PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Garam merupakan komoditi strategis sebagai bahan
baku industri dan bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh hampir semua
masyarakat, tetapi dewasa ini kehidupan petani garam di berbagai daerah di
Indonesia, dihadapkan pada situasi sulit. Banyak petani tidak dapat bertahan
dengan pilihan usahanya, bahkan ada yang meninggalkan usahanya dan berpindah
menekuni mata pencaharian lain. Problem yang dihadapi petani garam yang tampak kepermukaan,
antara lain menyangkut harga, mutu garam yang sangat rendah, sampai membanjirnya
garam impor. Jika dicermati dan dikaji lebih mendalam, terdapat problem yang
mendasar yang dihadapi petani garam, yaitu beroperasinya sistem kapitalisme
yang mengantarkan mereka pada kondisi yang terpuruk bahkan termarjinalkan. Sistem
itu telah menjalani sejarah panjang yang diintroduksir oleh kolonialisme sejak
negara -negara Eropa tumbuh dan berkembang menjadi negara industri, hingga
dewasa ini telah menjadi kekuatan global yang mempengaruhi hampir semua segi kehidupan
masyarakat. Kapitalisme yang selalu melandaskan pada cita -cita profit
maximalization and cost minimalization, pada banyak kasus telah
terbukti memberi kontribusi signifikan terhadap ketergantungan, keterpurukan
kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berbagai bangsa, utamanya di
dunia ketiga (Taylor,1989), termasuk fenomena yang terjadi pada petani garam.
Terbangunnya kondisi yang marjinal atau terbelakang
dalam pandangan kaum Marxian lebih disebabkan oleh adanya kontradiksi dari
sistem kapitalisme, yaitu perampasan surplus. Keadaan demikian, sistem
kapitalis melalui beroperasinya kapital telah menciptakan kemajuan ekonomi bagi
sebagian kecil dan menciptakan keterbelakangan bagi sebagian besar masyarakat.
Bahkan menurut Frank, perampasan surplus berkaitan dengan eksploitasi yang kemudian
berdampak pada semakin meluasnya jaringan kapitalis. Diantara dunia kapitalis
dengan metropolis nasional menuju pusat-pusat regional, berlangsung perampasan
surplus oleh kekuatan kapitalis melalui praktek ekonomi yang eksploitatif. Pada
jaringan berikutnya sebagian besar pemilik lahan atau pedagang merampas surplus
dari petani kecil atau penyewa dan seringkali kemudian juga pada para pekerja
tanpa tanah (Culley, 1977).
Berdasarkan latar tersebut, maka makalah ini akan mengkaji lebih lanjut bagaimana
sistem kapitalisme telah melakukan penetrasi terhadap komoditas garam sejak
jaman VOC kolonial Belanda dan berlangsung terus hingga dewasa ini. Selain itu
akan diungkap juga bagaimana sistem kapitalisme itu telah menyebabkan
keterpurukan dan memarjinal-kan petani garam dengan mengangkat kasus petani
garam di Rembang Jawa Tengah. Dengan begitu akan didapat gambaran jelas, bahwa
problem petani garam tidak sekedar harga yang sering terjun bebas, melainkan
terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang bercorak eksploitatif yang telah
menjerat kehidupan mereka.
b.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumusakan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana latar belakang historis munculnya sistem kapitalisme di Indonesia
yang telah menjerat petani garam ?
2.
Bagaimana dampak sistem kapitalisme
terhadap petani garam, khususnya petani garam di Rembang ?
3.
Bagaimana analisa keterpurukan
petani garam di Rembang dipandang dari perspektif historis ?
PEMBAHASAN
A.
Munculnya Sistem Kapitalisme
Monopolistik Kolonial Belanda
Kapitalisme menurut Weber, sebagai sistem ekonomi
yang tumbuh dan berkembang karena orientasi yang menekankan pada pengejaran
keuntungan ekonomi secara rasional. Dalam pandangan Marx, orientasi kaum kapitalis
dalam mengejar keuntungan itu pada dasarnya yang mendorong terjadinya
penyerobotan surplus value yang mestinya menjadi hak para pekerja yang
berproduksi. Melalui penyerobotan surplus value oleh kekuatan kapitalis
ini terjadi akumulasi kapital yang berlanjut pada terbangunnya jaringan sistem
kapitalisme yang semakin meluas menembus batas ruang dan waktu. Kapitalisme
menurut pandangan Marx adalah suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturkan
secara khusus, yang di dalamnya manusia diorganisir untuk memproduksi kebutuhan
hidup, tetapi diasingkan dari produk yang dihasilkan. Bahkan Dobb mengemukakan
bahwa kapitalisme merupakan satu sistem ekonomi yang didasarkan pada buruh
upahan yang tidak memiliki kekuasaan atas alat produksi (Russel, 1989).
Menelisik makna yang terkandung dalam konsep sistem
kapitalisme itu, maka unsur kompetisi antara individu maupun kelompok kapitalis
menjadi determinan dalam proses akumulasi kapital yang menjadi unsur terpenting
dari sistem kapitalisme. Ironisnya kapitalisme kontem-porer justru menunjukkan
beroperasinya kapitalisme yang monopolistik sebagai lawan kompetitif. Konsep
kapitalisme yang monopolistik adalah sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari
korporasi perusahan raksasa yang men-dunia. Korporasi perusahaan raksasa dewasa
ini dipandang sebagai mesin untuk me –maksimalkan keuntungan dan
mengakumula-sikan modal minimal (Baran & Sweezy, 1970). Tampaknya perbedaan
besar antara kompetitif dan kapitalisme monopoli adalah bahwa korporasi raksasa
telah menempuh ruang waktu yang panjang melalui kapi-talisme individual dan
penghitungan yang lebih rasional, keduanya berkaitan dengan skala yang
lebihluas dari bekerjanya kor-porasi. Kedua
kunci ini menciptakan karak-teristik sikap dan model perilaku budaya tertentu,
yang merupakan sesuatu yang penting dari penghindaran sistemik dari resiko dan
suatu sikap hidup dan tantangan hidup.
VOC sebagai korporasi raksasa pada jamannya, merupakan persekutuan/organisasi dagang
pertama dari orang-orang Eropa (Belanda) yang wilayah operasional-nya
multi-nasional. Sebagai sebuah organisasi dagang multi nasional, VOC memiliki
jaringan organisasi dan birokrasi demikian luas ditandai dengan pendirian
kantor cabang diberbagai tempat di dunia. Kantor-kantor cabang VOC tersebar
diberbagai tempat penting dan strategis di Asia dan Afrika, antara lain di
Tanjung Harapan (Afrika Selatan), Calcuta (India), Jepang, Macao (Cina), Malaka
(Malasyia) dan Batavia (Indonesia) (Gaastra, 1981). Di Indonesia pada awalnya
belum menerapkan sistem monopoli terhadap produksi dan perdagangan garam. VOC
cenderung melanjutkan sistem tradisional yang sudah lama berjalan di dalam
masyarakat pribumi. Sebagaimana bang-sawan Jawa, VOC juga menuntut penye-rahan
wajib (contingenten) garam dari para petani penggarap dengan jumlah yang
telah ditentukan. Di samping itu, VOC juga menyewakan kepada para pengusaha kaya
dengan disertai aturan-aturan yang lebih mengikat dan tegas. Aturan itu antara
lain bahwa di daerah –daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaan VOC
(het rechtstreeksch bestuur van de Compagnie) dilarang membuka tambak
garam baru (membuat industri garam baru) kecuali harus mendapatkan ijin VOC
(Stibbe,1919:55).
Dengan peraturan tersebut, VOC dengan sendirinya
mengontrol bahkan melakukan monopoli produksi dan perdagangan garam di
daerah-daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaannya. Sistem yang dikembangkan
VOC itu selain memunculkan usaha-usaha pembuatan garam (pabrik dan perusahaan
berbagai skala), juga melahirkan kelas sosial baru, yaitu pachter (pemborong/penyewa).
Selain itu dengan melihat volume perdagangan garam yang dilakukan oleh VOC,
tampak VOC cenderung lebih memilih untuk menerima contingenten garam
dari para petani garam daripada memborongkan kepada para pachter yang
biasanya berasal dari orang Cina. Hal ini terjadi karena VOC sendiri memiliki
peluang memperdagangkan garam di berbagai daerah di kepulauan Indonesia bahkan
di kawasan lain di luarnya. Pada masa VOC garam yang berasal dari Rembang
kebanyakan diperdagangkan di Batavia, dan selanjutnya sebagian juga
diperdagangkan di Sumatra Barat yang mendatangkan keuntungan yang sangat bagus
(Stockdale, 1811:41).
Namun demikian sejalan dengan keterlibatan VOC dalam
persoalan politik dan mi liter baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang membutuhkan
banyak uang cash maka menjelang akhir kebangkutannya VOC memiliki
kecenderungan untuk menyewakan tambak-tambak garam kepada pachter agar
memperoleh uang kontan. VOC bahkan juga menyewakan tanah partekelir (beserta
penduduknya), menjual pajak borongan, menyewakan monopoli opium, dan
se-bagainya (Cribb, 2000:139). Dengan adanya perkembangan ini para elite pribumi
yang memiliki potensi ekonomi telah kehilangan kontrol atas produksi garam di
pantai utara Jawa dan akhirnya kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam
jatuh ke tangan penguasa kolonial dan pengusaha yang terdiri dari orang Cina
(Knaap, 1991:127-157).
Sistem penyerahan wajib dan penyewaan monopoli garam
yang juga diberlakukan oleh VOC di Rembang ini berlangsung hingga
kebangkrutannya pada tahun 1799. Bahkan pada periode berikutnya sistem ini
tetap berjalan hingga Jawa berada di bawah penjajahan Inggris yang berlangsung
tahun 1811 - 1816. Sesuai dengan sifat pemerintahan Inggris yang lebih dijiwai
oleh semangat liberalisme, Gubernur Jenderal Thomas Stamfort Raffles melihat bahwa
monopoli garam yang disewakan kepada para pachter ini sangat merugikan
penduduk pribumi dan sebaliknya memberikan keuntungan yang sangat besar kepada
para pachter. Hal ini terjadi karena para pachter merasa sudah
memborong produksi garam itu kepada VOC sehingga mereka melakukan eksploitasi
dan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa banyak campur tangan lagi dari
penguasa Belanda. Dalam hubungan inilah maka pada tanggal 15 Oktober 1813
Raffles mengeluarkan peraturan yang menghapuskan baik sistem contingenten
maupun sistem penyewaan produksi dan perdagangan garam yang dilakukan oleh para
pachter. Sebagai gantinya Raflles menempatkan industri garam sebagai
peru-sahaan negara yang dipimpin super inten-dent. Perusahaan negara ini
akan menerapkan sistem free labor (vrije arbeid) produksi garam.
Demikian juga perdagangan dan distribusi garam dikelola perusahaan negara. Pertama-tama,
Raffles menerapkan peraturan ini untuk daerah Jawa dan Madura serta Lampung.
Jawa dan Madura yang pada masa VOC dan pemerintah kolonial Belanda diperlakukan
sebagai daerah monopoli (monopoligebied) dibagi menjadi tiga wilayah
yang masing-masing dipimpin oleh seorang agen. Jadi tempat-tempat pembuatan
garam berada di bawah kontrol agen-agen tersebut sesuai dengan pembagian daerah
tugasnya. Namun demikian karena pemerintah interregnum Inggris hanya
berlangsung sangat pendek, maka peraturan ini belum berjalan sepenuhnya ketika
Ingris sudah harus meninggalkan pulau Jawa. Namun demikian kebijakan Raffles
ini telah membuat para pachter garam mengalami kerugian besar (Stibbe, 1919:55).
Satu hal yang menarik adalah bahwa meskipun kekuasaan atas pulau Jawa sudah
dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1816, namun pemerintah
kolonial Belanda tetap memanfaatkan kebijakan penghapusan sistempachter itu
sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan pemerintah atas industri dan
perdagangan garam di Jawa. Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial
membutuhkan uang lebih besar dari sektor pengusahaan garam. Oleh karena itu
peraturan yang dibuat oleh Inggris untuk sementara waktu tetap dilanjutkan.
Bahkan ada kecenderungan pemerintah kolonial Belanda
justru memperkuat posisi peme -rintah dalam penguasaan industri dan perdagangan
garam mengingat komoditi ini dapat memberikan pemasukan keuangan yang besar kepada
pemerintah. Pada tahun 1818 misalnya, kontrol terhadap produksi dan perdagangan
garam di daerah -daerah dikuasakan kepada para residen. Namun demikian upaya
ini tidak membuahkan hasil sebab banyak kepentingan pejabat lokal yang
menyebabkan pemasukan pemerintah menjadi berkurang. Oleh sebab itu sistem yang
telah diletakkan oleh Raffles kambali menjadi acuan dengan menyerahkan
pengelolaan produksi dan distribusi garam kepada direksi dan dewan keuangan
sebagaimana sebuah perusahaan modern (Gent, Penard & Rinkes, 1923:408
-410). Namun demikian seiring dengan silih bergantinya sistem eksploitasi
kolonial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda peraturan-peraturan
monopoli juga mengalami periode trial and error sesuai dengan kebijakan
gubernur Jenderal yang sedang memerintah (Dick, 2002). Komisaris Jenderal Du
Bus De Gesignes misalnya, pada tahun 1829 kembali berusaha menyewakan
pengelolaan garam kepada pihak swasta untuk menutup kas keuangan Belanda yang
mengalami defisit sebagai akibat dari Perang Diponegoro yang berlangsung tahun
1825 -1830 (Stibbe, 1919:55).
Baru pada tanggal 25 Februari 1882 pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan Bepalingen tot Verzekering vanhet
Zoutmonopolie sebagai peraturan yang secara tegas mengatur mengenai
monopoli produksi dan distribusi garam di Hindia Belanda/Indonesia
(Indische Staatsblad No. 73, 1883). Aturan ini kemudian disempur -nakan pada
tahun1921 (Staatsblad N0. 454), 1923 (Staatsblad No. 20), 1930 (Staatsblad No.
119), dan tahun 1931 (Staatsblad No. 168 dan 191). Aturan yang paling
mendasar dari peraturan-peraturan ini adalah bahwa pembuatan garam, kecuali
dengan ijin pemerintah atau milik pemerintah itu sendiri, dilarang di
Jawa dan madura, di residensi Pantai Barat Sumatra, Tapanuli, Bengkulu,
Lampung, Palembang, Pantai Timur Sumatra, Bangka dan sekitarnya, Afdeling
Borneo Barat, Afdeling Borneo Selatan dan Timur, dan Asistensi Residen
Bilitung. Sementara itu produksi garam di Kuwu (Grobogan) tidak
dikenakan aturan ini namun para produsen harus membayar pajak sebesar 50 cent
per pikul (1pikul = 61,76 kg). Demikian juga kegiatan impor garam ke
wilayah-wilayah yang disebutkan di atas juga dilarang, kecuali jika hal
itu dilakukan oleh pemerintah. Aturan yang sama juga berlaku untuk
perdagangan garam antar wilayah yang disebutkan itu. Di samping itu hanya
pelabuhan-pelabuhan tertentu saja yang dapat digunakan sebagai pintu masuk atau
keluar komoditi garam, di Jawa misalnya: pelabuhan Batavia, Cirebon,
Tegal, Pe-kalongan, Semarang, Surabaya, dan Cilacap (Staatsblad 1905,
No. 307). Dalam peraturan ini, badan pemerintah yang diberi wewenang untuk
mengendalikan monopoli garam bukan lagi pejabat daerah (residen) namun
seorang Kepala Dinas Monopoli Garam (Hoofd van den Dienst der Zoutregie) yang
posisinya ditempatkan di bawah Direktur dari Departemen Perusahaan Negara (Departement
van Gouvernements-bedrijven). Struktur manajemen ini berlaku sejak tahun
1915. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa pemerintah
mengontrol dan memonopoli dengan ketat produksi dan distribusi serta lalu
-lintas garam yang beredar di wilayah yang dikuasainya. Bahkan petugas
monopoli garam diberi kuasa untuk menggeledah rumah yang dicurigai
menjadi tempat penyimpanan garam illegal dan pelanggaran terhadap peraturan itu
akan mendapatkan sangsi kurungan dan/atau didenda (Depar-tement van
Binenlandsch Bestuur, 1932:43).
Untuk menjaga agar tidak terjadi manipulasi
timbangan maka sejak tahun 1897 juga diupayakan untuk membuat garam briket
(garam bata). Selain itu juga dibedakan antara garam yang digunakan
untuk konsumsi dengan garam yang digunakan untuk bahan industri seperti
untuk pengeringan pengawetan ikan. Garam untuk konsumsi berharga sekitar f
0,12/kg, sedangkan harga garam untuk industri adalah f 0,03/kg (Stibbe,
1919:866). Di satu sisi, monopoli negara ini mungkin dimaksudkan untuk
melindungi penduduk pribumi dari berbagai praktek manipulasi dan
eksploitasi yang dilakukan oleh para pemodal swasta yang selama jaman VOC
memperoleh keuntungan yang sangat besar dengan cara merugikan para
konsumen tetapi di pihak lain kebijakan ini juga menjadi suatu penghalang
bagi kaum pribumi yang ingin mengembangkan usaha di bidang pengusahaan dan
perdagangan garam ini. Memang penduduk pribumi diijinkan untuk membuka
usaha pembuatan garam namun harus mendapatkan ijin yang ketat dari
pemerintah. Lagi pula para pembuat garam sudah diberi kuota produksi yang dapat
mereka capai sehingga pendapatan mereka menjadi sangat terbatas. Selain itu
pemerintah sudah menetapkan harga jual dan beli di berbagai wilayah di
Hindia Belanda sehingga kebijakan ini kurang menarik dari segi usaha/bisnis
dari pihak nonpemerintah. Setiap produksi garam tidak boleh dijual bebas
di pasaran, tetapi harus dijual ke gudang - gudang pemerintah yang
dikepalai oleh seorang pakhuismeester. Para pemodal Cina memang masih
dapat membuka usaha pembuatan garam atas ijin pemerintah, namun tetap saja
mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana sebelum tahun 1870 -an. Dengan cara
demikian pemerintah kolonial Belanda melakukan penetrasi sistem
kapitalisme monopolistik yang sangat ketat terhadap komiditas garam. Sebagai
hasilnya pendapatan dari sektor industri dan perdagangan garam di Indonesia
pada waktu itu memberi kontribusi signifikan terhadap keuangan pemerintah
kolonial Belanda. Contohnya pada tahun 1902 pendapatan pemerintah dari monopoli
garam mencapai f 9.456.466, tahun 1913 meningkat menjadi f 12.633.988,21 dan
tahun 1922 meningkat lagi menjadi f 17.221.346,50 (Koloniaal Verslag, 1904:284;
Koloniaal Verslag, 1915:264; Koloniaal Verslag, 1923:231). Hal itu belum
termasuk monopoli garam di Bagan Si Api Api yang diperlakukan secara istimewa.
Pada tahun 1905 misalnya, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan pemasukan
sekitar f 325.000 dari industri garam dan industri lain yang terkait (Butcher,
1994:100). Meskipun tangan pemerintah begitu kuat menceng-keram industri dan
perdagangan garam, namun apa yang disebut sebagai garam rakyat (bevolkingszout)
juga tetap eksis. Sebagai contoh pada tahun 1938, produksi garam rakyat yang
dijual di gudang garam Semarang mencapai 2.882.000 kg dengan nilai mencapai f
158.800. Produksi ini me -libatkan 6 sentra pengusahaan garam dengan tenaga
berjumlah 1.563 orang (Indisch Verslag, 1939:298). Setelah Indonesia merdeka,
produk garam tidak lagi menjadi komoditas strategis sumber pendapatan negara
dan oleh karenanya pemerintah tidak lagi melakukan monopoli yang begitu ketat
sebagaimana halnya pada masa kolonial. Bahkan pemerintah RI kemudian mengambil
keputusan untuk melepaskan monopoli dengan cara membubarkan PN Garam, karena
setelah dievaluasi tidak dapat menghasilkan devisa justru membebani keuangan negara.
Berdasarkan investigasi pada dasarnya persoalan yang dihadapi PN Garam sangat
kompleks baik yang berkaitan dengan kelembagaan, organisasi dan teknologi
(Sanders,1968). Selama produksi garam dalam mono-poli PN Garam tampaknya lebih
menekankan pada pelaksanaan misi bagi terjaminnya pemerataan distribusi garam
secara nasional dan kurang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang
terintegrasi dalam sektor industri lainnya. Sebagai salah satu dampaknya adalah
komoditas garam tidak memiliki organisasi dan birokrasi modern yang memberi
akses memadai pada petani garam sebagai produsen langsung untuk dapat menikmati
surplus dari produknya.
Dari kajian historis
dapat diketahui, bahwa VOC-lah yang mengawali introduksi sistem ekonomi
kapitalis pada komoditas garam. Pada jaman pra kolonial penguasa di pantai
utara Jawa Tengah termasuk Rembang pernah menjadikan garam sebagai komoditas
ekspor ke beberapa negara dalam kawasan Asia Tenggara, tetapi kondisi berubah
pada masa kolonial di mana penguasa di Jawa kehilangan kontrol atas produksi
garam di pantai utara Jawa dan kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam
pada akhirnya jatuh ke tangan VOC, penguasa kolonial dan pengusaha yang terdiri
dari orang-orang Cina (Knaap, 1991:127-157). Bahkan pada jaman kolonial, garam
berkembang sebagai salah satu komoditas ekspor yang didominasi oleh penguasa
dan pengusaha/pemodal. Hal itu antara lain ditandai oleh adanya kebijakan
politik ekonomi garam yang tampak lebih berorientasi pada kepentingan penguasa
dan pemodal dengan mengorbankan kepentingan produsen lokal penduduk pribumi (
Departemen Van Binnenlansch Bestuur, 1932; Kuntowijoyo, 1988).
Dengan adanya monopoli
maupun dominasi penguasa dan pengusaha atas produksi garam, menjadikan produksi
garam dalam penetrasi sistem kapitalisme. Dalam perspektif materialisme
historis, kondisi yang demikian itu melahirkan formasi sosial yang didominasi
oleh sebuah artikulasi dari dua cara berproduksi (mode of production), yaitu
cara kapitalis dan non kapitalis di mana cara produksi kapitalis telah menjadi
dominan atas yang lain. Hal itu antara lain tampak dari berkembangnya
pengusahaan garam oleh pemerintah melalui perusahaan yang telah ditunjuk dan
direkomendasikan (mendapat-kan hak sewa) di satu sisi dan terjadinya penurunan
status sosial petani garam pada sisi yang lain di mana mereka cenderung hanya
menjadi tenaga penggarap dan upahan dalam proses produksi garam. Kondisi yang
demikian itu dalam perkembangan-nya dibeberapa daerah sentra garam seperti Madura
mendorong timbulnya resistensi petani garam dalam bentuk protes terbuka yang
sangat marak pada perempat pertama abad XX (de Jonge, 1993: 165-184). Setelah
Indonesia merdeka keadaanya tidak banyak berubah, semula garam secara formal
dalam monopoli pemerintah, tetapi praktek perdagangan garam masih dalam
dominasi pegusaha/pedagang Cina dengan sistem kapitalisme. Para pedagang ini
me-miliki kecenderungan mempermainkan harga, sehingga pada tingkat petani harga
garam sangat fluktuatif. Sebagai contoh harga garam dapat mencapai 75 sampai 80
sen/kg, tetapi pada waktu lain yang tidak berselang lama berubah menjadi 2
sampai 8 sen/kg (Widodo, 2005). Terlebih dengan dicabutnya peraturan tentang
monopoli garam oleh pemerintah RI pada tahun 1957 yang berdampak pada pembubaran
PN Garam, maka kondisi petani garam semakin dalam tekanan kuat dari pemodal
(kapitalis). Meski setelah pembubaran PN Garam pemerintah membentuk koperasi
dan kemudian Perseroan Terbatas (PT) yang diberi hak sebagai penyalur dan
penimbun garam untuk menggantikan peran pedagang Cina, tetapi prakteknya juga
tidak berhasil membantu petani terutama dalam menstabilkan harga garam.
Dengan dibubarkannya PN
Garam, pemerintah RI sejak Orde Baru hingga dewasa ini cenderung hanya mengatur
tata niaga garam. Dalam hal ini kebijakan yang terkait dengan tata niaga garam
cenderung berpihak pada kekuatan kapitalis terutama atas supra lokal dan dalam
kooptasi kekuatan ekonomi global yang juga sangat kapitalistik. Paling aktual
antara lain tercermin dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti UU No. 7
tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pemben-tukan Organisasi Perdagangan
Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization), Keputusan Presiden
RI No. 69 tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994, tentang Pengadaan garam
Beryodium, Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 tentang
Pengesahan Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan tanda SNI
secara wajib terhadap 10 macam produksi industri (termasuk garam), Surat
Keputusan Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan, Penge-masan dan Pelabelan Garam Beryodium serta
Perizinan, Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI No.
360/MPP/Kep/5/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Ketentuan Impor Garam. Kecenderungan
aktual adalah garam tidak lagi menjadi komoditi ekspor yang pantas
diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia dan oleh karena itu garam impor
membanjir dan menggilas garam lokal produk petanikita.
B. Kasus
Keterpurukan Petani Garam di Rembang
Di kabupaten Rembang jumlah petani garam pemilik
lahan pada tahun 1990 sebanyak 784 orang, tahun 2000 menurun menjadi 729 orang
dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang. Peningkatan terjadi pada jumlah petani penggarap/buruh
garap di mana pada tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang dan pada tahun 2005
menjadi 4.739 orang. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di kabupaten Rembang
juga cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000
berkurang menjadi 6 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 4 perusahaan
(Rembang Dalam Angka 1990, 2000 dan 2005). Padahal luas lahan
garam relatif tidak berubah, yaitu 1.189,449 ha pada tahun 1990 (Jawa
TengahDalam Angka, 1991), 1.184,965 ha pada tahun 2000 dan 1.184,965 ha pada
tahun 2005 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang, 2005).
Petani
garam di Kabupaten Rembang kesulitan menjual timbunan garam hasil panenan yang
masih menumpuk di gudang. Selain harganya jatuh, permintaan pasar saat ini juga
terhitung sepi. Padahal seharusnya musim hujan menjadi masa panen bagi petani
garam di Kabupaten tersebut. Pada tahun 2012 garam kualitas I paling tinggi hanya Rp
380/Kg, dan kualitas II lebih rendah, sekitar Rp 300/Kg. Sepinya
permintaan dari luar Jawa juga dikarenakan beberapa pengusaha di Medan bisa mendatangkan
garam langsung dari India Petani garam di Rembang juga menghadapi permasalahan
tidak mampu melakukan penundaan penjualan kalau harga di pasaran sedang turun.
Dilema lainnya, petani tidak bisa menunda penjualan hasil produksi karena
keterbatasan tempat penyimpanan dan desakan kebutuhan sehari-hari. Bahkan
pada
2004, harga garam juga pernah mencapai Rp 70/kilogram-Rp 80/kilogram.
Sementara, garam berkualitas jelek harganya akan lebih rendah. Masa
kejayaan petani garam Rembang berlangsung pada 1987. Pada saat itu harga garam
cukup tinggi, sehingga petani bisa menikmati hasil panen mereka. Namun, setelah
1987, harga garam di kabupeten itu terus menurun. Bahkan, sampai sekarang pun
harga garam masih rendah dan fluktuatif.
Salah satu perusahaan Garam, yaitu PT Garam,
mengakui pihaknya saat ini menyerap garam petani di bawah harga ketentuan
pemerintah. Garam K1 dibeli dengan harga Rp 600 per kg, sedangkan garam K2
seharga Rp 530 per kg. Hal ini karena pihaknya sulit membeli harga garam rakyat
sesuai dengan ketentuan pemerintah, mengingat sejumlah importir produsen garam
beryodium melakukan pembelian garam rakyat di bawah harga standar. Sementara
itu, tidak ada penugasan dari pemerintah terhadap BUMN Garam tersebut untuk
menyerap garam rakyat. Jika pemerintah serius ingin
menyelamatkan harga garam petani, perlu ketegasan bagi seluruh importir
produsen garam beryodium untuk wajib menyerap garam lokal sesuai harga patokan.
Guna menjamin kepastian harga garam ditingkat
petani, telah ditetapkan regulasi mengenai harga garam. Berdasarkan Peraturan
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Nomor
02/DAGLU/PER/5/2011, harga pokok pembelian (HPP) garam ditetapkan Rp 750
per kilogram untuk garam kualitas super atau KW1 dan Rp 550 per kilogram untuk
KW2.Namun saat ini tahun 2013 di Kabupaten Rembang tercatat harga garam KW1
bertahan di kisaran Rp 600 per kilogram dan Rp 450-Rp500 per kilogram untuk
KW2.
Juga pemberlakuan Keputusan Menteri Perdagangan
Nomer 58 tahun 2012 tentang pembatasan impor garam belum bisa menjamin memperbaiki nasib petani. Sejumlah petani garam di Rembang dan Madura
mengaku belum merasakan dampak positif pembatasan impor itu. Untuk awal tahun
2013 memang belum terasa dampak kebijakan pengaturan impor garam tersebut. Tetapi diharapkan pada panen akhir tahun 2013
akan ada perbaikan harga garam. Hal ini juga dikarenakan pasca dikeluarkan
kebijakan Menteri Perdagangan itu sekitar 30 Juni 2012, perlu waktu untuk
menghabiskan stok garam impor di Indonesia sebelumnya, yang diperkirakan
mencapai 500 ribu ton lebih selama 2012. Nasib petani garam akan lebih baik,
asal pemerintah juga konsisten terhadap regulasi/aturan yang telah mengatur
soal impor garam konsumsi nasional tersebut.
C.
Analisa
Keterpurukan Petani Garam di Rembang dari Perspektif Historis
Fenomena di atas pada satu sisi menunjukkan bahwa
posisi dan status sosial ekonomi petani garam semakin termarjinalkan dan pada
sisi yang lain juga dapat dimaknai telah terjadi polarisasi dalam penguasaan
lahan garam dan dominasi moda produksi kapitalis. Jika dilihat dari perspektif
historis hal ini menunjukkan sebuah kesamaan pada saat masa kolonial di mana
nilai – nilai kapitalisme mulai masuk dan diintrodusir oleh VOC. Petani garam
di Rembang kebanyakan petani garam dalam skala kecil atau petani penggarap
tergilas nasibnya oleh para pemodal yang lebih kuat seperti tengkulak yang bisa
mempermainkan harga seperti yang terjadi pada masa kolonial dulu, di mana para
tengkulak atau patcher didominasi oleh pedagang Cinalah dan kapitalis lainnya
yang bisa mengatur harga. Mereka inilah yang diuntungkan dengan adanya surplus
value. Para petani garam tak kuasa dengan permainan harga yang diciptakan. Pemerintah terkesan setengah hati dalam
menangani polemik ini, karena terkadang para pengambil kebijakan publik
termasuk dalam anggota kapitalis itu sendiri yang mencoba mengambil keuntungan
di tengah jerit petani. Model seperti ini sudah ada dan ditanamkan sejak jaman
VOC , kolonialisme Belanda, Inggris, sampai Pemerintah Indonesia sendiri
Moda produksi kapitalis dalam pemikiran Marx
(Morrison, 1995) lebih didasarkan pada pemilikan individual (private
ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi dan dalam hal
ini kapitalis sebagai pemilik alat produksi dan buruh proletar memiliki
kepentingan yang bertentangan. Pemikiran Marx itu dikembang-kan
Russel (1989), bahwa moda produksi kapitalis mempunyai ciri padat modal dan
merupakan tipe kelas berstruktur majikan-buruh pada hubungan produksinya. Dan
hal ini terjadi pada kasus petani garam di Rembang telah terjadi proses
pemiskinan kaum buruh oleh kaum kapitalis melalui aliran dan akumulasi surplus
yang pada hakekatnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap kaum buruh dalam
proses produksi. Dalam proses produksi garam, lahan merupakan alat produksi
yang sangat penting bagi petani garam karena diatas lahan itulah kegiatan
produksi mereka lakukan. Oleh karena itu struktur penguasaan lahan garam akan menentukan
accessibity petani garam pada surplus atas praduksinya. Artinya, petani
garam di Rembang yang mempunyai lahan sempit dan yang tidak menguasai lahan
garam, aksesnya rendah bahkan tidak memiliki akses pada surplus dari
produksinya dan sebaliknya petani yang menguasai lahan luas memiliki akses
untuk dapat menikmati surplus dari produksi garam. Struktur penguasaan lahan
juga berpengaruh pada moda produksi yang berkembang, yaitu moda produksi
kapitalis pada petani lahan luas dan moda produksi non kapitalis/usaha keluarga
(household farm) pada petani kecil dan petani penggarap seperti yang
terjadi pada masa lalu
Model produksi non kapitalis dalam proses produksi
garam di Kabupaten Rembang secara empiris dicirikan oleh adanya hubungan
produksi subsisten yang terbatas dalam lingkup keluarga (orang tua, anak,
menantu, sepupu) dengan dasar hanya untuk dapat survival, tidak
terekspresi adanya perhitungan untung-rugi (cost-benefit calculation).
Hal ini jelas sangat berbeda dengan moda produksi kapitalis yang dicirikan oleh
hubungan produksi komersial yang berorientasi pada keuntungan (profit).
Selain itu kedua moda produksi tersebut dalam banyak kasus memiliki keterkaitan
integratif yang bersifat asimetris, yaitu moda produksi kapitalis mendominasi
moda produksi non kapitalis dan surplus dari beroperasinya moda produksi non
kapitalis diserap ke dalam moda produksi kapitalis melalui mekanisme pasar (market
mechanism) dan sistem bagi hasil yang dikembangkan. Dari hal ini secara
sosial ekonomi petani garam yang menguasai lahan terlebih lahan luas relatif
lebih maju/kaya dibandingkan dengan petani lahan sempit apalagi petani
penggarap/buruh pada umumnya lebih terbelakang/miskin. Sebagai indikatornya
tercermin dari beberapa hal antara lain: pola kerja/usaha, pendapatan/hasil
yang diperoleh, relasi sosial yang dikembangkan, kondisi perumahan, jenis dan
pola konsumsi makanan, pendidikan. Dengan demikian polarisasi penguasaan lahan
garam oleh kapitalis secara signifikan ikut memberi kontribusi bagi
marjinalisasi petani garam terutama petani kecil dan petani penggarap/buruh.
Hal ini mengingat petani garam di Kabupaten Rembang sebagian besar merupakan
petani penggarap baik dari pemilik lahan sempit (< 0,5 ha) maupun buruh
garap, hanya sebagian kecil petani garam yang memiliki lahan luas (> 5 ha)
yang pada umumnya juga bergerak di jalur pemasaran garam sebagai
tengkulak/bakul dan pabrikan (pabrik garam rakyat).
Selain itu dominasi kekuatan ekonomi kapitalis atas
produksi garam di Rembang juga ditunjukkan melalui penguasaan mereka terhadap
gudang-gudang garam yang merupakan titik pengumpul (collecting point),
yaitu tempat pengumpulan garam di tepi/pinggir jalan raya yang dapat dijangkau
truk dan sejenisnya milik kaum kapitalis yang menguasai jalur pemasaran garam,
bukan milik petani kecil dan penggarap. Masyarakat Rembang menempatkan garam
sebagai komoditas perdagangan yang cukup menarik, maka pada musim panen banyak
kelompok sosial di luar petani garam (seperti guru, pegawai pemerintah maupun
pegawai swasta dan pemodal) ikut bermain baik sebagai penyetok, tengkulak
maupun mak elar. Demikian juga dengan kekuatan ekonomi kapitalis baik pada arus
lokal maupun supra lokal, biasa memainkan komoditas garam di mana mereka itu
semuanya bergerak di julur pemasaran garam. Bermainnya kelompok - kelompok
sosial lain dari berbagai arus pada jalur pemasaran garam ini, di satu sisi
dapat menjadi indikator bahwa garam merupakan komoditas yang dapat memberi
keuntungan signifikan, tetapi pada sisi lain menjadikan petani garam terutama
petani petani kecil dan petani penggarap/buruh semakin tidak memiliki akses ke
pasar. Dalam konteks ini tampak bahwa kelompok-kelompok di luar komunitas
petani garam yang bertindak sebagai pelaku ekonomi di jalur pemasaran garam,
justru cenderung yang menikmati surplus value bukannya petani produsen. Dengan
demikian petani garam sebagai produsen garam krosok dalam konteks perdagangan
garam posisinya termarjinal-kan karena adanya penutupan akses ke pasar oleh
pelaku ekonomi di jalur pemasaran. Petani (lahan sempit dan penggarap) hanya
diposisikan sebagai produsen. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya
eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi usaha antara petani
penggarap/buruh dengan petani pemilik dan antara petani kecil dengan pelaku
usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai
produsen jadi.
Dalam mata rantai usaha garam itu penggarap/buruh
adalah pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan dan paling rentan
dibandingkan dengan lainnya, baru berikutnya petani kecil dan petani besar.
Petani penggarap/buruh sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh
pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban
menyerahkan sepenuhnya hak penjualan pada pemilik dan pemiliklah yang menentukan
harga. Adapun petani hanya dapat menjual pada pedagang yang telah dikenal yang
bergerak di jalur pemasaran dan permodalan dan mereka ini yang cenderung memper
-mainkan harga. Pada dasarnya kondisi yang demikian sudah dapat dikategorikan
sebagai eksploitasi, karena adanya unsur kesengajaan penutupan akses oleh pihak
tertentu pada pihak lain untuk tidak mendapatkan keuntungan dari sumber daya
yang ada. Sebagaimana pada tingkat global, kekuatan ekonomi kapitalis memiliki
kecenderungan untuk dengan sengaja menutup akses pelaku ekonomi lokal dan
nasional dapat menembus pasar global, agar mereka tetap dapat menguasai dan
mendominasi pasar global.
PENUTUP
Dari kajian historis dan empirik dapat diketahui,
bahwa secara struktural sistem ekonomi kapitalisme telah menjerat kehidupan
petani garam dan itu telah berlangsung sejak jaman VOC kolonial Belanda hingga
dewasa ini. Dalam hal ini produksi garam dijadikan komoditas yang dipasarkan
dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan
untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna ( use–value), tetapi untuk
mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value).
VOC sebagai korporasi raksasa pada jamannya mengintroduksi dan melakukan
penetrasi sistem kapitalisme pada komoditas garam di Indonesia melalui monopoli
baik dalam holding maupun trading, petani hanya diposisikan
sebagai produsen yang ditutup aksesnya pada pasar. Bahkan ketika kekuasaan
politik berada di tangan pemerintah kolonial Belanda, dilakukan regulasi
kebijakan yang menempatkan garam (produksi, distribusi dan pemasaran) dalam
monopoli ketat pemerintah untuk menjadi sumber pendapat yang penting.
Pada kasus aktual petani garam di Rembang juga
tampak adanya penetrasi sistem ekonomi kapitalis yang tercermin dari dominasi
moda produksi kapitalis terhadap moda produksi non kapitalis. Moda produksi non
kapitalis cenderung terekspresi pada proses produksi garam yang dilakukan oleh
petani garam dalam kategori petani kecil, petani penggarap dan buruh di mana
mereka memproduksi garam dalam skala kecil dengan teknologi dan keahlian tradisional
yang berorientasi untuk survival serta bercorak household farm. Dalam
kondisi yang demikian hubungan produksi yang terbangun lebih bercorak komunal
dan egaliter, tidak ada kompetisi dan eksploitasi. Adapun moda produksi
kapitalis terekspresi dalam proses produksi yang dikendalikan oleh pabrikan,
agen, pedagang/tengkulak dan petani besar (lahan luas) di mana mereka
memproduksi garam dalam
skala
besar dengan teknologi dan keahlian modern serta didasarkan pada cost-benefit
calculation.Dengan demikian hubungan produksi yang terbangun berstruktur
buruh-majikan, sudah ada kompetisi dan eksploitasi.
KETERPURUKAN PETANI GARAM
DI REMBANG DALAM PERSPEKTIF
HISTORIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar