konsisten terhadap regulasi/aturan yang telah mengatur soal impor garam konsumsi nasional tersebut.

C.      Analisa Keterpurukan Petani Garam di Rembang dari Perspektif Historis
Fenomena di atas pada satu sisi menunjukkan bahwa posisi dan status sosial ekonomi petani garam semakin termarjinalkan dan pada sisi yang lain juga dapat dimaknai telah terjadi polarisasi dalam penguasaan lahan garam dan dominasi moda produksi kapitalis. Jika dilihat dari perspektif historis hal ini menunjukkan sebuah kesamaan pada saat masa kolonial di mana nilai – nilai kapitalisme mulai masuk dan diintrodusir oleh VOC. Petani garam di Rembang kebanyakan petani garam dalam skala kecil atau petani penggarap tergilas nasibnya oleh para pemodal yang lebih kuat seperti tengkulak yang bisa mempermainkan harga seperti yang terjadi pada masa kolonial dulu, di mana para tengkulak atau patcher didominasi oleh pedagang Cinalah dan kapitalis lainnya yang bisa mengatur harga. Mereka inilah yang diuntungkan dengan adanya surplus value. Para petani garam tak kuasa dengan permainan harga yang diciptakan.  Pemerintah terkesan setengah hati dalam menangani polemik ini, karena terkadang para pengambil kebijakan publik termasuk dalam anggota kapitalis itu sendiri yang mencoba mengambil keuntungan di tengah jerit petani. Model seperti ini sudah ada dan ditanamkan sejak jaman VOC , kolonialisme Belanda, Inggris, sampai Pemerintah Indonesia sendiri
Moda produksi kapitalis dalam pemikiran Marx (Morrison, 1995) lebih didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi dan dalam hal ini kapitalis sebagai pemilik alat produksi dan buruh proletar memiliki kepentingan yang bertentangan. Pemikiran Marx itu dikembang-kan Russel (1989), bahwa moda produksi kapitalis mempunyai ciri padat modal dan merupakan tipe kelas berstruktur majikan-buruh pada hubungan produksinya. Dan hal ini terjadi pada kasus petani garam di Rembang telah terjadi proses pemiskinan kaum buruh oleh kaum kapitalis melalui aliran dan akumulasi surplus yang pada hakekatnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap kaum buruh dalam proses produksi. Dalam proses produksi garam, lahan merupakan alat produksi yang sangat penting bagi petani garam karena diatas lahan itulah kegiatan produksi mereka lakukan. Oleh karena itu struktur penguasaan lahan garam akan menentukan accessibity petani garam pada surplus atas praduksinya. Artinya, petani garam di Rembang yang mempunyai lahan sempit dan yang tidak menguasai lahan garam, aksesnya rendah bahkan tidak memiliki akses pada surplus dari produksinya dan sebaliknya petani yang menguasai lahan luas memiliki akses untuk dapat menikmati surplus dari produksi garam. Struktur penguasaan lahan juga berpengaruh pada moda produksi yang berkembang, yaitu moda produksi kapitalis pada petani lahan luas dan moda produksi non kapitalis/usaha keluarga (household farm) pada petani kecil dan petani penggarap seperti yang terjadi pada masa lalu
Model produksi non kapitalis dalam proses produksi garam di Kabupaten Rembang secara empiris dicirikan oleh adanya hubungan produksi subsisten yang terbatas dalam lingkup keluarga (orang tua, anak, menantu, sepupu) dengan dasar hanya untuk dapat survival, tidak terekspresi adanya perhitungan untung-rugi (cost-benefit calculation). Hal ini jelas sangat berbeda dengan moda produksi kapitalis yang dicirikan oleh hubungan produksi komersial yang berorientasi pada keuntungan (profit). Selain itu kedua moda produksi tersebut dalam banyak kasus memiliki keterkaitan integratif yang bersifat asimetris, yaitu moda produksi kapitalis mendominasi moda produksi non kapitalis dan surplus dari beroperasinya moda produksi non kapitalis diserap ke dalam moda produksi kapitalis melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan sistem bagi hasil yang dikembangkan. Dari hal ini secara sosial ekonomi petani garam yang menguasai lahan terlebih lahan luas relatif lebih maju/kaya dibandingkan dengan petani lahan sempit apalagi petani penggarap/buruh pada umumnya lebih terbelakang/miskin. Sebagai indikatornya tercermin dari beberapa hal antara lain: pola kerja/usaha, pendapatan/hasil yang diperoleh, relasi sosial yang dikembangkan, kondisi perumahan, jenis dan pola konsumsi makanan, pendidikan. Dengan demikian polarisasi penguasaan lahan garam oleh kapitalis secara signifikan ikut memberi kontribusi bagi marjinalisasi petani garam terutama petani kecil dan petani penggarap/buruh. Hal ini mengingat petani garam di Kabupaten Rembang sebagian besar merupakan petani penggarap baik dari pemilik lahan sempit (< 0,5 ha) maupun buruh garap, hanya sebagian kecil petani garam yang memiliki lahan luas (> 5 ha) yang pada umumnya juga bergerak di jalur pemasaran garam sebagai tengkulak/bakul dan pabrikan (pabrik garam rakyat).
Selain itu dominasi kekuatan ekonomi kapitalis atas produksi garam di Rembang juga ditunjukkan melalui penguasaan mereka terhadap gudang-gudang garam yang merupakan titik pengumpul (collecting point), yaitu tempat pengumpulan garam di tepi/pinggir jalan raya yang dapat dijangkau truk dan sejenisnya milik kaum kapitalis yang menguasai jalur pemasaran garam, bukan milik petani kecil dan penggarap. Masyarakat Rembang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang cukup menarik, maka pada musim panen banyak kelompok sosial di luar petani garam (seperti guru, pegawai pemerintah maupun pegawai swasta dan pemodal) ikut bermain baik sebagai penyetok, tengkulak maupun mak elar. Demikian juga dengan kekuatan ekonomi kapitalis baik pada arus lokal maupun supra lokal, biasa memainkan komoditas garam di mana mereka itu semuanya bergerak di julur pemasaran garam. Bermainnya kelompok - kelompok sosial lain dari berbagai arus pada jalur pemasaran garam ini, di satu sisi dapat menjadi indikator bahwa garam merupakan komoditas yang dapat memberi keuntungan signifikan, tetapi pada sisi lain menjadikan petani garam terutama petani petani kecil dan petani penggarap/buruh semakin tidak memiliki akses ke pasar. Dalam konteks ini tampak bahwa kelompok-kelompok di luar komunitas petani garam yang bertindak sebagai pelaku ekonomi di jalur pemasaran garam, justru cenderung yang menikmati surplus value bukannya petani produsen. Dengan demikian petani garam sebagai produsen garam krosok dalam konteks perdagangan garam posisinya termarjinal-kan karena adanya penutupan akses ke pasar oleh pelaku ekonomi di jalur pemasaran. Petani (lahan sempit dan penggarap) hanya diposisikan sebagai produsen. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara petani penggarap/buruh dengan petani pemilik dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai produsen jadi.
Dalam mata rantai usaha garam itu penggarap/buruh adalah pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan dan paling rentan dibandingkan dengan lainnya, baru berikutnya petani kecil dan petani besar. Petani penggarap/buruh sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan pada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Adapun petani hanya dapat menjual pada pedagang yang telah dikenal yang bergerak di jalur pemasaran dan permodalan dan mereka ini yang cenderung memper -mainkan harga. Pada dasarnya kondisi yang demikian sudah dapat dikategorikan sebagai eksploitasi, karena adanya unsur kesengajaan penutupan akses oleh pihak tertentu pada pihak lain untuk tidak mendapatkan keuntungan dari sumber daya yang ada. Sebagaimana pada tingkat global, kekuatan ekonomi kapitalis memiliki kecenderungan untuk dengan sengaja menutup akses pelaku ekonomi lokal dan nasional dapat menembus pasar global, agar mereka tetap dapat menguasai dan mendominasi pasar global.

























PENUTUP

Dari kajian historis dan empirik dapat diketahui, bahwa secara struktural sistem ekonomi kapitalisme telah menjerat kehidupan petani garam dan itu telah berlangsung sejak jaman VOC kolonial Belanda hingga dewasa ini. Dalam hal ini produksi garam dijadikan komoditas yang dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna ( use–value), tetapi untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). VOC sebagai korporasi raksasa pada jamannya mengintroduksi dan melakukan penetrasi sistem kapitalisme pada komoditas garam di Indonesia melalui monopoli baik dalam holding maupun trading, petani hanya diposisikan sebagai produsen yang ditutup aksesnya pada pasar. Bahkan ketika kekuasaan politik berada di tangan pemerintah kolonial Belanda, dilakukan regulasi kebijakan yang menempatkan garam (produksi, distribusi dan pemasaran) dalam monopoli ketat pemerintah untuk menjadi sumber pendapat yang penting.
Pada kasus aktual petani garam di Rembang juga tampak adanya penetrasi sistem ekonomi kapitalis yang tercermin dari dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi non kapitalis. Moda produksi non kapitalis cenderung terekspresi pada proses produksi garam yang dilakukan oleh petani garam dalam kategori petani kecil, petani penggarap dan buruh di mana mereka memproduksi garam dalam skala kecil dengan teknologi dan keahlian tradisional yang berorientasi untuk survival serta bercorak household farm. Dalam kondisi yang demikian hubungan produksi yang terbangun lebih bercorak komunal dan egaliter, tidak ada kompetisi dan eksploitasi. Adapun moda produksi kapitalis terekspresi dalam proses produksi yang dikendalikan oleh pabrikan, agen, pedagang/tengkulak dan petani besar (lahan luas) di mana mereka memproduksi garam dalam
skala besar dengan teknologi dan keahlian modern serta didasarkan pada cost-benefit calculation.Dengan demikian hubungan produksi yang terbangun berstruktur buruh-majikan, sudah ada kompetisi dan eksploitasi.






KETERPURUKAN   PETANI GARAM  DI  REMBANG DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar